Aku belum dewasa. Bahkan,untuk memahami perasaan diriku saja,aku masih terlalu sulit. Kaku. Lalu,bagaimana aku ingin memahami perasaan orang lain? Tidak,bukan orang lain,tapi kedua orang tuaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Dan jujur saja,aku takut.
Menduakan.
Menduakan.
Kata itu seperti terus terngiang sejak kali pertama aku mendengar ibu mengucapkannya. Kata yang,sangat aku pahami maknanya,bukan sesuatu yang baik,dan itu menakutkan. Aku tidak ingin keluar meski berulang kali kudengar ibu memanggil namaku,mengetuk pintu kamar yang sengaja kukunci. Aku sedang tidak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulut ibu maupun ayah, karena aku tahu,apapun yang diucapkan mereka,semua berakhir pada sesuatu yang menyakitkan. Aku tidak mau.
Jadi biarkan saja aku sendiri.
"Elma,kamu sakit?"
Ya. Hatiku. Tapi aku tidak mengucapkannya,aku hanya diam bersandar pada jendela,merasakan dingin yang disalurkan kaca jendela pada punggungku. Sesekali menghapus air mata yang kerap jatuh saat mengingat ucapan ibu. Selama ini,kukira,ayah sangat sibuk dengan perusahaannya. Tapi,sepertinya menang begitu,ayah harus begitu bekerja keras untuk dapat menghidupi aku dan ibu,juga mereka.
"Elma? Buka pintunya!"
Ketukan ibu di pintu semakin keras,tapi aku tidak ingin beranjak dari sakitku.
"Elma!?"
Aku menyembunyikan wajahku pada kedua telapak tangan. Rasanya sakit sekali,seperti aku berada diantara ruang sunyi dengan lagu yang mengiris hati. Aku seperti sedang merasakan pergolakan emosi yang.. tidak bisa ku atasi. Aku hanya ingin menangis.
"Ibu,pergilah dari situ. Aku tidak apa-apa." Teriakku. Ibu menghentikan ketukannya.
"Kamu yakin?"
Aku diam.
"Ibu perlu panggil Delisa?"
Aku tidak butuh Delisa saat ini.
"Tidak,ibu."
Dan selanjutnya adalah hening. Dan air mata.
***
Ibu tertawa dengan lelucon yang ayah lontarkan,garing,tapi membuat gelak ibu kian mengeras. Aku ikut tertawa. Ayah adalah salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki pribadi menyenangkan, dengan lelucon konyolnya, ayah mampu memikat semua orang untuk ikut tertawa. Sifat yang tidak menurun padaku,karena aku sedikit pendiam dan sulit menerima bahkan menggabungkan diri dengan orang lain.
"Ayah,sudah,ibu capek." Ucap ibu terbata masih dalam tawanya. Aku merasakan perutku mulai mual karena tidak berhenti tertawa.
"Lihat Elma! Wajahnya sampai merah,kasihan. Hahaha" ibu tetap tertawa diiringi tawa ayah.
"Sudah,sudah,kapan kita makannya kalau tertawa terus?" Ayah yang pertama berhenti tertawa,meski sedikit ada tawanya yang tersisa.
Menyenangkan saat ayah pulang ke rumah,karena ia mampu mengusir sepi yang tercipta.
"Mau ayamnya,El?"
Ibu membuyarkan lamunanku,membuat tawa dalam khayalku seketika menghilang meninggalkan sepi. Sepi yang kali ini seakan tidak ingin beranjak. Sepi itu diam meski kini ayah ada disebelahku,menikmati masakan ibu yang biasanya selalu terasa enak. namun entah bawaan hati atau suasana, masakan ibu kali ini terasa hambar untukku.
"Aku tidak mau ayam."
Ibu berhenti menyendokkan nasi ke atas piringku,dan kurasakan tatapannya padaku.
"Ada apa,Elma?"
Suara ayah membuat dorongan air mata dibalik mataku,aku menarik nafas, lalu menghembuskannya lewat mulut perlahan-lahan.
"Ayah,"
"Ada apa dengan keluarga kita?"
Baiklah. Harusnya aku menunggu makan malam selesai untuk menanyakan itu,tapi aku tidak kuat menahannya lebih lama lagi. Kudengar tarikan nafas ibu.
"Elma,apa maksudmu?" Ibu bertanya, dan yang kutangkap adalah getar yang berusaha disembunyikannya.
"Ayah,jawab." Aku tidak menjawab ibu.
"Elma,apa sih-"
"Ibu!" Aku memotong ucapan ibu, meremas jariku sendiri dibawah meja, "Berhentilah berpura-pura bahwa ibu baik-baik saja. Aku tahu ada yang salah dengan kita."
Aku diam sejenak,dan kurasakan genangan air dimatakan perlahan terjatuh,basah di kedua pipiku.
"Benarkan,ayah?"
"Ibu dan ayah akan berpisah." Itu suara ibu. Baiklah,mengejutkan,tapi aku sudah mengira.
"Ah.."
"Aku tidak ingin perpisahan." Ayah menjawab. Jawaban yang tidak kukira akan terlontar.
Apa?
"Ada apa ini?" Aku berbisik,tepatnya pada diriku sendiri.
"Elma,ayah tidak akan berpisah dengan ibu." Ayah mengulang ucapan pertamanya, "Kami sedang mengusahakan jalan keluarnya." Lanjut ayah. Aku diam.
"Aku tetap ingin berpisah. Aku dan Elma akan pergi,kamu tidak usah khawatir." Ibu berdiri mendorong kursinya.
"Berhentilah berfikir seperti itu,Elma membutuhkan kita!" Aku menunduk, menyembunyikan airmata yang semakin menderas. Meremas tanganku dengan kuat,menahan isakan.
"Lalu,apa yang kamu pikirkan saat melakukan semua ini? Apa kamu memikirkan aku? Elma? Tidak,Bram! Berhenti bersikap seolah kamu benar akan sesuatu!"
Baiklah. Aku tidak ingin mendengar lagi. Aku bangkit dari dudukku setelah menghapus airmata yang membanjir.
"Cukup,ayah,ibu."
"Elma-"
"Aku tidak pernah bermimpi memiliki kisah yang rusak. Keluarga yang berantakan. Cinta yang salah. Tapi kurasa, ada yang salah diantara kita,di keluarga kita."
"Elma-"
"Mengapa,ayah? Apa aku menyusahkan ayah?"
"Tidak,Elma."
"Lalu?"
Ayah menyentuh tanganku,membawaku pada peluk penuh ketenangan yang menyesakkan. Ketenangan selama ini yang mungkin saja,palsu.
"Ayah menikahi ibu setelah menikah dengan tante Laras."
Apa?
"Ayah mencintai ibu. Tidak ada pilihan lain karena ayah harus menikahi tante Laras. Apa salah?"
Aku mendorong ayah perlahan,
"Kalau begitu,aku dan ibu adalah kesalahan. Kami orang ketiga diantara ayah dan.. tante Laras itu."
Aku tidak bisa menangis. Air mataku terhenti seketika,dan yang ada adalah sesak mendalam,yang membuatku kemudian kesulitan bernafas.
"Tidak- ayah mencintai ibu. Hanya saja,saat itu ada satu hal yang harus ayah pertanggung jawabkan."
"Kamu tidak bisa seperti ini. Elma tidak mengerti apa-apa. Kita yang salah,aku,kamu,dan cinta kita." Ibu terdengar lirih,aku tahu ibu berusaha menahan tangisnya.
"Aku mengerti." Jawabku.
"Tidak,Elma."
"Ibu,aku mengerti. Tapi,tidak bisakah kita terus bersama?"
Ibu diam. Ayah memelukku kembali,
"Ayah akan selalu berusaha untuk kebersamaan kita. Meski harus melepaskan tante Laras,karena bukan cinta yang salah,tapi ayah."
Bukan cinta yang salah. Benarkah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...