24. Kambing Hitam

780 28 0
                                    

Dingin Feng Hao menatapnya. "Aku tidak mau melayani sandiwaramu."

"Sandiwara? Maksudmu?"

"Kau tahu maksud kedatanganku, seperti aku pun tahu maksud kepergianmu!"

"Kenapa kau tidak membiarkanku pergi? Lu Xiang Chuan sudah berbaik hati padamu. Aku ingatkan kau agar tidak melakukan kebodohan."

"Apa yang diperintahkan Lao Bo bukan suatu kebodohan," jengek Feng Hao.

"Tapi..., kali ini tidak sama. Han Tang sudah mati, kenapa Lao Bo masih memerintah Lu Xiang Chuan buat membunuhnya?"

"Aku hanya melaksanakan tugas dan tidak pernah menanyakan hal lainnya. Kali ini ia memerintahkanku membawamu pulang, maka yang kutahu hanya membawamu pulang!"

Lin Xiu mulai terisak. "Kau bisa bilang padanya, tidak berhasil menemukanku!"

"Kenapa aku harus lakukan itu?"

"Karena... karena aku akan membalas kebaikanmu," lirih Lin Xiu menahan isak.

"Dengan cara apa kau akan membalas kebaikanku?"

"Asal aku bisa bertemu suamiku, apa pun yang kau minta pasti kuberi." Setelah mengucap ini, Lin Xiu menyesali diri.

Feng Hao terseyum. Senyumnya mengandung niat yang tidak baik. Ia memperhatikan dengan cermat tubuh Lin Xiu yang masih padat, putih dan mulus itu. Sekata demi sekata berkata, "Betul akan kau berikan semua padaku?"

Walau Lin Xiu telah lama menikah tapi tubuhnya masih menggairahkan. Ia memang selalu merawat dan membanggakan tubuhnya, membuat suami selalu bergairah padanya.

Tapi semua ia lakukan semata demi suami. Ia tidak pernah memikirkan lelaki lain. Di matanya hanya ada Lu Xiang Chuan; dan tidak pernah membayangkan lelaki lain menyentuhnya. Sampai mati pun ia akan menjaga kesuciannya.

Tapi tawa Feng Hao membuat Lin Xiu memikirkan ini: bila seorang perempuan demi suami mengorbankan kesucian, bisakah dimaafkan?

Yang lebih penting adalah: apakah kelak bila suami mengetahui perbuatannya, bisakah memaafkan dirinya?

*

Feng Hao diam memandanginya. Menanti jawaban.

Lin Xiu menggigit bibir. "Kalau aku memenuhi permintaanmu, apa kau mau melepaskanku?"

Feng Hao mengangguk.

Ia menggigit sedemikian keras hingga bibirnya berdarah. Sambil menelan darah itu ia berkata, "Kapan kau menginginkannya?"

"Sekarang." Sehabis berkata, Feg Hao langsung beranjak menuju semak di sebelah sana.

Lin Xiu mengepalkan tangan, tahu melarikan diri pun tak mungkin, maka perlahan ia mengikuti Feng Hao ke balik semak itu.

Pohon itu besar dan rimbun, menghalangi sinar rembulan yang benderang.

Di bawah kerimbunan pohon dan cahaya rembulan yang remang, Lin Xiu bisa melihat Feng Hao telah menanti di sana. Tanpa mengenakan apa-apa.

Pakaiannya teronggok di atas rumput yang mengering.

Feng Hao menggapai padanya.

Gemetar Lin Xiu mendekati Feng Hao, sedapatnya ia menekan emosi. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, menganggap Feng Hao adalah anjing.

Siapa pun sekali waktu bisa digigit anjing.

Nafas Feng Hao begitu memburu. "Bagaimana kalau di sini? Kujamin kau belum pernah menikmati hal seperti ini."

"Aku bukan anjing," maki Lin Xiu.

"Lambat laun kau akan mengerti bahwa terkadang lebih baik menjadi anjing daripada manusia." Kasar ia menarik Lin Xiu ke pelukannya.

Tubuh Lin Xiu kaku seperti kayu. Ia menggigit bibir hingga kembali berdarah. "Cepat selesaikan, dan aku akan pergi!"

Tangan lelaki itu sudah menyusup ke balik pakaiannya, meremas di sana, memulir dan memainkan pucuknya.

Tangan itu kasar dan gemetar.

Tubuh Lin Xiu gemetar.

Ia harus menahan penghinaan ini. Harus!

Tapi ia tidak bisa.

Ia tidak sanggup menahannya lagi.

Ia mendorong tubuh Feng Hao sekuatnya dan menamparnya.

Feng Hao menjublak.

Lin Xiu mendorongnya kuat-kuat, mundur terus dan terus mundur, hingga punggungnya terhalang sebatang pohon.

Dengan kedua tangan Lin Xiu berusaha menutup payudara sedapatnya. "Lebih baik kau bawa aku pulang menghadap Lao Bo," isaknya.

Feng Hao memandangnya. Dari matanya memancar kemarahan. Ia tertawa sinis, "Pulang? Apa kau masih punya kesempatan pulang?"

Lin Xiu terpaku. "Kau ingin membunuhku?"

"Kau harus mati!"

"Kenapa?"

"Kami memerlukan kambing hitam!"

Ia tidak mengerti dan tidak percaya. "Kambing hitam? Siapa?"

"Kau!"

Sekujur tubuh Lin Xiu seketika dingin. Tapi hati dan wajahnya panas luar biasa.

"Kalau begitu, kenapa kau masih ingin melakukannya padaku?" isaknya penuh kebencian.

"Kalau lelaki punya kesempatan, kenapa tidak?"

Lin Xiu marah. Marah sekali. Sedemikian marahnya hingga ia menjerit menghampiri Feng Hao buat mencekik mati lelaki itu.

Tapi sayang Feng Hao lebih cepat darinya, kepalan sekeras besi menghajar hidungnya, membuatnya nanar separuh sadar.

Entah apa yang ia rasa?

Sakit atau sedih? Marah atau terhina?

Lin Xiu hanya bisa meraung sekerasnya kala Feng Hao merenggut pakaiannya satu-satu dan merentang kedua pahanya begitu kasar.

Ia coba menendang dan mencakar sedapatnya.

Hanya ada satu keinginannya.

Mati!

Makin cepat makin baik.

Tapi ia tidak bisa melupakan suami. Suami yang telah begitu baik padanya.

Ia hanya ingin suaminya tahu betapa ia sangat mencintainya.

Pun ia hanya tahu satu hal, bahwa demi suami ia rela menerima semua penghinaan dan siksaan ini.

Entah apa Lu Xiang Chuan bisa memahami?

Ia terus meracau menyebut nama suami kala gerak Feng Hao di atas tubuhnya semakin cepat dan tidak beraturan.

Bulan tertutup awan.

*

Sepiring ayam di atas meja.

Lu Xiang Chuan termangu menatapnya.

Ayam itu masih mengepul hangat.

Sebetulnya ia sangat menyukai hidangan ini. Apalagi jika ayam itu dicampur jamur.

Itulah lauk yang sering dimasak istrinya. Semata untuknya.

Setiap kali Lu Xiang Chuan mengalami kesulitan dalam pekerjaan atau galau di hati, istrinya selalu menyediakan hidangan ini.

Dan sekarang ia terkenang pada sang istri.

Entah mengapa, ia menghela nafas.

Sepuluh tahun lalu sangat sulit baginya untuk bisa memakan sekerat ayam.

Bahkan di waktu itu, asal bisa makan sekedarnya sudah merupakan suatu keberuntungan dan kemewahan tersendiri.

Semenjak kecil Lu Xiang Chuan tidak punya orang tua.

Akhirnya ia tinggal di desa bersama pamannya, Lu Man Tian.

Meteor, Kupu - kupu, dan Pedang (Liu Xing Hu Di Jian) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang