Muka yang cantik itu tiba-tiba pucat.
Ketua Hek-yan-pang ini tampak tergetar dan menggigil, bubur di tangannya tiba-tiba hampir tumpah. Tapi ketika dia mengeraskan hati dan menggigit bibir maka dia berkata, tampak menindas semua pukulan batinnya,
"Golok Maut, kali ini aku tak ingin bicara itu. Aku ingin menolongmu sebagai orang yang pernah kau tolong. Nah, kau makan dulu ini dan setelah sembuh kita bicara lagi!"
Golok Maut tertegun. Dia sudah ditolong dan diangkat ke tempatnya semula, dibaringkan dan disandarkan setengah duduk. Dan ketika jari-jari yang lembut itu tampak gemetar dan menyendoki bubur maka sesuap demi sesuap pemuda ini sudah diisi perutnya.
"Urusan itu tak ingin kubicarakan sekarang. Sebaiknya kutolong dulu dirimu dan setelah itu kita bicara!"
Golok Maut mengangguk. Akhirnya dia menarik napas dan sependapat, memang rasanya tak enak membicarakan itu di saat seperti itu. Ketua Hek-yan-pang ini berusaha menolongnya atas dasar hutang budi, jadi agaknya hendak memisahkan itu dengan urusan dulu. Dan ketika dia mengangguk dan menerima suapan demi suapan maka mata mereka sering bentrok dan diakui atau tidak keduanya sama-sama tergetar, sering melengos namun tak dapat disangkal bahwa keduanya sama-sama mengagumi wajah lawan.
Golok Maut kagum akan wajah jelita dn ayu dari ketua Hek-yan-pang itu sementara wanita baju ruerah itu juga kagum dan tertarik kepada wajah yang gagah namun dingin ini, wajah yang penuh penderitaan dan agaknya Golok Maut menerima goresan-goresan batin yang dalam.
Semuanya itu tampak di wajah yang tidak bercaping lagi ini dan sering ketua Hek-yan-pang itu menekan debaran jantungnya, akhirnya selesai menyuapi dan berterima kasihlah Golok Maut dengan suara lirih.
Ketua Hek-yan-pang itu membalik dan berkelebat keluar, tak menggubris ucapan terima kasih Golok Maut tapi tak lama kemudian dia datang lagi dengan semangkuk obat.
Rupanya dibelakang tadi dia telah menyiapkan semuanya itu untuk Golok Maut, merebus obat dan meminumkan ini pada Golok Maut, juga tanpa banyak cakap. Dan ketika Golok Maut tertegun tapi lagi-lagi menerima semuanya itu, dengan ucapan terima kasih maka tiga hari berturut-turut gadis atau wanita baju merah ini merawat Golok Maut sampai sembuh, telaten dan penuh perhatian dan Golok Maut benar-benar merasa berhutang budi.
Tubuhnya yang terserang demam sudah sembuh total, luka-luka dalamnya juga sudah tak ada lagi berkat rebusan obat ketua Hek-yan-pang ini. Dan ketika hari keempat tokoh itu merasa sehat dan dapat melompat bangun maka dia sudah berkelebat ketika bayangan merah itu tampak berjongkok di dapur, merebus air.
"Pangcu, terima kasih. Aku telah sembuh!"Wanita itu membalik, bangkit berdiri.
"Kau mau pergi?"
Golok Maut tertegun. Suara wanita ini terdengar hambar, dingin namun tidak menunjukkan kemarahan. Sikapnya biasa-biasa saja namun sepasang mata itu membayang, jelas wanita ini mau menangis namun menahannya.
Dan ketika Golok Maut tertegun dan teringat keinginannya tiba-tiba dia memegang sepasang lengan yang lembut itu, yang tiba-tiba gemetar.
"Pangcu, aku pergi atau tidak sebenarnya tergantung kau. Aku teringat bahwa kita harus bicara. Nah, aku sudah sembuh dan ingin bicara!"
"Aku tak ingin bicara lagi," wanita itu tiba-tiba menangis. "Kau boleh pergi dan tinggalkan aku, Golok Maut. Aku tak akan mengingatmu tapi aku juga akan pergi jauh!"
"Kau mau kemana? Kenapa tidak membicarakan apa yang ingin kau bicarakan?"
Tangis yang tertahan itu tiba-tiba meledak. Golok Maut terkejut ketika tiba-tiba wanita itu mengeluh, mengeluarkan semacam erangan dan tiba-tiba menarik lepas tangannya. Dan ketika Golok Maut terkejut dan membelalakkan matanya. tiba-tiba wanita itu meloncat keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golok Maut - Batara
General FictionGIAM-TO (Golok Maut) dikenal orang pada jamannya Lima Dinasti. Waktu itu Tiongkok Utara kacau, kerajaan Tang baru saja tumbang. Dan ketika kekalutan serta pertikaian masih mendominasi suasana maka daerah ini seakan neraka bagi kebanyakan orang. Li K...