Pukul 08.25 WIB
Leonyca melangkah buru-buru melewati hutan, dia menarik rapat jaket yang dia pakai karena udara dingin yang menusuk pori-pori kulitnya.
Leonyca terus melangkah mengikuti jalan yang kemarin mereka lewati, dia ingin mencari Matt tanpa sepengetahuan Patch. Leonyca memang sengaja pergi diam-diam saat Patch pergi pagi-pagi tadi. Meskipun kaki Leonyca masih sakit dan berdenyut, dia tetap semangat mencari Matt.
Leonyca berhenti melangkah. "Kemarin aku melihat Matt di sini. Aku yakin sekali kalau itu adalah Matt." Leonyca berhenti tepat di tempat kemarin Matt memanggilnya. Leonyca melanjutkan langkahnya dan semakin cepat saat melihat rumah.
Dia bahkan sedikit berlari saat dia yakin sekali kalau Matt ada di salah satu perkampungan itu. Leonyca menarik napasnya dalam-dalam sambil menatap ke sekeliling. Dia menyentuh tengkuknya karena merasa ada yang memantaunya sejak dia menginjakkan kaki di desa itu. Namun Leonyca tetap meyakinkan dirinya. Dia melanjutkan langkahnya lagi.
Dia merasa heran juga karena tidak ada pintu atau pun jendela yang terbuka sepanjang dia melintas. Dia juga tidak melihat siapa pun.
Leonyca terus melangkah sampai dia menemukan satu rumah yang pintu depannya terbuka. Leonyca tersenyum sambil berhenti. Dia sedang berpikir masuk atau tidak. Dengan ragu Leonyca melangkah pelan menginjakkan kakinya di halaman sampai di depan pintu yang terbuka. Dia bisa mendengar suara musik yang dipasang dengan volume yang kuat.
"Permisi!!!" Jerit Leonyca kuat, tapi suara musik jauh lebih kuat.
"Permisi!!!" Jerit Leonyca sekali lagi sambil mengetuk dinding rumah yang terbuat dari papan.
"Ada orang?!!" Leonyca mulai tidak sabaran. Dia langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu saat dia merasa diawasi lagi. Dia mengunci pintu, jantungnya berdebar dengan kuat, gadis itu ketakutan.
Leonyca menarik napasnya dalam-dalam, mengembuskan dengan perlahan. Lalu dia melangkah menuju arah musik.
"Horror sekali!" pekik Leonyca karena di dalam rumah itu gelap. Dia menyibakkan gorden kamar dan berdiri mematung melihat seorang pria yang duduk di kursi roda membelakangi Leonyca. Ruangan itu terang sehingga Leonyca mengenal siapa yang duduk di kursi roda itu.
"Matt!" Jerit Leonyca kuat membuat lelaki itu sedikit terkejut. Matt mematikan musik, tapi dia tidak membalikkan badannya.
"Matt!" Leonyca berlari mendekati Matt dan langsung berjongkok di depan Matt yang buang muka. Leonyca seperti anak kecil yang kegirangan saat di beri permen. Dia menatap Matt penuh semangat dan wajahnya begitu ceria. Leonyca berdiri dan memeluk Matt dengan erat. Meski Matt tidak membalas pelukannya, Leonyca tidak masalah. Yang penting dia sudah menemukan Matt. Itu sudah sangat membuatnya bahagia.
"Akhirnya aku menemukan Matt di sini!" Leonyca melepas pelukannya, dia membingkai wajah Maat yang tanpa ekspresi membuat Leonyca meringis dalam hati. Leonyca mengecup bibir Matt sekilas, dia tersenyum salah tingkah. Lalu dia mengecup kening, pipi kanan, dan kiri Matt. Dia tersenyum lebar meski matanya kini sudah berkaca-kaca. Matt bahkan tidak mau menatapnya.
"Matt tidak kangen padaku?" tanya Leonyca dengan suara yang mulai serak. Leonyca duduk di lantai, lalu dia menarik celana yang dia pakai sampai ke lutut sehingga memperlihatkan lututnya yang memar. Dia juga melepas sandal jepitnya.
"Lihat, Matt. Kakiku luka!" Jerit Leonyca tidak bisa menahan air matanya karena sikap dingin Matt. Matt melirik kaki Leonyca sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya.
"Matt tidak senang ya? Maaf, ya...." Leonyca mengusap air matanya pelan. "Padahal aku sudah datang mencari Matt jauh-jauh ke sini. Untuk bisa bertemu Matt dan kita menikah. Aku bahkan sudah menyiapkan pendeta dan surat menikah. Matt tidak senang?" Leonyca menurunkan celananya, dia memakai sandal jepitnya dan berdiri tegak. Dia mengusap air matanya lagi.
"Matt, aku lelah sekali...." ucap Leonyca memelas, tapi masih tidak ada respons dari Matt membuat Leonyca merasa frustrasi. Leonyca kembali duduk di lantai, lalu dia menjatuhkan kepalanya di paha Matt, berharap lelaki itu mengelus kepalanya. Tapi hasilnya nihil. Leonyca menggigit bibirnya sampai berdarah agar tangisnya tidak keluar. Dia merasa hal sia-sia, tapi dia tidak menyesal.
Leonyca berusaha memeluk pinggang Matt, dia mengangkat kepalanya dan mendongak untuk menatap Matt. Lelaki itu akhirnya menyerah, dia juga menatap Leonyca. Ekspresi wajah Matt berubah saat melihat wajah Leonyca sangat pucat. Leonyca mengusap air matanya, dia tersenyum lebar meski pun hatinya terasa sakit.
Jadi begini rasanya, Matt....
Leonyca menarik tangannya, dia berusaha bangkit berdiri. Namun tubuhnya terasa lemas. Leonyca memegang kursi roda Matt agar bisa berdiri dengan benar. Matt menangkap tubuh Leonyca yang hampir terjatuh. Saat itulah Matt menyadari kalau tubuh Leonyca kurus. Dia melihat pergelangan tangan Leonyca yang mengecil.
"Tidak apa-apa, Matt. Nanti siang aku datang lagi ya. Aku tidak apa-apa." Leonyca tersenyum, air mata tidak bisa berhenti mengalir di pipinya. Leonyca berusaha melawan rasa di hatinya. Rasa sedih, bahagia, dan patah hati secara bersamaan.
"Ony...." Matt menahan tangan Leonyca. Leonyca mengangguk, kepalanya sangat pusing, Leonyca merasa tenaganya habis.
"Aku tidak apa-apa, Matt." Leonyca menarik tangannya, dia langsung mendekati dinding untuk berpegangan. Pandangan Leonyca berputar-putar dan kabur.
"Ony...." Matt mendekati Leonyca yang mencoba melangkah terhuyung.
"Aku tidak apa-" Matt menahan tubuh Leonyca karena Leonyca hampir terjatuh ke lantai. Dia pingsan.
"Ony...." bisik Matt, dia panik! Matt berusaha menggendong Leonyca, tapi dia kesulitan karena duduk di kursi roda. Namun dia berusaha sangat keras. Berusaha membawa Leonyca ke tempat tidur.
"Ony, bangun....." ucap Matt mulai ketakutan. Dia menarik tubuh Leonyca ke atas tempat tidur. Badan dulu lalu kaki. Lalu dia menepuk wajah Leonyca. Matt meletakkan tangannya di kening dan leher Leonyca. Badan Leonyca sangat panas.
Matt memutar kursi rodanya untuk mengambil kain dan juga air. Dia bergerak sangat cepat. Jantungnya berdebar dengan hebat sampai Matt merasa kesakitan. Saat sudah menemukan kain, dia mendekati tempat tidur. Dia membasahi kain itu pakai air minum yang sudah disiapkan Ratu, lalu menempelakan di kening Leonyca.
"Apa yang kau lakukan, Matt?!!" tubuh Matt membeku saat mendengar suara itu. Dia langsung memegang tangan Leonyca dengan erat.
"Berani sekali kau membawa dia ke rumahku!" Matt menggeleng saat Ratu mendekat. "Padahal hanya ku tinggal sebentar!" Matt kembali menggeleng saat Ratu mendekat.
"Jadi gadis ini, hah?!" Jerit Ratu marah. Dia mengambil kain kompres di kening Leonyca dan membuangnya ke lantai.
"Jangan, Ratu!" Matt menahan tangan Ratu saat gadis itu ingin menarik rambut Leonyca. "Kumohon...." ucap Matt memohin untuk pertama kalinya pada Ratu.
"Kenapa, hah?! Gadis ini kan yang membuatku seperti ini?!" Matt menggeleng.
"Dia tidak tahu apa-apa. Jadi kumohon jangan sakiti dia." Matt menatap Ratu dan melepaskan tangan gadis itu. Ratu langsung keluar dari kamar Matt dengan wajah yang sulit diartikan.
Matt memungut kembali kain yang tadi dibuang Ratu. Dia kembali mengompres Leonyca.
"Maafkan aku...." bisik Matt.
★∞★
Semoga suka!
Jangan lupa di vote komen ya. Terima kasih🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
PREDESTINATION
Jugendliteratur[Seri Kedua My Little Girl] Klise, ketika dua insan manusia yang saling mencintai, tapi mereka terikat hubungan darah. •Matt Morris Christover (21) sudah menyukai bahkan mencintai keponakannya sejak lama. •Leonyca Reyner Reland (16) gadis yang benar...