48. Mencari Tahu

754 66 1
                                    

Sebelum baca, klik bintang dibawah dulu ya🌼
Selamat membaca, Guys❤
__________________

Leonyca melangkah memasuki rumahnya, kepalanya menunduk, wajahnya lesu. Dia baru saja pulang dari rumah Matt yang di jemput Leonard dan kembarannya itu lanjut magang usai mengantar Leonyca pulang.

"Kenapa wajah adik kesayangan Abang ini lesu, hmm?" Leonyca mengangkat wajahnya dan dia melihat Jason berdiri di ruang tengah. Kontan Leonyca langsung berlari dan memeluk Jason.

"Abang, kangen...." ucap Leonyca dengan manja. Dia tersenyum lebar. Jason membalas pelukan Leonyca dan mengcup puncak kepala adiknya itu. Lalu Leonyca melepas pelukan mereka saat melihat Mine berdiri di belakang Jason. Leonyca juga memeluk kakak iparnya itu.

"Jadi, apakah ada kabar gembira?" tanya Leonyca penuh harap. Bukan hanya Leonyca saja yang berharapa, tapi mereka sekeluarga. Mereka berharap agar Mine cepat hamil. Karena sudah 5 tahun menikah, pasangan muda itu belum juga dikaruniai seorang anak.

"Belum, Sayang. Kita sedang berusaha," jawab Mine dengan lembut. Leonyca melepaskan pelukannya. Dia menarik Mine ke sofa dan mereka duduk bersebelahan, diikuti Jason.

"Ony terlihat lesu dan tidak bersemangat. Padahal sudah bertemu dengan Matt." Leonyca mengangguk.

"Kami sudah mendengar dan mengetahui kondisi Matt. Mama yang memberitahu." Leonyca kembali mengangguk.

"Ony kangen Bang Jack. Kapan ya Bang Jack pulang?" Leonyca mengalihkan pembicaraan.

"Dia akan pulang kalau pekerjaannya sudah beres." Leonyca mengangguk. Dia menatap Jason memelas.

"Ony butuh sesuatu?" tanya Jason yang mengerti adiknya itu.

"Iya, Bang." Leonyca menyelipkan anak rambutnya ke balik telinga.

"Katakan saja, Ony. Ony ingin apa?" Leonyca memikirkan lagi sebelum menyampaikan keinginannya pada Jason. Mine mengelus punggung Leonyca.

"Abang tahu kan kalau beberapa waktu lalu Ony pergi mencari Matt." Jason mengangguk. "Lalu, ada apa, Ony?"

"Emm, Ony pergi bersama Patch. Tapi Ony tidak punya nomor telepon Patch," ucap Leonyca malu-malu. Jason tersenyum dan seperti memikirkan sesuatu.

"Patch yang Ony maksud itu Patch yang mana?"

"Namanya Patch Holland, Bang. Abang tahu dia?" Jason mengangkat bahunya.

"Nama itu tidak asing. Coba Ony cari di internet, mungkin nanti Ony akan dapat informasi soal Patch. Soalnya pemilik nama seperti dia aku rasa tidak banyak."

"Nanti Ony cari, Bang." Leonyca tersenyum lagi. Dia bangkin berdiri dan berlari ke kamarnya.

"Anak ini," ucap Jason sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Leonyca.

Setelah sudah di kamar, Leonyca menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, dan dia menatap langit-langit kamar sambil berpikir sebentar, lalu meraih ponselnya. Leonyca pun mulai mencari nama Patch Holland di pencarian Google, namun tidak menemukan apa pun. Leonyca mengerutkan keningnya.

"Tidak ada," Leonyca menggigit bibirnya pelan. Lalu Leonyca mencari lagi di sosial media yang dia pakai, tapi nihil.

"Apa aku menemui Pendeta Nicola saja?" Leonyca menggeleng. Itu bukan hal yang benar, terlebih lagi Nicola akan melahirkan.

"Hah, kenapa pula aku jadi memikirkan Patch? Aku tidak khawatir, hanya saja penasaran apa yang dilakukannya di sana." Leonyca memejamkan matanya sambil menghela napasnya pelan.

"Nanti kalau Bang Lee tidak sibuk lagi, aku akan meminta bantuannya untuk mendapatkan kontak Patch," ucap Leonyca masih memejamkan matanya.

★•••★

Patch menggerutu dalam hati. Dia kini ada dalam perjalanan menuju Jakarta karena ayahnya ingin bertemu. Dalam kondisi yang belum membaik, Patch memaksakan dirinya. Karena jarang-jarang sang ayah meminta bertemu. Rony terpaksa membawa Patch pulang, sementara Doko masih ada di desa untuk menyelidiki lebih lanjut desa di seberang hutan bersama 3 orang rekannya.

Patch meneguk air mineral di botol, dia tidak banyak bicara. Sementara Rony juga diam saja dan fokus menyetir.

Beberapa jam kemudian, mereka sudah sampai di rumah ayah Patch yang sangat mewah dan besar. Patch turun dari mobil setelah Rony membuka pintu untuknya.

"Bapak yakin baik-baik saja?" tanya Rony khawatir, terlebih wajah Patch masih pucat dan masih lemas.

"Ya, setelah ini saya akan ke rumah sakit." Rony mengangguk dan Patch melangkah memasuki rumah. Rony mengikutinya dari belakang. Pintu rumah terbuka lebar dan mereka di sambut pelayan di rumah itu dengan membungkuk sopan.

"Selamat datang, Tuan. Tuan Besar sudah menunggu Anda di ruang kerjanya." Patch tidak memjawab. Dia melangkah menuju ruang kerja sang ayah yang berada dekat perpustakaan di rumah itu.

Patch membuka pintu tanpa mengetuk dulu. Rony sendiri menunggu di depan pintu yang sudah di tutup rapat. Patch melihat ayahnya sedang berdiri menghadap jendela yang terbuka lebar sambil memegang gelas berisi wine.

"Ada apa ingin bertemu denganku?" tanya Patch tanpa basa basi. Lelaki yang sudah beruban itu membalikkan badannya. Dia mengenakan kemeja berwarna putih dan lelaki itu menyesap wine dengan perlahan. Patch duduk di sofa berwarna hitam yang ada di ruang kerja sang ayah.

"Kamu tidak berubah, Anakku." Patch menatap meja kerja ayahnya. Ada dokumen yang bertumpuk di sana. Ayahnya memang lebih suka bekerja di rumah dari pada di kantor.

"Apa yang Anda inginkan, Tuan Darren?" Lelaki itu terkekeh.

"Kamu terlihat pucat. Kamu sakit?" Darren meletakkan gelasnya di meja, dia mendekati Patch dan duduk di depan Patch. Meja menjadi pembatas mereka.

"Kudengar dari Nicola kamu pergi ke suatu tempat. Apa urusanmu di sana sudah selesai?" Patch menggerutu dalam hati karena Nicola memberitahu pada ayahnya.

"Ya." Jawab Patch dengan singkat. Dia menatap Darren tanpa minat, lelaki di depannya ini adalah seorang pria berusia 65 tahun. Namun masih bugar dan awet muda.

"Anakku, kamu tahu tujuanku memanggilmu?" Patch mengangguk saja.

"Baguslah. Cepat putuskan dan jangan biarkan aku menunggu." Darren melipat tangan di dada sambil menatap tajam putranya itu.

"Ya." Patch mengalihkan pandangannya pada bingkai foto yang terpajang di dinding. Ada Patch, Darren, dan seorang perempuan cantik di foto itu. Ibu Darren, sudah meninggal saat Patch berusia 15 tahun. Dan kini ayahnya suka bermain-main dengan perempuan-perempuan muda dan Patch tidak peduli akan hal itu.

"Kamu sakit?" Patch mengangkat bahunya. Dia menyenderkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya.

"Ya, kamu sakit." Darren menatap Patch dengan teliti, putranya terlihat lebih kurus dari terakhir dia melihatnya, 5 bulan yang lalu.

"Kamu sudah bisa mencari pendamping hidup, agar ada yang mengurusmu." Patch tidak menggubris.

"Nanti kita bicara lagi," putus Darren akhirnya saat menyadari Patch tidak berminat bicara padanya. Darren bangkit berdiri dan keluar dari ruang kerjanya.

"Urus dia dengan baik. Perhatikan pola makannya!" ucap Darren dengam tegas pada Rony. Rony mengangguk.

"Baik, Pak!" Rony membungkukkan badannya dengan sopan dan dia melihat kepergian Darren. Rony kembali berdiri dengam tegak, dia menunggu Patch keluar dari ruangan itu.

★•••★

Cerita ini akan selesai pada Part 20 ya.
Makasih Guys.
Tungguin cerita Patch ya😊

PREDESTINATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang