Sejak kejadian kemarin, Tasalia lebih banyak diam. Lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca novel dan belajar.
Kemarin juga, Deva menanyakan apa yang terjadi pada Tasalia. Sebagai jawaban, Tasalia hanya tersenyum lalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
Tasalia juga berpura-pura acuh saat bertemu Anita atau Rafa. Ia menganggap keberadaan mereka hanyalah angin lalu. Bahkan, saat kemarin Tasalia lewat dihadapan Anita, cewek itu mengabaikan pandangan benci dan kesal yang Anita berikan padanya.
Tasalia merebahkan dirinya diatas kasur bersprei ungu muda sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia membentuk bintang besar diatas kasurnya.
Tasalia menghela nafas panjang saat memori yang menurutnya kelam kembali berputar diotaknya. Tanpa sadar, Tasalia mengeluarkan air matanya. Sejak pertengkaranya kemarin dengan Anita dan Rafa, Tasalia menjadi cewek lemah. Gampang nangis.
Tasalia mengubah posisi tidurnya menjadi duduk diatas kasur. Matanya menatap foto dirinya sewaktu kecil dengan seorang anak laki-laki yang sedang tersenyum hangat. "Rafa, andaikan kita bisa kayak dulu lagi," lirih Tasalia.
Kemudian, Tasalia menundukan kepalanya dan mulai terisak kecil yang lama-lama menjadi isakan hebat. "Kenapa Yaya harus nanggung semua ini, Bu?" ujar Tasalia disela-sela tangisnya. Ia mengambil bantal lalu memeluk bantal itu seraya menenggelamkan wajahnya disana.
"Gak adil, Bu..." isak Tasalia. "Yaya cape, Bu, dihina sama Anita.. Apa lagi Rafa, Bu... Yaya cape.." Tasalia masih menenggelamkan wajahnya dibantal. "Andaikan Ibu masih ada, mungkin Yaya bakal ngadu ke Ibu dan nangis dalam pelukan Ibu. Tapi sayang, Bu... Semua cuman jadi angan-angan Yaya aja." lirih gadis itu, "Atau mungkin, Yaya bakal ngadu ke Ayah kalau Yaya dijahatin sama Rafa—eh tapi nanti yang ada Ayah malah—" ucapan Tasalia terhenti saat rasa sesak kembali mengisi rongga dadanya. Ia kembali terisak hebat saat membayangkan bagaimana jadinya jika mereka masih ada disamping Tasalia saat ini. Mungkin tidak akan seburuk ini.
'Apa dengan nangis, semuanya akan kembali seperti semula? Enggak.' perkataan Rafa kembali terngiang diotak Tasalia. Seketika gadis itu bersusah payah menghentikan isakan hebatnya. Lambat laun, isakanya berhenti. Menyisakan mata bengkak, sembab, dan hidung Tasalia yang memerah.
"Rafa bener, Bu... Mau Yaya nangis sehebat apapun, Ibu gak bakal kembali buat nemenin Yaya." parau Tasalia. Ia menghela nafas panjang. "Yaya janji, Bu... Yaya bakal jadi anak Ibu yang kuat. Yaya gak boleh nangis bombay kayak tadi lagi.. Apapun yang terjadi sama Yaya. Yaya bakal berusaha supaya tetep kuat. Do'a in Yaya, Bu.." ujar Tasalia sebelum gadis itu melangkahkan kakinya kearah kamar mandi untuk membasuh mukanya.
Setelah Tasalia membasuh muka, ia berjalan kedapur dan menyeduh green tea latte yang bisa sedikit menenangkan dirinya jika sedang dilanda kesedihan atau stres. Selesai menyeduh green tea latte, Tasalia membawa minuman itu keruang tamu lalu duduk dikursinya. Ia menghirup aroma minuman itu sebelum ia menyesapnya. Menikmati aroma minuman itu adalah aktivitas favorit Tasalia sebelum menyesapnya.
"Andaikan hidup gue tenang kayak gini," gumam Tasalia lalu menyesap green tea latte nya.
Rumah Tasalia adalah rumah sederhana. Hanya ada satu kamar, satu kamar mandi, WC, ruang tamu berukuran 3x4 meter, dan juga ruang TV berukuran sedikit lebih luas dari ruang tamu. TV-nya juga hanya berukuran 21inch yang ditempel ditembok.
Tasalia hanya hidup sendiri. Sesekali paman sekaligus pengacara yang sukarela membantu Tasalia mendapatkan apa yang harus menjadi milik Tasalia, mengunjungi gadis itu. Hanya sekedar mengunjungi dan menanyakan apa keperluan Tasalia. Seperti uang jajan, makanan pokok, dll. Paman nya lah yang mengurus semua keperluanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Same
Novela JuvenilNamanya Tasalia. Cewek yang memiliki banyak rahasia yang tidak orang lain ketahui. Ia selalu menyimpan semuanya sendirian. Namun, rahasia terbesar yang ia sembunyikan secara rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Disaat semua orang menjauhi Tasalia...