"Kemarin, lo udah cerita sama Ibu lo?" tanya Deva saat sudah duduk di sebelah Tasalia.
Tasalia hanya mengangguk tanpa repot-repot mengeluarkan sepatah dua kata. Karena jujur, ia masih syok atas kejadian kemarin. Niatnya yang baik malah menimbulkan kerusuhan.
"Lo sakit?" tanya Deva yang tiba-tiba cemas karena dari tadi Tasalia hanya diam.
Tasalia menggeleng. Lagi-lagi tanpa mengeluarkan kata.
"Ya, jangan diem gini dong. Gue jadi cemas," Deva mengguncang bahu Tasalia pelan. "Lo bisa cerita sama gue, Ya. Gue siap ngedengerin." lanjut Deva.
"Ke taman belakang aja, oke?" ujar Tasalia. Ia berdiri kemudian melangkah keluar kelas. Disusul dengan Deva yang mengekor Tasalia.
Sesampainya di sana, Tasalia segera duduk di salah satu bangku panjang yang disediakan. Ia menghela napas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan.
"Apa gue salah kalau gue berharap kepada seseorang?" tanya Tasalia tiba-tiba. Ia menatap Deva.
"Gak salah juga. Tapi, berharap kepada manusia itu sakit. Jadi, berharaplah sama Tuhan." jawab Deva. Sebenarnya ia bingung ke apa Tasalia tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Kenapa berharap sama manusia sakit?" tanya Tasalia lagi.
"Karena bisa jadi, orang yang kita harapkan itu tidak sesuai dengan ekspetasi kita," Deva menatap Tasalia dengan senyum kecil di wajahnya. "Ibaratnya gini. Lo berharap bahwa guru killer yang ngajar di kelas lo itu gak datang. Karena sebelumnya beliau ngomong bahwa beliau ada urusan. Jadi gak bisa ngajar. Tapi tiba-tiba dia datang. Ngajar. Padahal dalam hati, kita udah berharap banyak bahwa hari itu bakal jamkos." lanjut Deva dengan menyengir. Ia juga sedang berusaha membuat Tasalia tersenyum.
Setidaknya, usaha Deva membuahkan hasil. Tasalia tertawa kecil. "Garing tau! Lagian, ibarat macam apa itu?" Tasalia bertanya masih dengan tawa kecil.
Deva tergelak. "Garing tapi kok ketawa?" goda Deva.
"Ya gue menghargai usaha lo buat bikin gue ketawa. Karena gue tau, rasanya gak dihargai itu sakit." tawa Tasalia berhenti dan berganti dengan sneyum sendu.
"Iya deh, makasih atas apresiasinya. Gue menghargai itu," Deva tersenyum. "Sekarang, giliran gue yang nanya. Kenapa hari ini lo tiba-riba lo jadi pendiem banget?" tanya Deva.
"Gue—"
"Stop, stop! Gue tau jawabannya!" potong Deva dengan heboh.
"Apaan emang jawabannya?" tanya Tasalia penasaran.
"Lo ee di celana kan?! Makannya diem aja?!" tebak Deva. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Ih, enggak, Dev!" Tasalia menabok lengan Deva. Tapi cewek itu juga ikut tertawa. "Lo kata gue anak SD apa?" Tasalia masih tertawa.
"Ya lagian lo kenapa sih diem mulu?" tanya Deva masih dengan tawa yang keluar dari bibirnya.
Tasalia menghela napas. Berusaha untuk meredakan tawanya. Setelah tawanya reda, ia mulai berbicara dengan pelan. "Kemarin, gue hampir ditampar sama Kak Rifa. Untungnya ada Rafa." ujar Tasalia.
Deva terdiam. Tawnaya tiba-tiba menghilang. "Kak Rifa? Kakaknya Rafa?" tanya Deva.
Tasalia hanya mengangguk.
"Ya ampun, Ya! Harusnya kemarin gue ikut sama lo. Gue bilang juga apa kan?" Deva menatap cemas Tasalia.
"Kalau lo ikut, nanti makin runyem masalahnya." sahut Tasalia kalem.
"Tapi lo gak apa-apa kan? Ada yang memar gak? Lecet? Luka? Atau—"
"Dev, kemarin gue cuman hampir ditampar. Hampir, Dev, hampir." potong Tasalia dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Same
Ficção AdolescenteNamanya Tasalia. Cewek yang memiliki banyak rahasia yang tidak orang lain ketahui. Ia selalu menyimpan semuanya sendirian. Namun, rahasia terbesar yang ia sembunyikan secara rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Disaat semua orang menjauhi Tasalia...