"Raf, gue mau pulang..."
Itu adalah perkataan Tasalia yang entah keberapa kalinya. Bahkan telinga Rafa sudah kebal dengan perkataan Tasalia yang meminta pulang.
"Ayolah, Raf... Dokter udah memperbehkan gue pulang siang ini." Tasalia masih berbaring di atas brangkarnya. Ia menatap Rafa dengan tatapan memelas.
"Tapi lebih baik lo istirahat sehari lagi di sini." Rafa masih berdiri teguh pada pendiriannya. Menyuruh Tasalia tetap beristirahat di rumah sakit walaupun cewek itu sudah dirawat selama satu malam.
"Gue gak betah," Tasalia memberengut kesal. "Gue bosen." tambah Tasalia.
"Oh."
Tasalia melotot mendapati respon Rafa yang terkesan cuek sekali. "Ih! Tau gitu, mendingan lo sekolah aja sana! Gak usah temenin gue!" kesalnya. "Jadi gue bisa kabur!"
Rafa terkekeh kecil mendengar omelan Tasalia. "Kabur? Sayangnya lo gak bisa kabur dari jangkauan gue." ujarnya sombong.
"Kakak nyebelin," gerutu Tasalia. Ia memalingkan wajahnya.
"Mending lo istirahat." Rafa menjatuhkan tubuhnya pada sofa yang terdapat di pojok ruang rawat inap Tasalia.
"Dari kemarin gue udah istirahat," balas Tasalia masih dengan nada suara yang kesal. "Jadi, sekarang gue pingin pulang."
Kali ini Rafa tersenyum kecil, "Lo paham Bahasa Indonesia kan? Kalau gue bilang enggak, gak usah ngelawan." Rafa menyahuti Tasalia dengan tenang namun tegas.
"Emang ya, lo hobi bikin orang kesel," Tasalia menatap Rafa yang sedang menyandarkan tubuhnya di sofa ruangan. "Kemarin lo bikin keributan di luar ruangan sama Deva, bikin dia kesel. Terus sekarang, lo bikin gue kesel." lanjutnya. Ia tersenyum penuh kemenangan saat wajah Rafa tiba-tiba berubah menjadi pias.
"Enggak," bantah Rafa. "Dianya aja yang gak becus jaga lo. Makanya gue—"
"Pokoknya lo itu nyebelin." potong Tasalia dengan cepat.
"Tau dari mana lo?" Tasalia menatap Rafa bingung. "Tau dari mana gue ribut sama Deva?" lanjut Rafa seolah bisa membaca raut wajah Tasalia yang kebingungan.
"Dokter." sahut Tasalia.
"Oh."
Setelah itu, keheningan kembali menyelimuti mereka lagi.
"Raf," panggil Tasalia. Sekaligus pemecah keheningan.
"Apa? Minta balik?"
"Iya." Tasalia menyengir kecil.
"Astaga, Tasalia... Gue udah bilang berapa kali? Besok aja lo pu—"
"Gue pingin ke makam Ibu dan Ayah." Tasalia memotong omongan Rafa dengan tegas.
[ NOT SAME ]
"Gini nih yang gue gak suka," Rafa menghela napas lelah. Ia menahan tubuh Tasalia agar tidak terjatuh ketika berjalan. Cewek itu masih menangis sesegukan setelah berkunjung ke makam Ibu dan Ayahnya—sekaligus Ayah Rafa juga.
"Masih kuat jalan gak?" suara Rafa sedikit melembut. Dan Tasalia hanya membalas dengan anggukan pelan.
Sesampainya di dalam mobil, mereka lagi-lagi diselimuti oleh keheningan. Tasalia sibuk mengamati pemandangan di luar mobil dengan tatapan kosong. Matanya terlihat sangat sembab. Sedangkan Rafa, ia sibuk menyetir. Sesekali ia melirik Tasalia juga.
"Kalau nanti lo gak sanggup cerita di makan Ibu atau Ayah, jangan dipaksain. Gini kan akhirnya. Lo nangis sesegukan." ujar Rafa memecahkan keheningan.
"Gue emang suka gini kalau ke makam mereka." balas Tasalia dengan suara yang pelan dan masih bergetar.
"Lo mau langsung balik?"
"Kenapa emang?" Tasalia balik bertanya. Pandangannya masih terfokus pada pemandangan di luar.
"Gak apa-apa. Gue cuman ingin ibadah. Takutnya lo gak mau nunggu gue."
"Bilang kalau lo mau ibadah," balas Tasalia. "Silahkan aja. Gue tunggu di mobil." lanjutnya.
Rafa melirik Tasalia sekilas sebelum fokus lagi pada jalanan di depannya. "Beneran gak apa-apa?" tanyanya sekali lagi, memastikan.
Dan Tasalia tidak bersuara. Ia hanya mengangguk lagi sebagai jawabannya.
"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Kalau ada apa-apa, telepon gue." ujar Rafa setelah sampai di gereja—tempat biasanya ia beribadah.
"Iya," Tasalia hanya membalas singkat.
Di dalam gereja, Rafa segera duduk di salah satu kursi panjang. Ia mulai menyatukan telapak tangannya dan memejamkan mata.
"Tuhan... Atas semua kasih sayang-Mu dan kekuatan-Mu, aku memohon, sembuhkan lah Tasalia, Tuhan... Angkat penyakitnya," Rafa menundukkan kepalanya dalam. Memori masa kecilnya bersama Tasalia memutar bagai kaset rusak di otaknya.
"Jangan biarkan ia terpuruk. Beri dia kebahagiaan selamanya. Dan jangan sampai penyakitnya membuat ia kembali pada-Mu," dan tanpa Rafa sadari, air mata keluar dari matanya yang terpejam.
"Aku percaya akan keajaiban-Mu. Jangan dulu Engkau mengambil orang sebaik Tasalia. Dan Ya Tuhan, sehatkan juga Ibuku, juga berkatilah Ayah di rumah-Mu. Berkati juga Ibunda Tasalia, Ya Tuhan. Aku mohon..." Rafa menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan.
"Beri aku kesempatan juga, Ya Tuhan. Kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Memperbaiki hubunganku dengan Tasalia, menebus semua dosa dan kesalahan yang tah aku perbuat pada Tasalia," bahu Rafa berguncang pelan. Air mata yang jatuh, semakin deras.
"Tuhan, maafkan aku. Aku menangis. Aku tidak bisa mengungkapkan kesedihan ini di depan banyak orang. Hanya di hadapan-Mu aku bisa mengungkapkannya,"
Ruangan sepi itu, kini tidak lagi sepi. Suara tangis Rafa mengisi ruangan itu. Rafa diam-diam ikut hancur saat melihat Tasalia hancur. Ia merasa sedih saat Tasalia sedih. Ia juga merasa belum menjadi kakak yang baik bagi Tasalia. Ia hanya merasa menjadi seorang kakak yang munafik, suka membohongi perasaannya sendiri.
Dan sebagai penutup, Rafa berdoa dalam hati, "Jagalah, lindungilah, berikan kebahagiaan, kesehatan, bagi orang-orang yang aku sayang. Khususnya Mama dan Tasalia, Ya Tuhan. Aamiin..."
Rafa kembali membuka matanya. Ada perasaan lega saat ia sudah selesai mencurahkan segala keluh kesahnya dalam doa, bebannya seperti terangkat sebagian.
"Kabulkan doaku, Ya Tuhan. Aamiin..." ucap Rafa sebelum keluar dari rumah ibadahnya.
[ NOT SAME ]
Sudah berapa lama kah saya tidak update lapak ini (╥﹏╥)?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Same
Teen FictionNamanya Tasalia. Cewek yang memiliki banyak rahasia yang tidak orang lain ketahui. Ia selalu menyimpan semuanya sendirian. Namun, rahasia terbesar yang ia sembunyikan secara rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Disaat semua orang menjauhi Tasalia...