Not Same 55

155 14 2
                                    

Tasalia masih terjaga. Jari-jarinya tengah sibuk menari-nari di atas beberapa lembar kertas. Ia menuliskan sesuatu di atas lembaran kertas itu. Sesekali senyumnya terukir, dan tak jarang juga matanya meneteskan air mata hingga meninggalkan jejak di atas kertas-kertas itu.

Sedangkan Rafa, ia sudah terlelap tidur di sofa yang berjarak dua meter dari Tasalia. Wajahnya tenang, membuat Tasalia ikut merasakan tenang.

Selesai menulis, Tasalia melipat kertas-kertas itu dan menaruhnya di atas rak yang berada di samping kasurnya. Matanya sibuk memperhatikan Rafa yang tengah tertidur pulas. Sebenarnya Tasalia lapar, ia ingin nasi goreng kantin rumah sakit, ia tidak mau memakan makanan yang diberikan pihak rumah sakit, yang kata Deva, rasanya hambar.

Tapi jika ia membangunkan Rafa, juga tidak enak. Apalagi sekarang sudah menunjukan pukul satu malam, mungkin Rafa sedang lelap-lelapnya tidur.

"Nekat aja kali ya? Lagian kan aku udah membaik," gumam Tasalia dengan sangat pelan.

Akhirnya, Tasalia nekat pergi keluar kamar inapnya. Sebenarnya Tasalia merasa sedikit takut. Ia terbayang-bayang film horror yang pernah ia tonton. Tapi bagaimana lagi? Daripada mengganggu tidur nyenyak Rafa, lebih baik ia pergi sendiri. Lagipula ia ingin menghirup udara di luar kamar inapnya.

Dengan hati-hati, Tasalia berjalan menuju pintu kamar inapnya bersama tiang infusan. Kemudian ia membuka pintu kamarnya dengan amat sangat hati-hati. Takut membangunkan Rafa. Usahanya berhasil, dan diam-diam Tasalia tersenyum lebar. Setelah itu ia kembali menutup pintu kamarnya.

"Gak gelap ternyata," ujar Tasalia pelan saat melihat lorong rumah sakit yang terang benderang, beda dengan apa yang dipikirkannya.

Tasalia sesekali memeriksa keadaan sekitar. Takut ia berpapasan dengan dokter atau perawat, gawat jika ketauan.

"Nasi goreng, I'm coming!"

[ NOT SAME ]

Sedangkan di tempat lain, seorang perempuan tengah menangis sesegukan. Menyalahkan takdir, juga menyalahkan Tuhan. Bahkan mulutnya tidak henti-hentinya mengucapkan nama seseorang.

"BRENGSEK! SEMUANYA BRENGSEK!" makinya, entah keberapa kali ia memaki.

"HIDUP GUE HANCUR!" kini ia melemparkan semua benda yang ada disekitarnya. Membuat beberapa barang menjadi pecah.

"Kenapa lo ngerebut semuanya, Ta?!" perempuan itu kembali berlutut di pinggir kasurnya. "Lo bahagia! Sedangkan gue menderita!" perempuan itu kembali terisak.

Perempuan itu, Anita. Ia tampak kacau. Kamarnya sudah tidak berbentuk lagi. Banyak pecahan kaca di sekelilingnya. Anita memeluk lututnya sendiri, kemudian tangisnya semakin kencang.

"Mama udah gak peduli sama gue. Ayah gak peduli. Gak ada yang peduli sama gue," tangis Anita semakin tidak terkendali. "Gue pingin mati aja!" lanjutnya.

Tidak lama, tangis hebatnya berhenti, meski sesekali ia terisak, tapi sekarang ia tertawa keras. Sebuah ide gila terbesit di benaknya.

Dengan cepat, ia mengambil kunci mobil dan mengambil jaketnya yang tergantung dengan asal. Jam sudah menunjukan pukul setengah satu malam. Ia tersenyum lebar. Dengan mata yang masih sembab dan rambut yang acak-acakan, Anita berlari menuju mobilnya. Tekadnya sudah bulat.

"Kalau gue mati, Tasalia juga harus ikut mati, hahahaha!" setelah itu, ia mulai menyalakan mesin mobilnya dan tahu kemana ia harus pergi sekarang.

[ NOT SAME ]

Tasalia tersenyum saat matanya membaca sebuah plang bertuliskan kantin. Ternyata kantinnya sepi, untung saja masih terang. Setidaknya itu tidak membuat Tasalia takut.

Namun belum juga ia memasuki area kantin, tangannya yang bebas ditarik oleh seseorang dengan kasar. Tasalia oleng, membuat tiang infus Tasalia jatuh dan tangannya langsung mengeluarkan darah akibat jarum infus yang terlepas dengan paksa. Ia merintih kesakitan.

"Diem! Ikut gue sekarang!" hardik orang itu.

Tasalia kenal betul suara siapa itu. Suara Anita. "Nit! Ngapain?!" tanya Tasalia.

"Diem! Lo gak usah banyak tanya! Ngerti gak sih lo?!"

"Tangan gue berdarah!" keluh Tasalia. Ia sedikit membentak Anita.

"Peduli setan! Tangan lo gak ada apa-apanya dibanding hidup gue!"

Tasalia berontak, namun kali ini tenaganya kalah kuat dengan tenaga Anita. Tasalia terus memohon pada Anita agar berhenti menariknya dengan paksa. Seolah-olah tuli, Anita tidak menggubris perkataan Tasalia.

"Masuk!" Anita menghardik lagi. Ia memaksa Tasalia masuk ke dalam mobilnya.

"Lo gila, Nit?!" Tasalia berusaha menahan dirinya agar tidak masuk ke dalam mobil Anita. Tangannya menghentakkan tangan Anita beberapa kali. Namun usahanya sia-sia. Anita berhasil mendorong Tasalia masuk ke dalam mobil, disusul dengan Anita yang masuk ke dalam mobil.

"Nit, kita mau ke mana?!" Tasalia panik. Ia tidak memperdulikan darah yang masih bertetesan dari tangannya.

"MATI! GUE MATI, LO MATI!" Anita menjawab sambil menjalankan mobilnya keluar parkiran rumah sakit.

"NIT! JANGAN GILA LO!"

Anita tertawa keras sekali. Membuat bulu kuduk Tasalia meremang. "Nit! Kasihan bayi lo, Nit!" Tasalia masih mencoba membuat Anita sadar. Dengan panik, ia meraba sekitar jok mobil depan Anita, mencari sabuk pengaman saat dirasa mobil Anita melaju dengan kecepatan tak biasa.

"PEDULI LO APA HAH?! LO CUMAN PEDULI DIRI LO SENDIRI!" Anita sempat melirik bengis Tasalia sekejap. "PEREBUT LO, TA! ANAK SIALAN EMANG!"

"LO MAU APA?! LO MAU NGAPAIN?!" kepanikan Tasalia semakin menjadi saat mobil Anita memasuki jalan tol.

"MATI! LO PAHAM KATA MATI GAK SIH?! GUE DAN LO MATI! DASAR ANAK SIALAN LO TASALIA PUTRI!" maki Anita setelah berhasil memasuki jalan tol yang cukup lengang.

[ NOT SAME ]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Not SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang