siapa dengan siapa?

87 8 0
                                    

Acara makan-makan selesai satu jam yang lalu,Delisa sudah pulang,tapi aku dan Gatra masih duduk berdua di atas ayunan yang mulai dingin. Tangan kanannya dengan lembut naik turun di atas rambutku,memberi ketenangan secara tidak langsung. Sedangkan tangan kirinya menggenggam tanganku.

"Bintangnya banyak sekali. Kata orang tua dulu,kalau malam banyak bintang, besoknya akan panas." Ucapnya.

Aku hanya diam bersandar pada bahu kuatnya. Bahu yang acap kali kujadikan tempat tertidur,atau bersandar seperti sekarang. Aku selalu menyukai posisi ini,entah mengapa,tapi aku merasakan perasaan luar biasa.

"Kamu sudah mengantuk? Kamu banyak diam."

Yah. Aku banyak diam sejak percakapan antara Gatra dan tante Laras. Mereka pernah bertemu,dulu katanya. Ada sesuatu yang disembunyikan Gatra, aku tidak tau itu apa,tapi ada yang mengganjal.

"Sedikit."

"Mau ke dalam sekarang?"

Aku mengangguk. Lalu Gatra menghentikan pergerakan ayunan, membantuku turun dari atasnya dengan lembut. Kami berdiri berhadapan, kedua tangan Gatra menggenggam kedua tanganku.

"Jika aku melakukan kesalahan,apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya tiba-tiba.

"Memangnya kamu melakukan apa?"

"Kan kubilang 'jika'. Apa yang akan kamu lakukan?"

Aku diam sejenak. Rasa hatiku semakin tidak nyaman.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Aku hanya berandai,Elma. Jawab saja."

Aku menarik nafas pelan,

"Aku mungkin memaafkanmu."

"Benarkah?"

Aku mengangguk.

"Meski kesalahan itu fatal?"

Aku kembali diam.

"Elma?"

"Gatra,bisakah kita selalu bersama?"

Kini giliran Gatra yang diam. Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya.

"Aku,tidak tahu."

Aku diam.

"Ma-maksudku,aku tidak bisa menentukan sampai kapan aku bisa bersamamu. Tapi,selama aku mampu,aku mau selalu bersama kamu."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

Aku tersenyum kecil.

"Baiklah. Aku akan masuk."

"Tunggu."

"Kenapa?"

"Mau ku antar?"

"Aku tahu jalannya."

"Oke."

Dan tanpa kukira,Gatra mencuri satu ciuman singkat dibibirku. Membuatku terdiam membisu,tidak tahu harus melakukan apa.

"Sudah,masuk sana."

Aku tersadar,dan buru-buru mengangguk. Kemudian melepaskan tangannya dan memasuki rumah. Setelah menutup dan mengunci pintu,aku menaiki tangga untuk sampai dikamarku.

Kakiku baru saja menaiki anak tangga ke enam saat kudengar suara ibu dan ayah tepat dibawah tangga,didepan kamar ayah dan ibu. Aku perlahan mendudukan tubuhku di atas anak tangga,dengan tangan berpegangan pada tihang tangga, berusaha mendengar percakapan keduanya.

"...iya."

Ibu terdengar lesu.

"Jangan cemberut."

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang