Extra Part 1

2K 93 6
                                    

Hari telah berganti menjadi minggu, begitu juga minggu berganti menjadi bulan. Cuaca di kota Jakarta juga cerah. Musim hujan sudah berlalu.

Suara tawa terdengar begitu renyah di ruang tengah, orang yang melihat mereka pasti ikut senang mendengar suara tawa dan juga obrolan yang terdengar seru. Padahal mereka hanya membicarakan tentang serial kartun yang sering di tonton Dave.

"Haha, Papa ini bisa saja." Lelaki bernama Evano itu sampai mengusap sudut matanya, sebelah tangannya memegang perutnya.

"Hah, rasanya sudah lama tidak melihat kamu seperti ini, Dave." Nadia menyentuh lengan suaminya. Wajah Dave begitu ceria, ditambah lagi senyum lebar merekah di bibirnya.

Dave mengusap sudut matanya. "Yah, aku juga senang bisa merasakan perasaan hangat berkumpul bersama keluarga kecilku." Dave menatap Matt yang duduk bersebelahan dengan Evano.
Matt tersenyum, senyum yang benar-benar tulus.

"Aku juga senang bisa berkumpul bersama Papa, Mama, dan Evan. Keluarga yang memberiku cinta dan kasih sayang. Terima kasih."

Evano, Nadia, dan Dave mengangguk bersamaan.

Semua berawal dari beberapa bulan yang lalu. Matt berusaha menerima keluarga barunya. Dia juga berusaha mendekatkan diri pada Dave. Meski pada awalnya mereka sangat kaku, namun semuanya berubah saat Matt memanggil Dave dengan sebutan ‘papa’ untuk pertama kalinya.

Tentu saja saat itu Dave terkejut, namun lelaki itu tidak bisa memungkiri bahwa dia sangat menginginkan Matt memanggilnya dengan sebutan ‘papa’.

Bagaimana tidak, dia sudah lebih dari 20 tahun kehilangan Matt, putra pertamanya. Dan Dave tidak pernah mempercayai Matt meninggal. Karena pada saat itu pihak rumah sakit tutup mulut soal kasus itu. Bahkan untuk menyelidiki pun tidak diperbolehkan pihak rumah sakit.
Menurut penuturan dokter pada saat Dave ingin menyelidiki tentang kematian putranya, pihak rumah sakit melarang dengan alasan banyak pihak yang terganggu dan tidak nyaman.

Matt dan Dave adalah dua orang yang mempunyai kemiripan. Yang lebih spesifik itu adalah dari segi sifat mereka. Sama-sama kaku dan tidak bisa mencairkan suasana. Namun, kini mereka sudah akrab satu sama laun, tanpa dendam di hati masing-masing.

Dave berdeham dan menatap Matt dan Evano dengan serius. Membuat kedua lelaki itu mematung.

"Tapi rasanya kita ini belum lengkap!" ucap Dave dengan tegas. Matt dan Evano saling melempar pandangan, lalu menatap Dave dengan bingung. "Kapan bawa calon istri ke sini, Matt?"

Evano menyemggol Matt yang mengembuskan napas leganya.

"Iya, kapan, Bang?" Evano menaik-turunkan alisnya.

"Nanti pasti aku bawa, Pa. Sekarang belum saatnya. Lagi pula aku masih baru-baru ini kerja, jadi belum mempunyai tabungan yang cukup untuk biaya pernikahanku nanti."

"Kalau soal biaya tidak perlu khawatir, Nak. Kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Serahkan saja pada kami."

"Tapi, Ma... kekasihku meminta agar aku kerja dulu. Lagi pula, dia masih ingin menikmati masa mudanya. Tapi sudah pasti, kok. Mungkin 3 atau 4 tahun lagi."

"Astaga! Itu masih sangat lama, Bang!"

"Tidak masalah." Dave tersenyum. "Evan, menikah itu bukan hal mudah. Kalau sudah begitu kesepakatan Matt dan kekasihnya, kita bisa apa? Lagi pula harus dipikirkan matang-matang. Karena setelah menikah, tanggungjawab kita semakin bertambah."

"Iya, Pa. Tapi itu masih lama." Evano melirik Matt yang tersenyum.

"Benar, Van. Aku saja belum punya rumah. Mau tinggal dimana nanti aku dan istriku." Matt menyentuh lengan Evano saat adiknya itu hendak menyela. "Kita tidak boleh mengandalkan kekayaan orangtua."

PREDESTINATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang