Not Same 50

1.4K 59 1
                                    

"Dua bulan berlalu. Dua bulan sejak terakhir kalinya aku menangis 'sesegukan' di makam ayah dan ibuku. Rasanya, waktu begitu cepat berlalu. Dan itu artinya, kematian semakin dekat denganku, bukan? Aku tidak bisa berjanji kepada Paman John, Rafa, Deva, dan juga semesta untuk bertahan, melawan rasa sakitku.

Aku tidak bisa berjanji, karena pada dasarnya aku tahu dan aku sadar. Bahwa kematian tinggalah menunggu waktu.

Padahal mereka juga mengetahuinya, bahwa kematian tinggal menunggu waktu bagiku. Tapi mengapa mereka selalu optimis bahwa aku akan sembuh? Kenapa?

Aku ingin sembuh, sama seperti harapan mereka. Tapi aku sadar, bahwa penyakitku ini belum ada obatnya. Belum ada cara menyembuhkannya.

Semoga saja, di dunia ini tidak ada lagi orang sepertiku, aamiin."

Rafa menghela napas berat. Ia kembali meletakkan secarik kertas itu di atas meja belajar Tasalia. Hatinya terasa sesak saat membacanya.

Ditatapnya wajah Tasalia yang sedang tertidur. Wajahnya yang terlihat lebih tirus, kantung mata yang terlihat dengan jelas, bibir pucat, serta... badannya yang mengurus.

"Ya Tuhan..." lirih Rafa pelan sekali. Ia masih diam berdiri menatap Tasalia.

Dua bulan berlalu begitu cepat, sama seperti kata Tasalia di secarik kertas tadi. Dua bulan mengubah kehidupan dan kondisi tubuh Tasalia.

Kini, Tasalia lebih banyak beristirahat di rumah. Urusan sekolah, Jhon sudah mengurusnya. Bahkan, Jhon meminta Tasalia untuk home schooling karena melihat kondisi Tasalia yang sekarang ini, cepat lelah dan mulai mengurus.

"Raf?"

Rafa tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat kaget.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Rafa yang buru-buru duduk di pinggir kasur Tasalia. Ia menatap wajah adiknya dengan lembut.

"Harusnya, gu—eng... Maksudnya, harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa?" Tasalia tersenyum tipis. Ia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala kasur.

"Gak apa-apa, tadi gue cuman mau mastiin lo udah tidur atau belum," sahut Rafa. "Ya udah, gih tidur lagi!"

Tasalia menatap Rafa lamat-lamat, kemudian dia menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. "Aku kangen sekolah, Raf..." lirihnya. "Aku kangen teman-teman aku,"

Rafa meraih tangan Tasalia dan dugenggamnya dengan lembut. "Yaya, jangan mikirin yang kayak gitu dulu. Sekarang, lo fokus untuk sembuh dulu... Lagi pula, Paman Jhon udah pernah minta lo buat home schooling kan?" Rafa berkata dengan lembut.

"Tapi, rasanya bakal beda, Raf..."

"Yaya, jangan ngeyel. Paman melakukan ini semua buat lo juga. Supaya lo gak cepat lelah," sahut Rafa. Ia berusaha menjawab setenang mungkin. "Toh, mantan lo juga kan udah pernah bilang sama lo, lebih baik lo istirahat di rumah,"

"Mantan?" dahi Tasalia mengerut bingung.

"Mantan lo, Deva."

"Ya ampun, Raf... Dia bukan mantan aku. Tapi dia teman aku..." Tasalia terkekeh kecil.

"Ya udah lah, suka-suka gue mau nyebut dia apa juga. Mau nyebut dia mantan lo kek, sahabat lo kek, atau bahkan babu lo, itu hak gue,"

"Ih! Sinis banget sih!" komentar Tasalia sambil mendelik.

"Ya lagian, lo itu terlalu baik tau gak? Masih aja mau temenan sama orang yang bikin lo nangis. Aneh."

"Rafa... Kita udah maafan. Kita udah sepakat jadi teman. Lagian, waktu itu juga emang sedang terjadi kesalah pahaman antara aku dan Deva. Udah lah... Gak usah dibahas lagi, oke?" Tasalia menyengir.

"Hm,"

"Ih! Tuh kan jutek lagi. Tadi aja udah care sama adiknya. Sekadang jutek lagi! Sebel!"

Dan beberapa detik kemudian, Rafa tertawa karena meihat ekspresi Tasalia saat berkata demikian. Karena menurut Rafa, ekspresi Tasalia ketika merajuk itu sangat menggemaskan.

[ NOT SAME ]

"Kelas rasanya sepi ya kalau gak ada Tasalia,"

Celetukan Deva tadi berhasil membuat Sandi tertawa. Ia melempar Deva dengan kulit kacang yang baru saja ia kupas. "Bucin lo!" komentarnya sambil tertawa.

"Cih, lo juga bucin tau akhir-akhir ini. Lo kan sekarang lagi deket sama cewek IPS itu. Ya kan?" balas Deva. Ia balik melempar Sandi dengan kulit kacang. "Setiap malem chatting, telfonan, vidio call, terus—"

"Berisik lo babi!" potong Sandi dengan cepat. "Sirik aja lo!" tambahnya.

"Sensi banget lo," Deva terkekeh kecil karena berhasil membuat Sandi kesal. "Omong-omong, Tasalia lagi apa ya?" tanya Deva. Ia bertemanggu dagu.

"Tanya ke orangnya lah! Jangan nanya ke gue. Aneh,"

"Akhir-akhir ini dia jarang pegang HP. Gue pingin chat dia. Tapi ya gue sadar diri aja, gue bukan siapa-siapanya dia lagi sekarang," Deva menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.

"Eh, oncom!" Sandi menoyor kepala Deva. "Lo kan masih jadi temen dia!" lanjutnya masih setengah kesal.

"Ya tapi rasanya beda, San... Gak kayak lo sama anak IPS itu. Siapa sih namanya? Ri... Riani ya?" tanya Deva sambil berusaha mengingat nama cewek yang sedang dekat dengan Sandi.

"Gak usah ngalihin topik pembicaraan bisa gak sih lo?" Sandi mendelik sebal. "Emang dia sakit apa? Demi Tuhan, gue penasaran sampai sekarang. Lo dan Rafa gak ngasih tau gue sama sekali tentang sakitnya Tasalia. Bahkan Neni, temen sebangkunya juga gak kalian kasih tau," Sandi mendengus kesal.

"Mengancam jiwa intinya," sahut Deva. Ia menyenderkan punggungnya ke kepala kursi.

"Mengancam jiwa? Berarti cukup parah dong?"

Kali ini, Deva hanya terdiam tanpa bisa menjawab sepatah kata. Ia sudah berjanji pada Tasalia untuk tidak memberitahukan penyakit Tasalia kepada orang lain, kecuali atas seizin darinya.

"Lah malah bengong!"

Deva tersenyum tipis. "Ngomong-ngomong, gue gagal move on dari Tasalia," ucap Deva.

"Udah terlihat jelas di mata lo, anjir! Mata lo berkata bahwa lo gak bisa move on dari Tasalia, walau mulut lo selalu mengelak bahwa lo udah move on dari Tasalia," Sandi terkekeh. "Munafik emang," lanjutnya.

"Iya, gue munafik, gue akuin itu," balas Deva.

"Wajar, Dev," Sandi ikut menyenderkan punggungnya ke kepala kursi. "Soalnya, semakin kita berusaha melupakan, semakin ingat pula kita pada sesuatu yang sedang kita usahakan agar terlupakan itu,"

Deva menoleh ke arah Sandi, kemudian ia terkekeh kecil. "Tumben bijak lo," komentarnya.

"Sesekali harus jadi orang bijak," Sandi tertawa. "Soalnya kalau banyak bercanda, nanti pas dia serius, malah lagi dianggap bercanda. Kayak perasaan, udah serius, eh malah disangka bercanda," lanjutnya masih dengan tawa yang menyertainya.

"YEEE!!! GAK NYAMBUNG, DASAR BUCIN!"

[ NOT SAME ]

UPDATE, YEAY!!!
SORRY LAMA BANGET, HUHUHU😭
SELAMAT MEMBACA GUYS ;)

Not SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang