Seperti janji Tasalia kemarin pada Deva, sepulang sekolah, Tasalia menemani Deva ke perpustakaan kota—meminjam buku untuk tugas remedial.
"Aku ke sana dulu ya," Deva menunjuk rak buku berisi buku-buku pelajaran.
Tasalia hanya mengangguk sebagai jawaban. Selagi Deva mencari buku, Tasalia berjalan ke arah rak buku berisikan karya sastra lama.
"Ada buku karya Pramoedya ternyata," gumam Tasalia ketika melihat buku novel dengan judul 'Bumi Manusia' itu.
Dengan sangat hati-hati, ia mengambil buku itu, membaca blurb yang berada di belakang buku. "Menarik," gumamnya lagi.
Namun saat Tasalia tengah membaca halaman ke-10 buku, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Pandangannya juga mulai mengabur.
Buru-buru Tasalia menyimpan buku novel itu pada tempatnya dan berjalan mencari tempat duduk.
Tapi nyatanya Tasalia malah jatuh terduduk di lantai sebelum sampai di kursi. Ia lemas. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. Dan perlahan, pandangan Tasalia semakin mengabur dan semuanya berubah menjadi gelap total.
Tasalia pingsan.
[ NOT SAME ]
Rafa panik. Ia panik sepanik-paniknya. Ia langsung menyambar jaket dan kunci motor yabg berada di atas meja belajarnya.
Dalam hati, Rafa meruntuki dirinya karena tidak bisa menjaga Tasalia dengan baik.
"Sialan!" desis Rafa tajam. Ia segera menyalakan mesin motornya dan segera melesat begitu saja menuju rumah sakit.
Tadi, saat Rafa sedang membaca buku bisnis, tiba-tiba saja Deva mengirimkannya pesan. Deva mengirimkan pesan yang berisikan bahwa Tasalia masuk rumah sakit karena pingsan saat berada di perpustakaan kota.
Lalu tanpa pikir panjang, Rafa segera meninggalkan kegiatannya dan segera pergi ke rumah sakit.
Sesampainya Rafa di rumah sakit, Rafa segera memarkirkan motornya. Dan tanpa pikir panjang, Rafa segera berlari di lobi rumah sakit. Bahkan ia sesekali menabrak perawat karena saking paniknya.
"Mana Tasalia?!" tanya Rafa to the point setelah ia melihat Deva yang sedang duduk di kursi tunggu.
"Lagi istirahat. Gak ada yang boleh nyamperin dia saat ini." balas Deva. Ia berdiri dari duduknya.
"Emang lo siapa? Ngelarang-larang gue ketemu sama adik gue?!" Rafa berkata dengan sensi dan hanya dibalas helaan napas oleh Deva.
"Permisi gue mau masuk!"
Namun dengan sigap, Deva menghalangi akses Rafa untuk masuk ke ruang inap Tasalia. Ia menatap tajam Rafa. "Lo ngerti Bahasa Indonesia gak sih? Tasalia lagi istirahat!" ujarnya tegas.
"Bacot!" Rafa berusaha menyingkirkan Deva. Namun hasilnya gagal.
"Lo yang bacot!" dengan kesal, Deva mendorong bahu Rafa. Membuat cowok itu mundur beberapa langkah. "Tasalia lagi istirahat! Gak boleh ada yang masuk ke dalam! Itu perintah dokter! Paham lo?!" tanyanya masih dengan perasaan kesal.
Rafa balas menatap tajam Deva. Tangannya sudah terkepal di samping tubuhnya. "Lo bego! Lo ngajak main Tasalia ke mana sih?! Lo ngapain dia sampai dia pingsan, hah?!" amuk Rafa.
"Lo gak tau apa-apa, mending diem, bangsat!" balas Deva.
"Lo yang bangsat! Udah tau Tasalia kena HIV, masih aja ngajak dia main yang buat dia lelah!" Rafa tidak terima. Ia membentak Deva. "Lo tau kan sekarang dia jadi gampang lelah?!" dan sekarang, mereka sudah menjadi pusat perhatian orang yang lalu-lalang. Bahkan, beberapa orang perawat sudah berusaha untuk memisahkan mereka. Namun gagal. Suara para perawat yang berusaha memisahkan mereka, kalah besar dengan suara bentakan Deva dan Rafa.
"Gue cuman ngajak dia ke perpustakaan kota, Ya Tuhan... Gue juga udah nyuruh dia diem aja." Deva memelankan suaranya.
"Gue gak paham sama cowok macem lo, Dev," Rafa menyipitkan matanya menatap Deva. "Hobi nyakitin, bikin nangis, taunya lo balik lagi dalam kehidupan dia tanpa rasa bersalah sedikitpun ke dia. Otak lo dipakai mikir gak sih?! Atau dijadiin pajangan doang dalam isi kepala lo?!" sarkas Rafa.
"Gue ngelakuin ini untuk menebus semua kesalahan gue."
"Menebus kesalahan lo atau malah membuat dia semakin terluka?" senyum sinis tercetak pada bibir Rafa.
Deva diam. Ia memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.
"Apa lo lihat-lihat?! Mau adu otot sama gue, hah?!" tiba-tiba saja, Rafa berteriak marah. Deva segera mengangkat kepalanya. Dan ternyata Rafa murka pada orang-orang yang menonton perdebatan antara dirinya dan Deva.
"Lo kata ini debat presiden apa yang kudu dipantengin?! Udah sana pergi!" usir Rafa sambil menatap tajam gerembolan itu. Dan usahanya membuahkan hasil. Gerembolan penonton itu pergi. Ada yang menatap aneh Rafa, berbisik-bisik, menatap jengkel, menatap ngeri, dan segudang perilaku ajaib manusia lainnya.
"Pusing gue denger lo marah-marah," komentar Deva. Ia kembali duduk di kursi tempatnya semula. "Jangan emosian makanya!" lanjutnya.
"Heh, bangsat! Lo yang bikin gue emosi!" balas Rafa pelan tapi tajam. "Lo udah bikin hancur hati adik gue, terus lo datang lagi dalam kehidupan dia? Mikir, Bosku!"
"Harus berapa kali gue ngomong? Gue mau menebus semua kesalahan gue," Deva kembali menghela napas. "Apa itu salah?"
"Cih! Sok suci!"
Deva kali ini sudah malas berdebat dengan Rafa. Ia lebih baik diam daripada harus menanggapi perkataan Rafa yang sedang emosi itu. Kadang, Deva tidak paham. Mengapa emosi Rafa sangat labil sekali? Dan terkadang, Rafa sangat mudah tersulut emosinya.
"Kalau gue jadi lo bakal malu."
Deva melirik Rafa yang kembali bersuara. Ia tidak berminat menjawab. Takutnya kembali terjadi perdebatan antara mereka dan mereka akan diusir dari rumah sakit tempat Tasalia dirawat karena membuat kegaduhan.
"Udah nyakitin, eh balik lagi. Kayak yang gak ada apa-apa sebelumnya." lanjutnya.
"Kok lo malah terkesan nyinyirin gue ya?" Deva tersenyum sinis.
"Bukan nyinyir, tapi gue berkata yang sebenarnya," kali ini, Rafa tertawa pelan. "Lo kira, hati cewek itu taman bermain yang kapan aja bisa lo datangin walau sebelumnya lo udah bikin kerusakan, hm?"
[ NOT SAME ]
AKHIRNYA BISA UPDATE, HUHUHU :"

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Same
Teen FictionNamanya Tasalia. Cewek yang memiliki banyak rahasia yang tidak orang lain ketahui. Ia selalu menyimpan semuanya sendirian. Namun, rahasia terbesar yang ia sembunyikan secara rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Disaat semua orang menjauhi Tasalia...