30. Patah Hati

3.2K 258 145
                                    

"Piu, kamu nanti pulang, ya! Kasihan Ines. Dia pasti khawatir banget karena kamu nggak ada di sampingnya tiga hari ini di rumah sakit," ucap Vian saat mereka berdua sedang sarapan bersama di meja makan.

Ini sudah kesekian kalinya Vian meminta Dito pulang ke rumahnya. Tapi laki-laki itu selalu mengabaikan saran Vian. Dan berkali-kali pula, Vian mengingatkannya. Tak kenal lelah.

Selama tiga hari dua malam ini, Dito memang menginap di apartemennya. Meskipun Vian melarang, namun laki-laki itu tetap ngotot ingin tinggal. Bahkan keduanya harus bertengkar hebat hanya karena keinginan Dito itu. Dan lagi-lagi, Vianlah yang harus mengalah serta menuruti kehendak Dito.

"Apa kamu nggak capek nyuruh aku dengan kalimat yang sama tiap jam? Aku ini nggak budheg, Miu! Aku denger!" kata Dito kesal.

Makanan yang sudah capek-capek dibuat oleh Vian, menjadi tidak menarik lagi di mata Dito karena rasa dongkolnya itu. Lidahnya pun sudah terasa hambar sebelum dia menyuapkan sup ayam ginseng buatan Vian itu ke mulutnya.

Vian pun hanya bisa menghela napas lelah dan berusaha bersikap sabar dengan amukan Dito padanya. Dia tahu jika Dito butuh ketenangan. Tidak seharusnya juga dia merongrong laki-laki itu dengan permintaannya untuk tetap pulang ke rumahnya.

Tapi, berada di apartemennya terus-menerus juga bukanlah solusi terbaik menurut Vian. Justru akan semakin memperkeruh suasana.

Sayangnya, Dito tak mau ambil pusing dengan hal itu. Kekeraskepalaan laki-laki itu memang tak ada duanya. Jika sudah menjadi keinginannya, siapa pun tak ada yang bisa menentangnya. Termasuk Vian.

"Aku tahu, Piu. Tapi ini udah tiga hari kamu di sini. Kalau kamu nggak mikirin Ines, seenggaknya pikirin tentang Qila. Dia pasti kangen banget sama Ayahnya yang nggak pulang dan nggak ngasih kabar," kata Vian lembut dan masih tetap berusaha tenang.

Pertengkaran mereka dua malam terakhir, hampir menghancurkan seluruh isi apartemen Vian. Vian tak ingin kejadian itu terulang lagi. Dia tahu mengapa Dito bisa semarah itu hanya karena hal kecil. Selama tiga hari ini, laki-laki itu juga tak pernah tersenyum dan hanya menunjukkan wajah dingin padanya.

Vian juga tahu mengapa Dito bersikap demikian. Hal itu tak lain karena Dito sedang sangat pusing memikirkan keputusan apa yang harus dia ambil atas masalah mereka berdua yang sampai detik ini belum menemukan titik terang.

Awalnya, Dito tetap bersikukuh jika mereka akan terus bersama. Tapi Vian menolaknya. Laki-laki itu terus saja mendesak Dito agar mau kembali pada Ines. Hingga akhirnya Dito merasa kesal sendiri dan marah pada Vian, yang akhirnya dia lampiaskan amarahannya itu pada benda apa saja yang ada di dekatnya kala itu.

Karena takut Dito melukai diri mereka berdua, Vian pun akhirnya memilih bungkam dan mengakhiri pertengkaran mereka berdua serta membiarkan Dito melakukan apa pun yang ingin laki-laki itu lakukan tanpa ada niat untuk mencegahnya.

"Bilang aja kalau kamu nggak suka aku ada di sini. Nggak perlu Qila atau Ines yang kamu jadiin alasan. Aku masih bisa cari tempat lain buat tinggal!" jawab Dito yang masih tetap ketus pada Vian.

Lagi-lagi Vian mengembuskan napas lelah. Susah sekali membujuk Dito agar mau menuruti kata-katanya. Harus dengan cara lembut dan penuh kesabaran. Jika Vian memaksanya, maka emosi laki-laki itu akan kembali meledak dan merusak segalanya.

"Aku nggak bilang gitu, Piu. Aku seneng kamu tinggal di sini. Aku juga nggak keberatan. Tapi coba kamu pikirin. Apa kamu nggak takut kalau terjadi apa-apa sama Ines? Dua minggu lalu, dia hampir kehilangan bayi kalian. Memang sih, di rumah sakit itu banyak perawat dan dokter yang bisa mantau dia 24 jam. Tapi mereka nggak selalu bisa nemenin Ines setiap detiknya. Tenaga medis juga butuh istirahat. Bayangin kalau misal nggak ada yang jaga pas dia lagi tidur! Dia kebangun tengah malam, mau minum atau buang air kecil, terus nggak ada yang bantu. Apa kamu mau, kalian bener-bener kehilangan bayi kalian? 31 minggu akan jadi waktu yang sia-sia kalau sampai hal itu terjadi. Ines sudah berjuang dengan sangat berat untuk mempertahankan kehamilannya. Apa kamu mau dia sedih dan trauma karena kejadian ini? Kamu harus tahu, Sayang. Kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi dan kita cintai itu sangat menyakitkan. Aku sudah pernah mengalaminya waktu aku kehilangan Papa. Aku nggak mau kamu nyesel nantinya karena nggak ada di samping istrimu di saat seperti ini," ujar Vian lembut seraya menggenggam tangan Dito yang ada di atas meja.

BETWEEN YOU & USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang