33. Gejolak

6.9K 416 30
                                    

Leonyca berlari menuju salah satu toilet wanita di sebuah cafe yang ada di dekat taman, tempat yang akhir-akhir ini sering gadis itu kunjungi.

Lima menit kemudian, Leonyca keluar dari toilet sambil memegangi perutnya. Wajahnya memerah dan dibanjiri keringat.

"Bagaimana, Ony?" Leonyca berhenti melangkah saat mendengar suara milik abangnya, Leonard.

"Bang, aku tidak mau lagi makan makanan yang super pedas! Selain mulutku yang rasanya terbakar, perutku juga sakit. Dan asal Abang tahu saja, bokongku juga panas!" pekik Leonyca yang mendapat tatapan mengejek dari Leonard.

"Dasar, Ony memang gadis yang lemah. Gitu saja langsung nyerah, eh." Leonyca mencubit pinggang Leonard dengan pelan, lalu dia berjinjit untuk mengambil kameranya yang tergantung di leher Leonard, lalu menggantungkan kamera tersebut di lehernya.

"Hah, aku ingin ikut Abang ke rumah sakit," kata Leonyca menarik tangan Leonard.

"Tapi, Ony ... hari ini aku magang di luar." Leonyca berpikir sejenak, lalu dia mengangguk.

"Tak apa, Pak dokter. Aku ikut, aku janji tidak akan mengganggu." Leonyca mengumpat dalam hati saat Leonard menggeleng.

"Bang, aku ikut, ya...!" Leonyca menarik tangan Leonard.

"Abang sudah bayar, kan?" Leonard mengangguk.

"Pelan-pelan saja, Ony!" desah Leonard karena Leonyca yang tidak sabaran.

Leonard tersenyum dalam hati, setelah kejadian Matt meninggalkan Leonyca, adiknya itu memang sempat terpuruk dan tidak mau melakukan apa pun. Itu terjadi selama tiga bulan. Namun, dengan bujukan-bujukan dan semangat yang diberikan keluarga, akhirnya Leonyca perlahan-lahan bangkit dari rasa kesedihannya.

Mulai menyibukkan dengan dirinya sendiri dengan hal-hal yang dia sukai. Salah satunya, hampir setiap hari Leonyca menghabiskan waktunya dengan kamera kesayangannya dan juga makan, tapi sayangnya badan Leonyca tidak gemuk.

Sejak saat itu pula, dia tidak pernah tahu bagaimana kabar Matt, bagaimana keadaan lelaki itu. Lelaki yang masih dia cintai.

"Bang, aku kasihan melihat bang Jason dan kak Mine," kata Leonyca dengan tiba-tiba. Mereka berjalan menuju parkiran sambil bergandengan tangan, terlihat seperti sepasang kekasih.

"Kamu benar, Ony. Tapi, mungkin itu ujian dari Tuhan untuk rumah tangga mereka."

"Tapi, mereka sudah menikah lima tahun lebih, Bang. Mereka belum punya momongan juga. Aku harap, kak Mine hamil secepatnya, karena yang kulihat ... dia mulai frustrasi."

"Kalau Sang Pencipta sudah mengizinkan, mereka pasti akan segera diberikan, dimudahkan dalam urusan anak."

"Abang sendiri bagaimana? Kapan menikahi Rhein?" tanya Leonyca masuk ke dalam mobil Leonard.

"Aku tidak tahu, Ony. Rhein tidak suka padaku. Yang kutahu, dia masih menganggap aku ini playboy. Lagi pula, dia masih melanjutkan sekolahnya. Kalau kami jodoh, pasti akan bersatu, kok. Hehe...."

"Hah, aku pikir bang Jason yang paling beruntung di antara kita berempat, tapi ternyata tidak, ya. Aku lebih miris lagi melihat bang Jackson yang tidak mau menikah. Sepertinya dia masih mencintai kak Mine. Dia terus saja bekerja dan bekerja, padahal umur sudah matang, masa depan sudah cerah, uangnya juga sudah banyak." Leonard mengangguk.

"Nasibku juga luar biasa buruknya, hahaha..." Leonyca tertawa pelan.

Lalu hening, mereka berdua tidak saling berbicara lagi, sampai akhirnya Leonyca tertidur. Leonard tidak menganggu, karena dia tahu kalau Leonyca tiap malamnya tidak pernah tidur dengan nyenyak.

★•••★

"Aku menginginkan kamu, Ony. Semuanya yang ada di tubuhmu, tidak hanya bibirmu. Aku sangat menginginkan kamu, Sayangku...." Leonyca tersipu malu dengan wajahnya yang merah merona.

Jantungnya berdebar dengan cepat, lebih cepat dari biasanya saat bersama lelaki yang menimpanya dan bermain di lehernya.

"Aku sangat menginginkan kamu...."

"Ahhhh...." desahan itu lolos dari mulut Leonyca saat tangan lelaki itu meremas buah dadanya sebelah kanan.

Kedua tangannya meremas punggung kokoh lelaki di atasnya.

"Matt, ah...." Leonyca memejamkan matanya saat mendapat ciuman panas di bibirnya.

"Tapi, aku harus berhenti!" ucapan itu membuat Leonyca tersentak dan langsung membuka matanya lebar-lebar.

Dia menyesuaikan pandangannya dan ternyata dia hanya sendirian di dalam mobil Leonard.

"Sial! Mimpi macam apa itu?" dia mengusap keningnya dari peluh, lalu membuka kaca mobil Leonard.

"Oh, ternyata abang magang di puskesmas perkampungan. Tempatnya lumayan kumuh, pasti kumannya banyak. Jalannya juga becek, sampah berserakan," katanya sambil turun dari mobil.

Leonyca menghidupkan kameranya, lalu memotret beberapa gambar yang berbeda untuk dia dokumentasikan.

Dia melangkah dengan hati-hati sambil memotret tempat-tempat yang dia inginkan.

"Hah, kira-kira Matt sedang apa, ya, sekarang? Dia sombong sekali, haha...." gadis itu terus melangkah, melewati Leonard yang sedang melakukan pekerjaannya.

"Di sini juga bau," desis Leonyca dengan pelan.

Dia menatap rumah-rumah yang sederhana, bahkan bisa dikatakan tidak layak di tempati.

"Harusnya pemerintah memperhatikan kampung ini." Leonyca mempercepat langkahnya saat melihat dua orang anak kecil berjongkok sambil menangis.

Dia mendekat dan ikut berjongkok. "Adik kenapa menangis?" tanya Leonyca dengan pelan. Dia menahan tawanya saat ingus kedua anak kecil itu berserakan.

"Ini, bersihkan hidungnya," kata Leonyca memberikan tisu yang dia ambil dari tas selempangnya.

"Eh, tisunya jangan di makan!" pekik Leonyca. Dia memegang tangan kedua anak kecil itu dengan sedikit jijik karena itu kotor.

"Itu bukan makanan, tapi ... awwwhhh...." Leonyca menarik tangannya saat mendapat dua gigitan sekaligus. Leonyca berdiri lalu dia berlari menjauhi kedua anak kecil itu.

"Ihhh, jijik!" jeritnya kuat. Dia masuk ke dalam puskesmas dan menabrak Leonard.

"Bang, di gigit!" jeritnya yang mencuri perhatian orang di dalam puskesmas. Leonard menarik Leonyca mendekati sebuah ruangan, lalu mengobati tangan adiknya itu.

"Kenapa bisa sampai di gigit, Ony?" Leonyca mengerutkan keningnya.

"Aku tidak mau lagi ke sini. Selain tempatnya kotor, bau, anak kecilnya juga nakal!" pekik Leonyca.

"Iya, anak-anak di sini memang nakal karena tidak pernah di didik. Maklumlah, kehidupan di sini jauh berbeda dengan kehidupan di kota. Tangannya tidak apa-apa?" Leonyca menggeleng pelan.

"Baiklah, sementara aku belum selesai, kamu tiduran di sini saja dulu, ya." Leonyca mengangguk, menuruti ucapan Leonard.

Leonyca memberikan kameranya dan berbaring, lalu dia memejamkan matanya. Membiarkan Leonard membungkus tanganya dan memberikan suntikan antibiotik di lengannya.

Aku ingin sekali melihat Matt, ingin memeluknya, dan aku sangat merindukan Matt. Tapi Matt tidak mau lagi melihatku, batin Leonyca dengan sedih. Dia merasa kehampaan itu lagi.

★•••★

Semoga suka!

Vote dan komen kalau suka :) tinggalkan cerita ini kalau tidak suka! (:

Terima kasih!

PREDESTINATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang