Penghuni baru dirumahku

84 8 0
                                    

"Jadi ayah disini?"

Pelukan kami mengurai saat suara itu dengan lirih terdengar. Ayah bangkit dari duduknya,menyisakan aku dan ibu yang terdiam mematung.

"Kukira aku bisa mempercayai ayah." Lanjutnya dengan suara yang semakin memelan. Aku bangkit dibantu ibu.

"Kamu naik taksi? Sudah ayah bilang, jangan naik taksi sendiri." Suara ayah penuh penekanan,sarat dengan kekhawatiran. Sedikit,ada rasa tak rela di hati mengetahui bahwa bukan akulah satu -satunya putri ayah.

"Sekarang ayah peduli?"

"Apa maksudmu? Tentu saja ayah peduli, kamu-"

Ayah diam.

"Aku apa,ayah?"

"Kamu anakku."

Aku memejamkan mata, berharap rasa tak nyaman yang menyelimuti hati perlahan pergi.

"Ayah pergi di saat ibu sakit."

"Laras sakit?" Itu suara ibu. Kudengar perempuan itu mendengus keras,

"Kau peduli apa? Senang,bukan? Sebentar lagi mungkin kamu akan memiliki ayahku seutuhnya."

"Tidak. Tentu saja tidak." Ibu mengeratkan pegangannya pada bahuku.

"Cukup,Aima. Tidak ada yang tidak peduli disini. Kalian semua penting untukku."

Perlahan,kudengar suara segukan tangis di hadapanku,suara tangis yang mengandung kesedihan mendalam, yang teredam oleh kedua telapak tangannya. Aku-

"Jangan menangis. Maafkan ayah."

Kurasa ayah memeluknya,karena kini tak kurasakan ayah disampingku. Harusnya aku baik-baik saja,karena sama sepertiku, ia ingin dipeluk ayahnya.

"Kita jemput ibu,bagaimana?" Tawar ayah lagi,tapi dia masih menangis.

"Kita bisa sama-sama tinggal disini. Benarkan,Sayang?"

Ayah bertanya pada ibu. Ibu diam sebentar, kemudian mengangguk dengan tangannya semakin mengerat dibahuku.

"Tentu saja. Ki-kita bisa bersama disini." Suara ibu bergetar.

Aku duduk diam di atas sofa, sementara di hadapanku,ibu berjalan mondar-mandir tiada henti.

"Ibu."

Ibu berhenti.

"Ya,nak?"

"Kenapa ibu tidak duduk saja?"

Ibu duduk disampingku,menggoyangkan kedua kakinya.

"Ibu khawatir tante Laras akan memarahi ibu." Aku tersenyum menggenggam tangannya.

"Tidak akan. Aku yakin tante Laras orang yang baik."

"Begitu ya?" Aku mengangguk.

"Semoga saja. Tapi kenapa lama sekali ya? Mereka sudah pergi hampir 3 jam."

Aku mengerti kegelisahan ibu. Bagaimana mungkin,ia bersikap tenang-tenang saja saat laki-laki yang dicintainya pergi mengunjungi seseorang yang lain. Meski ikhlas sudah diucapkannya,bukan berarti semua telah selesai.

"Masakannya sudah dingin lagi. Elma lapar?"

Aku menggeleng.

"Belum."

"Elma bisa makan duluan kalau lapar."

"Nanti saja,bu."

Ibu berdiri kembali.

"Ibu akan memotong buah." Kemudian berjalan meninggalkanku dengan suara televisi yang pelan. Tak lama dari itu, suara dorongan pagar rumahku terdengar, disusul oleh klakson mobil ayah berkali-kali. Aku bangkit dari dudukku,kemudian berbalik menghadap pintu,tapi tidak bergerak menghampiri. Ibu datang dari dapur dan berdiri disampingku,lalu,bi Dita membuka pintu dan ayah masuk dengan kedua orang lainnya.

"Ini rumah kita sekarang." Ucap ayah pelan,kurasa pada tante Laras. Tapi setelah cukup lama,aku tidak mendengar suara jawabannya. Ibu bergerak menghampiri,

"Kuharap,kamu betah disini." Ibu berucap lembut, "ah,ini anakku,Elma." Ibu menarik tanganku,aku mendekat dan menjulurkan tangan.

"Menunduklah sedikit,sayang." Ucap ayah. Dengan bantuan ibu,aku sedikit menunduk dan meraih tangan tante Laras. Ia duduk di atas kursi roda,persis seperti kata Aima yang mengatakan ibunya sedang sakit.

"Elma,tante." Aku mengenalkan diriku, tangan tante Laras yang bebas mengusap lenganku pelan.

"Dia mirip dengan Aima,benar,kan?" Untuk pertama kali kudengar suara tante Laras yang lembut. Aku tersenyum.

"Mereka bersaudara,sudah sepatutnya mereka mirip. Bagaimana kalau kita makan sekarang?" Ayah berucap kembali, membuat tante Laras melepaskan genggamannya pada tanganku.

"Aku ingin ke kamar mandi." Aima berucap kemudian berlalu tanpa menunggu jawaban dari siapapun.

Kurasa ia tidak menyukai pilihan ini, atau, hanya perasaanku?

Makan siang yang baru bagiku, karena ada tambahan lagi yang memenuhi kursi makan. Menyenangkan mendengar bagaimana para ibu-ibu bercerita tentang kebiasaan ayah sejak dulu. Sesekali aku tertawa,membuat ayah kesal dan menggerutu. Hanya Aima yang diam dan memainkan makanannya,tidak ada tawa pada dirinya. mungkin ia sedang tidak bersemangat.

"Sudah. Ayo istirahat,sudah malam." Ayah menghentikan percakapan di meja makan. Yang lalu disetujui ibu dengan mulai membereskan sisa-sisa makanan dan pirjng kotor. Tante Laras menolak untuk beristirahat lebih dulu,dan memilih membantu ibu dan bi Dita.

"Tidak apa-apa,kalian tidur bersama?" Ayah bertanya,mungkin padaku dan Aima. Aku mengangguk tersenyum dan Aima hanya menggumam.

"Besok ayah akan bereskan kamar untuk Aima."

"Tidak usah dibereskan,tidak apa-apa."

"Tapi kamarnya sering digunakan untuk menyimpan barang-barang yang tidak dipakai. Kamu alergi debu,jadi ayah harus membereskannya."

Aima menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Jadi aku tidur di gudang?"

"Bukan gudang,itu kamar,hanya-"

"Sama saja,kan? Gudang." Aima terdengar jengkel,jadi sebelum ia marah,aku memutuskan sesuatu,

"Kamu bisa tidur di kamarku. Dan aku akan tidur di kamar yang akan dibereskan ayah."

"Baguslah."

"Benar tidak apa-apa?" Ayah menyentuh tanganku.

"Tidak apa-apa ayah. Kan Kak Aima alergi debu."

Ayah menarik nafas,

"Baiklah. Besok kita akan beres-beres,untuk sekarang kalian tidur bersama dulu. Ayo Elma,tunjukkan kamar kalian."

Aku bangkit mendorong kursi dan berjalan perlahan,kurasakan Aima mengikutiku dari belakang. Satu demi satu aku menaiki tangga hingga sampai di atas dan memegang handle pintuku.

Aku masuk bersama Aima,setelah menutup pintu kembali,aku berjalan dan duduk di sisi ranjang besarku. Aima berkeliling sebentar sebelum berdiri di hadapanku dengan berkacak pinggang, kurasa.

"Dengar ya,Elma," ia menarik nafas panjang,membuangnya malas, "Aku sama sekali tidak ingin berbagi tempat tidur denganmu. Apalagi berbagi ayahku."

Aima bergerak,aku menegang di atas ranjangku.

"Kalau saja ibu tidak memintaku ikut dengannya,mungkin sekarang aku sedang menikmati ranjangku sendiri. Tapi aku tidak bisa menolak keinginan ibu. Terutama membiarkan ayah dimilikimu dan ibumu."

Aku diam menahan gejolak panas didalam dadaku yang merambat ke bagaian belakang mataku,

"Kau," telunjuknya menekan dadaku, "Selamanya hanya akan menjadi perusak bagiku."

Dan selanjutnya ia meninggalkanku sesak. membuat air mata yang kutahan perlahan jatuh membasahi pipi.

Apa salahku?

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang