Not Same 47

1.3K 70 8
                                    

Tasalia masih terfokus pada buku bacaannya sesaat seseorang duduk di sebelahnya.

"Yaya..."

Tasalia hanya menoleh sebentar kemudian kembali pada buku bacaannya. Menghela napas panjang.

"Masih marah sama aku?"

"Enggak." sahut Tasalia pelan.

"Ke kantin yuk?"

"Deva..." Tasalia memutarkan bola matanya. "Gue lagi baca buku. Dan gue lagi males ke kantin. Ngerti?" tanya Tasalia.

"Mau aku beliin sesuatu?"

"Enggak." jawab Tasalia. Ia sudah kembali terfokus pada buku bacaannya.

Deva mengulas senyum kecil, berpamitan pada Tasalia dan dengan berat hati harus pergi ke kantin sendirian karena rencananya mengajak Tasalia ke kantin gagal, serta Sandi sudah pergi ke kantin duluan.

[ NOT SAME ]

"Bu Hera..." Tasali memeluk hangat seorang wanita berusia lebih dari 50 tahun itu. "Gimana kabar Ibu?" tanya Tasalia. Ia melepas pelukannya.

Sudah lama ia tidak mengunjungi rumah kanker. Entah kapan terakhir ia mengunjungi rumah kanker ini.

"Kabar Ibu baik. Kamu sendiri gimana? Terus kamu ke sini sama siapa?" tanya Hera. Ia mempersilahkan Tasalia duduk di ruangannya.

"Aku—baik-baik aja," Tasalia menjawab ragu. "Aku ke sini sendirian, hehehe..."

"Loh? Teman laki-laki yang waktu itu bareng kamu ke sini gak anter?" tanya Hera.

Tasalia mengernyit sebentar, berusaha mencerna apa yang Hera katakan. "Temen laki-lakiku? Oh... Deva maksud Ibu?" Tasalia terkekeh kecil.

"Nah iya, namanya Nak Deva, maklum... Ibu gampang lupa, lagipula itu udah lama sekali, Nak..." Hera ikut terkekeh.

"Enggak, Bu, Tasalia ke sininya sendiri aja."

"Loh? Nak Deva kan pacarmu? Kalian waktu ke sini udah pacaran kan?"

"Kami udah putus, Bu." Tasalia tersenyum tipis.

"Putus? Loh kenapa?"

"Panjang banget, Bu, ceritanya. Bikin aku nangis kalau diceritain lagi." Tasalia menyengir.

Hera mengangguk, ia tidak bertanya lebih lanjut mengenai hubungan Tasalia dan Deva. "Omong-omong, kamu kelihatan kurus, kamu diet?" tanya Hera yang baru sadar bahwa tubuh Tasalia mengurus.

"Aku sakit, Bu..." dan sekarang, tatapan Tasalia berubah menjadi sendu.

"Sakit? Sakit apa?" tanya Hera yang tiba-tiba khawatir. Ia menatap Tasalia dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

"HIV," Tasalia menghela napas panjang.

"Astagfirullah... Kenapa bisa, Nak?" Hera mengubah posisi duduknya menjadi di sebelah Tasalia. Ia memeluk Tasalia yang mulai menangis.

"Waktu itu aku kekurangan vitamin, Bu. Lalu aku putuskan untuk suntik vitamin. Dan ternyata jarumnya itu bekas penderita HIV. Miris kan, Bu?" ujar Tasalia di sela-sela tangisnya.

"Ya Allah, Nak..." Hera makin mengeratkan pelukannya. "Jangan patah semangat, Nak. Ada Ibu di sini. Ibu yakin, kamu bisa sembuh."

"Sembuh? Bahkan kematian tinggal menunggu waktu."

"Enggak, Nak, kamu akan sehat. Kamu akan sembuh..." ujar Hera walau dalam hatinya ada sebuah keraguan.

"Maaf aku malah nangis, Bu..." Tasalia membalas pelukan Hera tidak kalah erat. Merasakan pelukan seorang Ibu yang sudah lama ia rindukan.

[ NOT SAME ]

"Ta!"

Tasalia menoleh. Jujur, ia sedikit terkejut ketika melihat Deva tengah duduk di kursi teras rumahnya sambil membawa buket bunga matahari di tangannya.

"Ngapain?" tanya Tasalia datar. Ia membuka pintu rumahnya.

"Aku minta maaf..."

Tasalia menghela napas panjang. "Udah berapa kali gue jawab? Perlu gue jawab lagi?" tanyanya.

"Aku bener-bener merasa bersalah," Deva menunduk. "Aku udah mikir yang enggak-enggak tentang kamu."

"Wajar," sahut Tasalia. "Pulang, Dev! Cuaca udah mendung, nanti lo kehujanan dan nanti sakit."

"Kenapa? Kamu khawatir aku sakit?" tsnya Deva jahil.

"Emang sesama teman gak boleh saling mengkhawatirkan? Gue cuman takut lo sakit karena lo hujan-hujanan. Soalnya nanti duit orangtua lo yang keluar lagi."

"Teman?" Deva mengernyit heran.

"Kenapa? Bukannya bener? Kita sekarang cuman temen."

"Gak bisa lebih, Ya?"

Tasalia menggeleng tegas.

"Kalau misalkan aku nyatain lagi cintaku ke kamu, mau nerima gak?"

Tasalia diam menatap Deva. Darahnya tiba-tiba berdesir kencang.

"Mau?"

Tasalia segera tersadar. Ia tetap menggeleng. "Enggak, Dev... Gue mau fokus sekolah dan menyembuhkan penyakit gue dulu. Lebih baik lo juga fokus sekolah dulu. Jodoh gak akan ke mana." balas Tasalia.

"Kamu mau apa dari aku? Aku turutin, asal kita kayak dulu lagi."

Tasalia terkekeh miris, "Lo kok jadi bego? Lo mau jadi budak cinta?" tanyanya sedikit sarkas.

"Tasalia, aku cuman mau kayak dulu."

"Yang dulu biarkan berlalu," Tasalia menghela napas panjang lagi. "Karena sesuatu yang diulangi dengan sengaja bahkan memaksa, rasanya gak akan sama."

"Jadi?"

"Gue tau, lo paham sama ucapan gue." Tasalia tersenyum kecil.

"Tasalia, apa aku dan kamu gak bisa memperbaiki hubungan ini? Aku cuman gak mau—"

"Bisa. Tapi dengan status sebagai teman. Bukan pacar." potong Tasalia dengan cepat.

Deva menghela napas berat. Menatap sendu Tasalia. "Oke. Kalau kamu cuman mau jadi teman." Deva memaksakan seulas senyum.

"Maaf kalau gue bikin lo kecewa, Dev. Ini udah final jadi keputusan gue. Gue cuman gak mau merasakan sakit hati yang sama untuk kedua kalinya."

"Oke, aku terima itu. Dan ini bunga untuk kamu," Deva menyerahkan buket bunga matahari itu pada Tasalia. "omong-omong, besok kamu mau temenin aku ke perpustakaan kota? Ada buku yang harus aku pinjam. Aku remedial Geografi soalnya." Deva menyengir.

"Iya, gue temenin lo. Lain kali, belajar yang bener," Tasalia terkekeh kecil. "Gue masuk dulu ya? Makasih bunganya."

Dan Deva, diam-diam ia merasa senang karena usahanya untuk mengajak Tasalia ke perpustakaan kota berhasil.

[ NOT SAME ]

Hallo, guys!
Maaf untuk keterlambatan update ceritanya )): .
Aku udah mulai sibuk lagi sama yang namanya tugas, kerkom, dll. Padahal baru awal semester 2 :"
Mohon maaf ya :"

Omong-omong, kalau kalian diajak mantan balikan, diterima lagi gak😂?

Not SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang