Sebelum baca, klik bintang dibawah dulu ya🌼
Selamat membaca, Guys❤
__________________Siang itu Jakarta lagi-lagi diguyur hujan. Seorang laki-laki muda menatap kosong ke depannya. Ya, laki-laki itu adalah Matt. Dia sedang duduk di sofa yang ada di kamarnya menghadap jendela yang terbuka lebar. Matt mengedipkan matanya. Dia memasukkan tangannya di saku jaket yang dia pakai.
Dia sangat berharap hal baik datang padanya.
Dia sangat bergarap alam semesta berpihak padanya.
Matt tak ingin kisahnya lagi-lagi berujung sedih."Matt, ada kabar gembira untuk kita, Nak!" Lory masuk ke kamar Matt dengan penuh semangat. Lory mendekati Matt dan berjongkok di depan putranya itu.
"Ada apa, Ma?" tanya Matt masih menatap keluar. Lory menggenggam erat tangan Matt.
"Matt tahu, yang menabrak Matt sudah ditangkap. Gadis itu juga sudah ditangkap. Syukurlah mereka semua kini sudah mendekam di penjara. Mereka harus mendapatkan hukuman yang setimpal karena percobaan pembunuhan dengan sengaja." Lory begitu menggebu-gebu.
Matt akhirnya menyerah, dia menatap sang ibu dan dia tersenyum. Meski itu hanya senyum paksaan.
"Ma, apakah seandainya aku tidak pergi saat itu, perasaan Ony padaku masih sama?" Lory mengelus punggung tangan Matt.
"Yah, sepertinya begitu, Nak. Tapi kamu tenang saja, saat kamu sudah pulih dan bisa berjalan, Mama dan Papa ingin memberikan kejutan padamu." Lory tersenyum lagi, meski Matt dapat melihat senyum itu tidak sampai ke mata ibunya.
"Kejutan apa, Ma?"
Lory mengangkat bahunya. "Nanti juga Matt tahu, tapi setelah Matt sembuh. Matt harus semangat ya. Semangat untuk sembuh." Matt mengangguk.
"Ma, aku tidak perlu pakai kursi roda lagi. Aku pakai tongkat saja sudah bisa, kok." Lory mengangguk.
"Nanti kami belikan, ya." Lory berdiri dan membungkukkan badannya, lalu mengecup kening Matt sambil menahan tangisnya.
"Ma, siapa yang memberitahu kalian kalau pelakunya sudah di tangkap?"
"Oh itu, tadi ada yang menelepon Papamu, dia tidak menyebutkan namanya, hanya memberitahu saja kalau dia dan rekannya sudah berhasil menangkap para penjahat itu."
"Oh begitu." Lory mengangguk.
"Ya sudah, Mama keluar dulu. Nanti kita pergi menemui mereka, ya." Lory mengusap kepala Matt lalu dia pergi dari kamar itu. Ternyata di depan pintu kamar Matt, Nara sudah menunggu.
"Bagaimana?" tanya Nara. Lory menggeleng dan memeluk suaminya setelah menutup pintu. Dia menumpahkan air matanya di dada sang suami.
"Aku tidak sanggup mengatakannya. Aku belum siap kehilangan Matt. Jadi aku mengatakan padanya setelah dia sembuh saja. Agar dia semangat untuk sembuh." Nara mengelus punggung Lory agar istrinya bisa lebih tenang.
"Tidak apa-apa, ya."
"Aku tak ingin siapapun mengambil Matt dariku."
"Tidak ada yang mngambil Matt. Tenang, ya." Nara mempererat pelukannya.
"Kuharap juga begitu," bisik Lory. Lory melepaskan pelukan mereka dan dia mengusap air matanya.
"Matt ingin pakai tongkat katanya."
"Nanti aku belikan, oke?" Lory mengangguk, dia menghela napasnya. Lalu mereka beranjak dari depan kamar Matt.
Sementara itu, Matt menekan pangkal hidungnya.
"Apa lelaki itu yang melakukannya? Kenapa dia begitu baik? Apa pekerjaan dia sebenarnya?" Matt memejamkan matanya. Seketika dia teringat sesuatu.
"Bayaran yang dimaksud Patch itu, apakah dia menginginkan Ony?" Matt mendengus pelan. Dia baru sekarang memikirkan bayaran yang diinginkan Patch. Matt pikir Patch meminta bayaran seperti uang dan lain-lain.
"Hah, sialan dia kalau memang dia meminta Ony bayarannya!" Matt mengacak-acak rambutnya frustrasi.
Satu kenyataan lagi yang menampar Matt bahwa Patch tidak membutuhkan uang darinya. Matt sangat yakin Patch bukanlah orang sembarangan atau orang yang kekurangan uang. Kalau benar Patch kekurangan uang, Patch tidak mungkin mau membuang-buang waktu menemani Leonyca mencarinya.
"Apa yang harus kulakukan? Kalau Patch ini orang penting, mungkin Papa mengenalnya kan?" Matt kembali mengacak rambutnya. Matt menjadi semangat ingin cepat sembuh dan mencari tahu tentang Patch.
★•••★
Seorang gadis cantik berlari memasuki sebuah rumah mewah, dia menutupi kepalanya menggunakan tas selempangnya. Gadis itu melewati para pelayan yang sedang berlalu lalang mengerjakan pekerjaan mereka.
Gadis itu berhenti di depan pintu kamar dan membukanya tanpa ragu.
"Matt!!!" jeirtnya kegirangan. Dia mendekati Matt yang duduk di sofa.
Matt..." desahnya dan duduk di sebelah Matt.
"Ony?" Matt langsung meraih tisu dan melap wajah Leonyca yang basah. Tangan, kaki, dan baju Leonyca juga sudah basah.
"Ony tidak pakai payung?" Leonyca menggeleng. Dia memeluk Matt dan bergelayut manja pada lelaki itu. Hal itu membuat Matt bingung sekaligus senang.
"Matt, kangen...." rengek Leonyca sambil memejamkan matanya.
"Ony ganti pakaian dulu ya. Atau tidak Ony mandi dulu agar tidak demam." Leonyca menggeleng.
"Nanti Ony sakit." Leonyca lagi-lagi menggeleng masih memeluk Matt.
"Apa ada hal baik?" tanya Matt, dia menduga Leonyca mengetahui hal yang ingin disampaikan orangtuanya.
"Tidak..." Leonyca melepaskan pelukannya. "Lagi pula aku sudah malas membaca pikiran orang-orang." Leonyca menggembungkan pipinya membuat Matt gemas. Matt melepas jaketnya dan memakaikan pada Leonyca.
"Kenapa Ony datang tiba-tiba?" Leonyca mengangkat bahunya.
"Aku hanya ingin melihat Matt." Leonyca menyenderkan kepalanya di bahu Matt sambil melipat tangannya. Hal itu membuat perasaan Matt kembali menghangat.
"Aku hanya ingin berduaan dengan Matt. Sudah lama tidak, kan?" Matt mengangguk. Dia memeluk Leonyca. Rasanya dia semakin tidak ingin melepaskan gadis itu.
"Matt," Leonyca mendongak dan menatap Matt malu-malu. Matt mengelus pipi Leonyca menggunakan sebelah tangannya. Leonyca kembali lagi seperti yang dulu.
"Matt, akhir-akhir ini aku bingung dengan perasaanku sendiri." Leonyca memejamkan matanya. Dia menghela napasnya.
"Ony harus berjanji satu hal padaku." Leonyca membuka matanya dan menatap Matt.
"Ony harus bahagia, ya. Walaupun tidak bersamaku." Leonyca tersneyum lebar, dia kembali mengangguk. Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Matt. Dia menatap Leonyca dengan lekat, tidak ada jarak diantara mereka, namun tahu Matt tidak akan pernah bisa menggapai Leonyca lagi. Jantungnya masih berdegup kencang untuk Leonyca.
Bukankah dalam perihal mencintai, puncak terbesar dalam mencintai adalah melihat orang yang kita cuntai bahagia walau bukan bersama kita?
"Matt juga harus seperti itu juga, ya." Matt mengangguk. Namun dia akan mencoba melakukan yang terbaik untuk Leonyca. Sekali lagi.
Bagaimana pun nanti hasilnya, setidaknya Matt akan mencoba sekali lagi. Dia masih sangat berharap bisa bersatu dengan Leonyca. Dia tidak mampu berpaling, dan Matt sama sekali tidak ada niatan untuk mencari pengganti Leonyca. Matt ingin menebus kesalahannya pada Leonyca. Jikalau nanti takdir tak berpihak padanya, Matt akan lebih ikhlas menerimanya, setidaknya dia nantinya bisa menebus kesalahannya itu.
★•••★
KAMU SEDANG MEMBACA
PREDESTINATION
Teen Fiction[Seri Kedua My Little Girl] Klise, ketika dua insan manusia yang saling mencintai, tapi mereka terikat hubungan darah. •Matt Morris Christover (21) sudah menyukai bahkan mencintai keponakannya sejak lama. •Leonyca Reyner Reland (16) gadis yang benar...