Suara Dia

324 31 2
                                    

PRANGGGGG!!

Sialan!
Kurasakan panas pada kedua pahaku. Kukira susunya telah dingin,namun saat kuraih masih terasa panas,sehingga tanganku menjatuhkannya,mengguyur pahaku kemudian pecah.

Mungkin itu sudah gelas ke sekian ratus yang aku pecahkan. Tersenggol,terlepas dari genggaman,hingga aku menendangnya dengan tidak sengaja. Tapi ibu tidak pernah marah,hanya mengatakan tidak apa-apa,kemudian membersihkan pecahannya. Maklum,aku hanya seorang gadis buta.

Tanganku meremas kain celana tidur yang basah dan masih sedikit hangat,menggosoknya untuk menghilangkan perih pada paha. Aku tidak boleh beranjak,karena bisa saja aku menginjak pecahan gelasnya,aku tidak memakai sandal.

Aku bergeser dari dudukku tanpa menginjakkan kaki ke lantai,bergeser hingga sampai ditepi kasur. Aku hendak bangun saat kudengar pintu terbuka dan teriakan :

"Astaga Elma!"

Itu ibu.

"Ibu,maafkan aku,susunya masih panas, dan aku menjatuhkannya."

Tanganku semakin meremas celana basahku. Ibu menaruh tangannya di atas tanganku yang berada dipangkuan.

"Sayang... ayo bangun,biar ibu olesi salep,itu pasti perih."

Aku bangun dari ranjang,mengikuti tuntunan tangan ibu yang mengarah ke- kemana? Mungkin kamar mandi.

"Lepaskan celana dan bajumu,lalu duduk disini. Ibu akan membawa baju baru."

Aku menurut,melepaskan celana basah dan bajuku,menyisakan bra dan celana dalam saja. Kemudian meraba-raba untuk mencari closet,kemudian mendudukinya.
Ibu datang membawa salep,mengoleskannya pada pahaku yang mungkin sudah memerah. Dengan pelan,penuh cinta.
Kemudian ibu memakaikan baju tidur berbentuk rok,aku hanya diam menurut.

Ibu menuntunku kembali untuk keluar kamar mandi,saat kami sampai diujung kasur,ibu memelukku singkat.

"Sekarang,tidurlah. Ibu akan membereskan ini." Ucap ibu saat aku sudah berada diatas kasur empukku. Aku mengangguk dan ibu menaikan selimut untukku.

Kurasakan ibu masih berada dikamarku. Berjongkok membereskan pecahan gelas diatas lantai,aku memiringkan tubuhku. Ingin menatapnya,menatap ibu.

"Ibu,apa warna bajuku?"

Aku merasakan ibu menatapku.

"Orange."

"Warna yang seperti apa?"

Ibu diam sejenak.

"Emm.. warna yang cerah,cocok untukmu yang berkulit putih."

Aku tersenyum.
Ibu duduk dihadapanku,mengusap sayang rambutku yang diikat satu. Kemudian mengecup kening.

"Tidurlah sayang. Ibu akan keluar."

Aku memejamkan mata. Ibu berjalan meninggalkanku,menutup pintu. Dan hening.

Selepas kepergian ibu,aku hanya diam memeluk tubuhku yang terasa dingin dibawah selimut tebal. Aku,tidak bisa tertidur. Hingga satu tetes air keluar dari mataku,mengalir membasahi hidung,menyebrang ke arah satu mataku yang lain.

Diantara ribuan,jutaan,milyaran manusia, mengapa aku? Mengapa Tuhan tidak mengizinkanku melihat dunia? Dari lahir,aku tidak pernah tahu wajah ibu dan ayah. Atau nenek dan kakek. Aku tidak tahu apa-apa.

Aku hanya tahu,ibu adalah wanita cantik. Saat wajahnya kusentuh,kurasakan lembut dikedua pipinya,hidung yang mancung,mata yang dalam,bulu mata yang lentik,hingga bibir yang berisi.

Ayah,dia pria tampan,kukira begitu. Aku menyayangi mereka,meski aku tak mampu menatap wajah keduanya,tapi hatiku merasakan sesak yang amat sangat saat mereka menangis dan bersedih.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang