Hal itu sudah dilakukan Swi Cu. Gadis ini memang takut tapi juga gembira. Takut-takut gembira, begitulah barangkali. Dan ketika dia mendekap tubuh Beng Tan dan bantal mega itu, terus melayang dan mengikuti Sian-su, mirip selempang Aladin maka tibalah mereka di suatu tempat yang sukar disebut namanya.
Tempat itu seperti taman di tengah surga, pohon warna-warni ada disitu dan Beng Tan takjub melihat ini. Daun yang ada disitu bukan hanya berwarna hijau melainkan berwarna-warni. Biru, hitam dan putih. Bahkan, ada yang jambon dan perpaduan diantara tujuh warna sinar pelangi. Beng Tan takjub dan bingung, untuk menentukan warna apakah yang dilihatnya itu.
Pokoknya, bukan warna yang ada di bumi. Semuanya lebih indah dan jauh lebih mempesona daripada di bumi. Warna itu tak dapat dilukiskan atau digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, indah dan mentakjubkan. Titik! Dan ketika Beng Tan bengong dan takjub memandang semua itu maka Swi Cu, yang juga sudah membuka mata dan melepaskan diri dari kekasihnya berseru kagum tak dapat menahan mulut.
"Luar biasa... mentakjubkan! Ah, seperti Taman Firdaus...!"
"Benar," Beng Tan tiba-tiba teringat kitab suci. "Taman ini seperti Taman Firdaus, Cu-moi. Dan pohon-pohon itu, ah... mereka dapat bergerak... menari!"
Swi Cu membelalakkan matanya., Tiba-tiba pohon yang ada disitu mendadak semuanya bergoyang, bergerak dan sudah berpindah-pindah tempat. Mereka seolah bermain satu sama lain, atau mungkin menari-nari, karena pohon yang daunnya putih dan hitam berlenggak dan berlenggok.
Dahan dan ranting mereka saling bergerak maju mundur. Itulah pemandangan yang seumur hidup belum pernah mereka saksikan. Seperti dongeng! Tapi ketika mereka terbelalak dan takjub serta bengong tak habis-habisnya maka Bu-beng Sian-su tertawa dan menyadarkan mereka.
"Beng Tan, mari sini. Inilah tempat yang enak, bebas dari pengaruh hawa nafsu manusia."
Beng Tan terkejut. Segera dia sadar dan turun dari bantal meganya itu, lupa tidak menginjak tanah tapi bengong karena kakinya menapak di sesuatu yang lembut, seperti awan atau beludru tebal, lunak. Entahlah, tak tahu dia apa namanya itu tapi pemuda ini sudah menghampiri Sian-su.
Kakek itu sudah bersila dan wajahnya yang bersinar tampak semakin bersinar saja, tidak menyilaukan namun tetap saja Swi Cu dan Beng Tan tak dapat menembus kabut atau halimun diwajah sang kakek. Dan ketika Beng Tan duduk dan Swi Cu menyusul, heran dan terkagum-kagum maka kakek itu bertanya apa yang hendak dibicarakan pemuda itu.
"Teecu.... teecu hendak meminta jawaban tentang syair. Juga sekalian memberi tahu bahwa Golok Maut tewas!"
"Aku tahu," kakek itu tersenyum, menghela napas. "Kematian Golok Maut sudah kuketahui dulu-dulu, Beng Tan. Dia telah menentukan garis nasibnya sendiri. Hm, akibat dendam!"
"Dan teecu akan bertanya tentang syair....."
"Nanti dulu!" Swi Cu tiba-tiba memotong. "Aku hendak bertanya tempat apakah ini namanya, Sian-su. Bagaimana begini mempesona dan mentakjubkan. Semuanya serba lain dengan di bumi!"
"Hm, ini adalah It-thian (Langit Pertama)."
"It-thian?"
"Ya, perpindahan pertama kalinya dari alam kasar ke alam halus, nona. Sebelum menaiki jenjang-jenjang berikutnya."
"Ih, tempat orang mati?"
"Bukan orang mati saja, melainkan segala yang ada di bumi, tanaman dan binatang. Sudahlah, kau tak akan mengerti dan sebaiknya kita ikuti pertanyaan Beng Tan ini."
Swi Cu ngeri. Tiba-tiba dia mengkirik dan memandangi pohon-pohon yang menari-nari itu. Jangan-jangan itu adalah pohon yang mati di bumi dan kini "hidup" di tempat ini. Atau, mungkin roh orang yang "nyasar" ke pohon itu. Hii, merinding dia! Dan ketika dia mencekal lengan Beng Tan erat-erat dan tanpa terasa menjadi takut dan ngeri maka Bu-beng Sian-su tersenyum memandang pemuda itu, yang juga pucat dan berkeringat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Golok Maut - Batara
General FictionGIAM-TO (Golok Maut) dikenal orang pada jamannya Lima Dinasti. Waktu itu Tiongkok Utara kacau, kerajaan Tang baru saja tumbang. Dan ketika kekalutan serta pertikaian masih mendominasi suasana maka daerah ini seakan neraka bagi kebanyakan orang. Li K...