50

878 16 0
                                    

"CRAK-CRAK!"

Habislah harapan dua kakek ini. Mereka terpaksa menangkis karena pedang menuju tenggorokan, tak dapat dikelit atau dielak karena gerakan pedang sedemikian cepatnya, menyambar dan tahu- tahu su-dah serambut saja di kulit leher. Dan ke-tika mereka menangkis dan nenggala mau-pun cambuk tentu saja bukan tandingan Pek-jit-kiam yang luar biasa maka dua senjata di tangan kakek lihai itu putus.

"Ha-ha!" pangeran Coa bersorak. "Kalian kalah, Mindra. Sekarang Beng Tan benar-benar membuktikan omongannya dan tepat duapuluh lima jurus kalian menyerah!"

Memang benar. Lima orang kakek itu terpaksa mengakui kekalahannya dan mereka menunduk lesu. Beng Tan telah mengalahkan mereka dan kalau pemuda itu bersikap kejam tentu mereka bakal terlu-ka, tidak hanya tergurat kulit atau pecah berdarah seperti Mo-ko kakak beradik. Dan ketika seraua raundur dan Coa-ongya melompat menepuk-nepuk Eieng Tan maka hari itu Beng Tan benar-benar mendapat perhatian istimewa pangeran ini.

nKau hebat, ilmu pedangmu luar biasa. Ah, ingin kulihat kalau kau sudah bertanding dengan Si Golok Maut itu! Hm, siapa gurumu, Beng Tan? Bolehkah aku tahu?"

"Maaf," Beng Tan tersenyum. "Guruku tak mau disebut guru, ong-ya. Aku hanya belajar sedikit-sedikit darinya. Aku tak mempunyai guru dalam arti mewarisi semua kepandaiannya."

"Ah, dan itu saja sudah membuatnmu sedemikian lihai? Wah, kalau begitu orang yang mengajarimu itu hebat luar biasa, Beng Tan. Pantasnya dewa dan bukan manusia!"

"Memang, dia kuanggap dewa. Tapi, ah.... sudahlah. Guruku itu tak suka memperkenalkan diri dan sekarang apa yang harus kulakukan, ong-ya. Kapan aku berangkat dan kapan pula kelima orang ini ikut denganku!"

"Ah, ha-ha! Jangan tergesa-gesa. Malam ini biar kau beristirahat semalam dan besok baru berangkat!"

"Tapi sri baginda..."

"Tak usah takut. Aku yang menjamin! Betapapun kelima orangku ini harus bersiap-siap kalau ingin mengikutimu. Sudahlah, kita bersenang-senang dulu, Beng Tan. Dan sungguh beruntung kau mendapatkan Pek-jit-kiam itu. Hm, aku iri!" Coa-ongya tak segan-segan memandang belakang punggung Beng Tan, benar-benar iri akan pedang hebat yang dibawa pemuda itu. Beng Tan tersenyum saja dan dijamulah pemuda itu oleh hidangan-hidangan lezat yang disuguhkan tuan rumah. Dan ketika malam itu dia diminta menginap di gedung pangeran ini dan Beng Tan ragu untuk menolak maka sang pangeran sudah memandang Swi Cu, yang sejak tadi diam dan hanya mengikuti pembicaraan kekasihnya.

"Dan kau," pangeran ini tersenyum berkata. "Kau boleh tinggal di kamar belakang, nona. Ada sebuah kamar khusus untuk wanita disana. Beng Tan biar disamping gedung, dan kau disana."

Swi Cu tertegun. Sebenarnya dia tak ingin jauh-jauh dari Beng Tan. Semalam dia selalu berdekatan dengan pemuda itu, kamar bersebelahan, dapat bercakap-cakap dan mudah bertemu muka kalau ingin bicara. Maka begitu Coa-ongya berkata dan tentu saja dia tak sanggup menolak, karena malu baginya kalau minta kamar yang dekat dengan Beng Tan maka disana Beng Tan juga agak sedikit gugup mendengar penawaran itu. Namun, mau apalagi? Maka ketika malam itu mereka beristirahat dan Swi Cu diam-diam mengumpat pangeran ini karena memisah mereka dengan kamar yang berjauhan maka sebelum tidur gadis ini melepas kemendongkolannya.

"Sialan Coa-ongya itu. Kenapa dia memberiku kamar yang jauh? Uh, sudah tahu aku kekasihmu masih saja dia mengatur kamar yang terlalu jauh. Kalau aku tak malu tentu sudah kuminta kamar yang lain, yang dekat denganmu!"-

"Sudahlah," Beng Tan tersenyum, menarik napas dalam. "Aku juga tak enak menawar yang lain, Cu-moi. Tapi tak apa ah, toh kita tetap disatu gedung yang sama."

"Benar, tapi aku dibelakang, koko. Jauh darimu. Kalau ada apa-apa tentu kau tak segera tahu!"

"Ah, ada apa bagaimana? Kita di tempat aman, Cu-moi. Tak akan ada apa-apa, Sudahlah, kau tidur dan kita beristirahat, besok aku harus berangkat!"

Golok Maut - BataraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang