Beberapa hari setelah pertengkaran Verly dan Dito, laki-laki itu tak tampak muncul di rumah sakit untuk menengok Ines maupun menemui Dito.
Baru hari ini dia kembali datang, setelah Qila memberitahukan bahwa Ines selalu murung setiap hari dan susah makan. Hal itu juga membuat Qila ikut murung selama berada di sekolah.
Karena tak tega melihat Qila bersedih, Verly pun akhirnya kembali datang ke rumah sakit untuk mencari tahu apa penyebab Ines menjadi murung. Meski dia enggan bertemu dengan Dito, namun laki-laki itu tetap membulatkan tekadnya untuk menengok Ines ke sana.
Sejak menikah dengan Dito, Ines tak pernah lagi bercerita padanya tentang hal apa pun. Wanita itu lebih memilih untuk menyimpan semua masalahnya seorang diri.
Tapi kali ini, Verly tak bisa tinggal diam. Mengingat beberapa hari yang lalu, dia baru saja mengetahui niat Dito yang ingin meninggalkan Ines.
Verly khawatir, jika Dito sudah mengutarakan niatnya itu pada Ines. Dia juga khawatir, jika hal itulah yang membuat Ines bersedih.
Saat Verly datang, Ines sedang duduk bersandar di kepala brankar dan sedang memutar sebuah musik klasik yang diperdengarkan pada perut besarnya melalui headphone.
Melihat Verly datang, Ines segera meletakkan pemutar musik itu ke atas nakas, lalu tersenyum menyambut kedatangan laki-laki itu.
"Mas," sapa Ines.
"Assalamu'alaikum, apa kabar?"
"Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah, udah baikan. Mas Verly nggak ngajar? Kok jam segini ke sini?" tanya Ines heran.
"Iya, tadi aku minta ijin pulang cepet. Jam ngajarku juga udah habis," jawab Verly.
"Oh, gitu. Emang nggak papa pulang cepet?"
"Ya ... buktinya tadi dikasih ijin," ujar Verly tersenyum penuh arti. Ines balas tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Ehm ... Nes, ada yang mau aku obrolin sama kamu, bisa?" tanyanya kemudian.
"Soal apa, Mas?" tanya Ines balik.
Verly terdiam sesaat. Laki-laki itu memilih untuk duduk di samping ranjang Ines terlebih dulu sebelum berbicara. Dia juga menatap Ines dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebelum berbicara, Verly juga terlihat menarik napas berat berkali-kali.
"Ada apa, Mas? Apa ada masalah sama Qila, di sekolah?" tanya Ines lagi sedikit cemas karena Verly tak langsung menjawabnya.
"Iya, Nes. Ini soal Qila. Beberapa hari ini, Qila kelihatan lebih pendiam di sekolah. Dia juga sering murung dan nggak semangat. Nilai akademiknya juga banyak yang turun di minggu-minggu ini. Kamu tahu apa penyebabnya?"
Verly berkata dengan sangat lembut dan hati-hati agar Ines tidak cemas. Namun, ternyata hal itu tak berpengaruh dan sama sekali tak bisa membuat Ines menghilangkan kecemasannya pada putrinya.
"Apa, Mas?" tanya Ines cepat.
Verly menatap mata Ines dalam-dalam seraya memandangnya dengan sangat serius. Membuat Ines semakin dilanda kekhawatiran akan putrinya.
"Karena kamu," jawab Verly.
Ines terkejut mendengarnya. Dia baru menyadari apa yang sudah membuat Qila ikut sedih. Tak lain karena putrinya itu sering melihatnya melamun akhir-akhir ini. Namun, bukannya membalas ucapan Verly, wanita itu memilih diam dan membiarkan Verly melanjutkan kata-katanya.
"Qila bilang, akhir-akhir ini kamu sering murung dan nggak mau makan. Aku nggak tahu apa yang udah bikin kamu kayak gini. Tapi kamu harus tahu, kalau kesedihan kamu itu berpengaruh juga sama Qila. Dia sayang banget sama kamu. Dan kelihatannya, Qila nggak suka kamu sedih. Dia bilang mau hibur kamu, tapi dia nggak tahu caranya. Makanya dia ikut sedih juga," ujar Verly, lalu terdiam sesaat dan masih tetap memandang Ines dengan sangat serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
General Fiction[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...