Tak berselang lama setelah kepergian Dito dari apartemen Vian, laki-laki itu juga bergegas pergi dari apartemennya dan melajukan mobilnya menuju apartemen Kemal.
Entah apa yang menuntunnya untuk datang ke sana. Tapi, nalurinya memintanya untuk datang menemui laki-laki itu dan meminta maaf sekali lagi padanya.
Lima belas menit kemudian, Vian akhirnya sampai di apartemen Kemal. Kini dia telah berdiri di depan pintu apartemen laki-laki itu yang masih tertutup rapat. Cukup lama dia hanya terpaku di depan kamar itu tanpa berani menekan bel pintu ataupun mengetuknya.
Vian hanya diam memandangi pintu berwarna cokelat bertuliskan angka 42 di depannya dengan perasaan gamang. Dia juga berkali-kali menarik napas panjang untuk menenangkan degup jantungnya yang seperti sedang berperang di dalam sana.
Bukan hanya merasa gugup, tapi Vian juga takut jika Kemal menolak kehadirannya. Sudah empat hari ini, dia sama sekali tidak bisa menghubungi laki-laki itu. Selain tidak ada kesempatan karena Dito selalu bersamanya, Vian juga takut jika akan semakin memperburuk keadaan.
Dia tidak tahu apakah Kemal sudah bisa memaafkannya atau belum. Atau justru semakin marah padanya karena kesalahan yang dilakukannya juga bukan perkara kecil, yang sehari dua hari bisa lenyap dari pikiran.
Jika dia jadi Kemal, mungkin juga akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melupakan sebuah penghianatan yang dilakukan oleh orang yang dia cintai. Terlebih lagi, jika orang yang diharapkannya itu adalah bagian dari impian terbesarnya.
Setelah memastikan bahwa hatinya sudah benar-benar tenang dan tidak merasa takut lagi, Vian pun akhirnya memberanikan diri untuk memencet bel pintunya. Hanya sekali. Lalu diam menunggu sembari memandangi ujung sepatunya.
Tak lama, Vian mendengar bunyi klik dari dalam dan melihat kenop pintu di depannya itu diputar. Vian memejamkan matanya sesaat sembari mengembuskan napas panjang, lalu mendongakkan kepalanya. Tepat saat itu, pintu tersebut terayun ke dalam dan muncul Kemal dari sana.
Laki-laki itu sedikit terkejut saat mendapati Vian berdiri di depan pintu apartemennya dan sedang berusaha tersenyum padanya. Kemal sempat tertegun memandangi Vian yang juga sedang menatapnya.
Sesaat, perasaan rindu menyeruak di dalam hati Kemal melihat kehadiran Vian yang sudah empat hari ini tidak ditemuinya.
Tanpa sadar, Kemal pun menarik salah satu sudut bibirnya meski tak terlalu kentara. Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Ada rindu yang masih terselip di dadanya, bercampur rasa kecewa serta luka yang kini kembali menganga dengan hadirnya Vian di hadapannya.
"Ha-hai ...," sapa Vian gugup.
Kemal langsung tersadar jika dia terus menatap Vian sejak membuka pintu tadi dan segera mengubah ekspresinya menjadi datar, seolah tak senang jika Vian datang ke sana. Hal itu pun akhirnya disadari oleh Vian. Membuat laki-laki itu sedikit kehilangan keberaniannya untuk menatap mata Kemal.
"Boleh aku masuk?" tanya Vian penuh harap.
Tanpa diduga, Kemal memundurkan badannya. Lalu membuka daun pintu apartemennya agar lebih lebar. Mengisyaratkan agar Vian masuk ke dalam dengan kedikkan kepalanya.
"Makasih," jawab Vian, lalu melangkah masuk.
Sampai di ruang tamu, Vian tak langsung duduk. Dia hanya berdiri sembari memindai ruang tamu Kemal dalam diam. Tanpa sengaja, matanya pun tertumbuk pada sebuah asbak berisi puntung rokok yang sudah memenuhi asbak tersebut. Vian merasa bersalah melihat apa yang terjadi pada Kemal karena dirinya.
Yang dia tahu, selama ini laki-laki itu tak pernah menyentuh zat nikotin meski hanya sebatang. Dan kali ini, Vian melihat sendiri apa yang dilakukan Kemal pada kesehatan paru-parunya. Tak heran jika sejak melangkah masuk tadi, dia mencium aroma tembakau yang dibakar dengan sangat kuat dan hampir membuatnya sesak napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
Fiksi Umum[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...