36. Misterius?

1.8K 141 0
                                    

"Hah, aku lelah sekali!" pekik Leonyca menjatuhkan tubuhnya ke rerumputan di samping jalan.

"Sudah kuduga kamu tidak kerasan. Ini belum seberapa, nanti kamu juga tahu bagaimana rasanya tinggal di desa. Anak kota sepertimu sepertinya tidak bisa bertahan lama di sini. Dasar, sok kuat!"

Leonyca mengacungkan jari tengahnya pada Patch karena kepalanya pusing mendengar lelaki itu berbicara.

"Tidak punya etika!" desis Patch yang tak di dengarkan Leonyca. Dia meneguk air mineral-yang tadi mereka beli-dengan rakus.

"Rasanya kakiku ingin patah. Aduh, aku tidak kuat lagi untuk berjalan. Padahal kita belum menemukan penginapan." Leonyca mengusap peluh yang mengalir di dahinya.

Dia menatap telapak kakinya dengan ngeri. Telapak kakinya memerah bahkan mengeluarkan darah karena berjalan di aspal tanpa alas kaki. Lecet juga.

"Lihat ini, Patch! Aduh, ini sangat perih!" Leonyca mengusap sudut matanya yang mulai berair.
Patch berjongkok di depan Leonyca, menatap telapak kaki Leonyca lama.

"Dari tadi tidak ada transportasi yang lewat." Patch membelakangi Leonyca. "Ayo, aku gendong. Kakimu sudah sangat parah." Leonyca pun menuruti ucapan Patch dan lelaki itu menggendongnya.

"Sulit sekali melakukan ini," keluh Patch karena dia juga harus membawa tasnya dan juga koper Leonyca.
Leonyca memeluk erat leher Patch dari belakang.

"Sini tasmu, biar aku saja yang bawa." Patch memberikan tasnya pada Leonyca dan Leonyca menerimanya.

Leonyca menatap lurus ke depan, pikirannya berkelana entah ke mana-mana.

Sedang apa Matt sekarang? Apa dia benar-benar melupakan aku? Kalau iya, apa yang harus aku lakukan nanti?

Leonyca menyandarkan kepalanya di tengkuk Patch. Cairan bening jatuh dari pelupuk matanya. Antara sakit menahan rasa rindu dan perih di kakinya.

"Aku tidak tahan lagi. Aku ingin bertemu dengan Matt...." ucapnya dengan serak.

Patch yang mengetahui Leonyca menangis hanya diam saja. Dia terus melanjutkan langkahnya sampai kini sudah terlihat rumah di pedesaan.

"Patch, aku ingin bertemu dengan Matt." Leonyca mengangkat wajahnya. Dia memaksakan senyumnya saat sudah ada rumah terlihat.

"Patch, aku lelah. Sedari tadi belum isi perut, aku sangat lapar." Patch hanya diam dan terus melanjutkan langkahnya.

Sampai akhirnya ada penjual makanan, dia baru berhenti. Dia menurunkan Leonyca dengan hati-hati di kursi kayu.

"Bu, beli nasi bungkus ini satu, ya." Patch memberi uang sepuluh ribu dan menerima makanan yang dia beli. Lalu memberikannya pada Leonyca.

"Aku tidak mau! Pasti tidak enak."

"Makan atau tidak sama sekali?" Leonyca meringis dalam hati, dia menerima makanan itu dengan berat hati.

"Kamu harus terbiasa makan seperti ini. Ini desa, bukan kota. Di sini juga tidak ada supermarket atau apalah itu yang biasa kamu kunjungi di kota. Jadi jangan banyak mengeluh. Mengerti?"

Leonyca tidak menjawab. Dia memakan nasi bungkus dengan tidak selera. Patch hanya geleng-geleng melihat Leonyca.

"Aku akan mencari obat dan sandal jepit untukmu. Tunggu di sini, oke?" Leonyca mengangguk saja.

"Merepotkan aku saja. Ini benar-benar tidak penting!" geram Patch yang masih bisa di dengar Leonyca.
Namun dia hanya diam, tidak mau cari ribut dengan Patch.

PREDESTINATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang