akhir dari sebuah kisah

89 8 2
                                    

Aku tidak bertemu Gatra sejak pertemuan malam itu. Bukan tidak ingin,sejujurnya,aku sangat merindukannya. Tapi rasanya akan berbeda jika kami bertemu. Keadaannya sudah berubah. Ditambah tidak sekalipun Gatra menghubungiku. Jadi tidak ada alasan untuk memikirkannya.

Perihal kisah kami yang berakhir tidak baik,aku tidak menyalahkannya. Aku tahu maksud hatinya. Namun ia melakukan dengan cara yang salah,yaitu menyakitiku. Tapi tak apa,mungkin itu membuatnya sedikit merasa lebih baik. Denganku,Gatra menemukan sosok cintanya yang sempat hilang,membuat kesakitan dihatinya sedikit berkurang.

Dan kini,cinta sesungguhnya yang sempat hilang telah kembali. Dan aku tidak dibutuhkan. Tak apa. Aku akan baik-baik saja,meski akan butuh waktu yang sedikit lama untuk menyembuhkan hati. Akan sedikit sulit karena aku telah mencintainya.

Gatra..

Harusnya aku tahu,sedikit muluk menginginkan cinta darinya. Menginginkan rasa yang kekal darinya. Seperti kata Aima,karena aku buta. Kalaupun ada yang bersedia tetap berdiri denganku,itu mungkin karena aku patut dikasihani. Karena aku tidak bisa menuangkan air pada gelasku sendiri. Karena aku tidak bisa jika tidak dibantu.

Sekarang aku disini,di taman belakang rumah Delisa. Sendirian meratapi kesialanku sebagai manusia. Aku ingin menangis,tapi airmata tidak kunjung turun,mungkin karena aku sudah kehilangan rasa.

"Aku bingung,universitas mana yang cocok untukku?"

Ah,waktu memang tidak terasa berjalan. Delisa sudah menyelesaikan ujian nasionalnya. Gatra juga. Sekarang hanya tinggal menentukan universitas mana yang ingin disinggahi untuk mendapat gelar.

"Kamu mau ambil jurusan apa?"

"Tidak tahu."

Aku bersandar pada batang pohon cemara yang tumbuh tinggi.

"Katanya mau jadi arsitek?"

Delisa tergelak,entah ucapanku yang mana yang dianggapnya lucu.

"Arsitek. Ummmm,menarik."

Aku diam. Delisa sibuk dengan brosur-brosur yang menawarkan kenyamanan dalam mendapatkan gelar.

"Oh ya,kamu masih menolak tawaran ibumu untuk melakukan operasi mata?"

Aku mengangkat bahu, "Tidak ada yang ingin kulihat lagi didunia."

"Aku?"

Aku diam. Tiba-tiba saja aku ingin menangis.

"Lho? Kenapa?"

Aku mengeleng, "Kenapa aku buta?"

"Kenapa bertanya seperti itu?"

"Jawab saja!"

"Ya,karena.. karena Tuhan punya cara lain untuk membuatmu bahagia."

"Apa?"

"Gatra?"

Sialan. Aku semakin ingin menangis. Dan tanpa kuingin,aku mulai bercerita tentang Aima dan Gatra yang melibatkanku. Diiringi tangis,aku memeluk Delisa.

"Brengsek! Aku sekarang tahu mengapa si Aima tidak bersikap ramah padamu. Ternyata alasannya Gatra! Kurang ajar,aku akan memberinya pelajaran."

Bolehkah aku menjadi jahat? Karena sekarang aku ingin membolehkan Delisa melakukan apa saja untuk menyakiti Aima. Apa saja,asal membuat hatiku sedikit meringan.

"Iya bu."

Aku melempar ponsel setelah menutup sambungan telpon yang menghubungkanku dengan ibu. Ibu menyuruhku pulang,dan jawabanku tetap "tidak". Aku tidak ingin pulang,dan lebih memilih menjadi pengecut dengan meninggalkan rumah agar tidak perlu menemui Aima.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang