1. Meteor

4.4K 61 0
                                    

Episode I : METEOR

Meski cahaya meteor hanya singkat, tak satu pun isi semesta yang mampu menandingi pendar gemilangnya. Manakala meteor muncul ke permukaan, bahkan bintang abadi yang paling terang pun tak mampu menandingi kemilaunya.

Hidup seekor kupu-kupu begitu rapuh, bahkan lebih rapuh dari setangkai bunga yang luruh. Kupu-kupu hanya hidup di musim semi. Ia begitu indah, bebas melayang kemana pun terbang. Dalam usianya yang singkat, kupu-kupu tetap abadi dikenang.

Hanya pedang yang sejatinya mendekati keabadian. Hidup mati seorang pendekar sangat tergantung pada pedangnya. Jika pedang memiliki perasaan, haruskah hidup mati seorang pendekar sesingkat meteor?

*

Tatkala meteor jatuh, ia sedang berbaring di atas sebuah batu cadas.

Ia senang berjudi dan minum arak. Pun ia senang main perempuan. Selama ini dalam hidupnya ia sudah mencicipi berbagai macam perempuan. Juga membunuh orang.

Namun manakala meteor muncul ke permukaan, ia tidak pernah melewatkannya. Ia selalu berbaring di sana menanti meteor membelah angkasa.

Selama ia bisa merasakan pendar cahayanya, menikmati kilatan pesonanya, ia akan berbaring di sana.

Itulah saat terindah bagi dirinya.

Ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu sedikit pun karena itu merupakan satu-satunya kesenangan dalam hidupnya.

Pernah ia bermimpi menangkap meteor. Mimpi itu sudah lama berselang. Sekarang mimpinya sudah tidak banyak lagi, malah hampir tidak ada. Karena kini bagi orang semacamnya, bermimpi semata perbuatan yang menggelikan dan sia-sia.

Dan di sinilah ia tengah berbaring, di atas sebuah cadas di puncak bukit, tempat terdekat bagi jatuhnya meteor.

Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih menyala. Saat bayu berhembus, sayup-sayup terdengar suara tawa dan orang bersulang terbawa angin.

Itulah rumah kayunya, araknya, juga perempuannya. Namun ia lebih suka berbaring di sini, memilih menyendiri di tempat ini.

Cahaya meteor sudah lama menghilang. Air di pinggiran batu masih mengembang. Waktu sudah lewat untuk bersenang-senang. Sekarang ia harus kembali menjadi dingin dan tenang. Benar-benar dingin dan tenang. Sebab, sebelum membunuh, seseorang memang harus bersikap dingin dan tenang.

Dan ia harus membunuh orang.

Tapi ia tidak suka membunuh orang. Setiap kali pedangnya menusuk jantung dan darah menetes di ujung pedangnya, ia tidak merasa senang.

Ia justeru menderita.

Walau ia sangat menderita, ia berusaha menahannya karena ia harus membunuh. Bila tidak membunuh, ia yang akan dibunuh.

Terkadang manusia hidup bukan untuk menikmati kesenangan, melainkan menanggung penderitaan, karena hidup adalah sebuah perjuangan. Juga tanggung jawab.

Siapa pun tidak ada yang bisa lari dari tangung jawab itu!

Maka ia pun mulai mengenang saat pertama membunuh orang.

*

Luo Yang. Sebuah kota besar.

Di kota itu terdapat berbagai macam orang. Ada pahlawan, ada pesilat. Ada orang orang kaya, ada orang miskin. Ada berbagai macam perkumpulan dan nama besar lainnya.

Namun nama-nama mereka tidak ada yang seperti Jin Qiang Li, "Li si Tombak Emas".

Orang yang bagaimana kaya pun belum tentu bisa menyamai setengah dari kekayaan Jin Qiang Li. Juga tidak ada yang bisa menahan jurus Qi-qi-si-shi-jiu dari Jin Qiang Li. Musuhnya sangat banyak hingga Jin Qiang Li sendiri sulit mengingatnya.

Meteor, Kupu - kupu, dan Pedang (Liu Xing Hu Di Jian) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang