58. Sandiwara

643 25 0
                                    

Jarak Feng-feng dengan Meng Xing-hun hanya tinggal beberapa meter.

Kaki Feng-feng sangat kuat, dia tidak tampak lelah padahal sudah menempuh perjalanan dari desa tempat tinggal Ma Feng-zhong sehingga ke tempat Lao-bo.

Apalagi dia mengenakan baju laki-laki, bajunya sangat longgar dan mengganggu gerakan Feng-feng.

Meng Xing-hun sudah memperhitungkan semuanya, sebelum Feng-feng tiba di taman bunga, dia harus sampai dulu.

Tapi Meng Xing-hun ternyata salah perhitungan. Karena dia hanya menghitung kecepatan sendiri tidak menghitung kecepatan orang lain.

Dia sudah melewati semak bunga dan meloncat lagi. Pada waktu itu tanah yang berada di bawah kakinya sudah terbuka dan ada sebuah lubang yang lumayan besar.

Di lubang itu ada empat orang yang berbaring di sana, mereka sedang memanah Meng Xing-hun, panah meluncur seperti hujan ke tubuh Meng Xing-hun.

Dalam keadaan biasa Meng Xing-hun pasti bisa mengelak dari panah dan senjata rahasia, karena dia sudah berpengalaman. Tetapi untuk kali ini dia kalah cepat karena dia perhatiannya terfokus pada Feng-feng.

Begitu dia melewati bunga Chrysan yang berwarna kuning terlihat ada darah yang segar menetes-netes.

Sebuah panah menancap di paha kirinya, dia merasa panah itu mengenai tulangnya.

Tapi dia tidak berhenti.

Dia tidak dapat berhenti.

Karena sekarang adalah waktu penentuan antara hidup dan mati, bila dia berhenti, maka akan banyak orang yang mati karena dia.

Rambut Feng-feng sudah berada di depan matanya, sedang berkibar dengan indah. Tetapi di matanya terasa seperti masih sangat jauh.

Kakinya yang terluka telah mengganggu gerakannya.

Antara sadar dan tidak sadar, dia merasa akan pingsan.

Sakitnya sudah menusuk ke tulang, dia tahu dia sudah tidak dapat bertahan lagi, tetapi dia berusaha menggunakan tenaga terakhir mendekati Feng-feng dan menotok urat nadinya.

Itu adalah nadi yang mematikan, sekali tertotok sudah pasti langsung mati.

Begitu tangan diayunkan, rasa sakit sudah mencapai kepalanya kemudian dia merasa tubuhnya menjadi mati rasa.

Dia masih bisa merasa jarinya masih mengenai tubuh yang hangat, setelah itu semuanya menjadi gelap.

***

Langit terlihat penuh dengan bintang, angin sepoi-sepoi berhembus dari pantai.

Mereka bergandengan tangan, dengan tenang berjalan di tepi pantai. Ada nelayan yang bernyanyi dengan merdu.

Dia menarik Xiao Tie kedalam pelukannya, mencium rambut yang berkibar ditiup angin, mata Xiao Tie begitu dalam begitu jauh ...

Tiba-tiba Meng Xing-hun membuka matanya, mimpi yang indah itu telah hilang begitu saja.

Tidak ada cahaya bintang, tidak ada laut, juga tidak ada orang yang berada di dalam mimpinya.

Dia telungkup di tempat tadi dia ambruk, kakinya semakin sakit.

"Aku tidak mati."

Ini adalah hal pertama yang dipikirkannya, tetapi hal ini tidak penting, yang terpenting adalah apakah Feng-feng masih hidup atau tidak, dia tidak akan membiarkan Feng-feng membocorkan rahasia Lao-bo.

Ada suara tawa orang.

Meng Xing-hun berusaha mengangkat kepalanya, dia melihat Lu Xiang-chuan, mata Lu Xiang-chuan tampak bercahaya tetapi ternyata bukan dia yang tertawa.

Meteor, Kupu - kupu, dan Pedang (Liu Xing Hu Di Jian) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang