Aku duduk dengan ayah disamping kananku, mengoleskan sedikit betadine pada luka di sikuku. Dihadapanku,di seberang meja,Aima duduk dengan tenang,dan tante Laras berdiri menghadapnya dengan semburan kemarahan yang tidak reda sejak 15 menit lalu.
"Sudah,Aima pasti tidak sengaja." Ibu menengahi pertengkaran ibu dan anak itu. Tante Laras berdecak,
"Aima tetap saja harus hati-hati. Ia mencelakai Elma!"
"Bu!"
"Aima,jangan berbicara dengan nada seperti itu pada ibu!"
"Bu,ibu kenapa sih? Kenapa jadi belain si buta itu? Siapa anak ibu?"
"Aima,cukup." Ayah berdiri dari duduknya. "Elma saudaramu,jangan bersikap seperti itu."
"Jadi,sekarang ayah dan ibu lebih menyayangi dia?"
Ayah menghela nafas sedih,
"Aima dan Elma sama-sama anak ayah, tidak ada satu diantara yang lain yang paling ayah sayang. Ayah mencintai kalian berdua. Mengapa kamu merasa harus menyingkirkan Elma?"
Aku menunduk. Mengapa?
"Karena... kalau tidak ada dia,kita akan bersama ayah!"
"Kita bersama sekarang Aima!"
Aima menggeleng. "Bukan kebersamaan seperti ini yang aku inginkan,ayah. Aku hanya ingin ada aku,ayah dan ibu saja!" Suara Aima terdengar bergetar. Ibuku duduk memeluk bahuku,mengusapnya pelan.
"Ayah..." Aima mulai terdengar merengek.
"Aima,jangan merasa kekurangan kasih sayang ayah. Kamu dan Elma yang paling ayah sayangi."
Hatiku menghangat. Ayah benar,tidak perlu merasa kekurangan kasih sayang ayah,meski kini ada Aima disini. Dan rasanya melegakan,mengingat bagaimana kami -aku dan Aima- sama sekali tidak kehilangan ayah. Aku tersenyum kecil.
"Kak Aima tenang saja,aku tidak akan merebut ayah seperti yang ditakutkan kak Aima."
Ibu mengecup kepalaku.
"Tuh,dengar kata Elma."
Aima diam saja.
"Sudah,jangan menangis. Sini ibu peluk." Tante Laras memeluk Aima.
"Bagaimana kalau malam ini,kita pesta barbeque dibelakang?" Saran ibuku, yang langsung disetujui oleh ayah dan tante Laras. Aku ikut mengangguk antusias.
"Bagaimana Aima?" Tanya ibuku,
"Terserah." Jawabnya kemudian meninggalkan kami.
"Ajak Gatra dan Delisa. Biar ramai." Saran ibu,aku mengangguk dan beranjak ke kamar baruku.
◾
Pukul lima sore,Delisa memarkirkan mobilnya di halaman rumahku. Tangannya membawa kresek berisi camilan saat aku menyambutnya di pintu, kebiasaan Delisa yang sulit dihilangkan.
"Snack?"
"Haha.. tentu saja."
"Kamu pasti akan mengotori kasurku."
Aku meraih lengannya,lalu berjalan bersama menuju kamar baruku.
"Lho,kok kesini? Kan kamarmu disana."
Delisa sedikit memelankan jalannya,namun aku terus menariknya. Saat sampai di pintu di sisi kanan pintu kamar lamaku,aku mendorongnya pelan.
"Ini kamar baruku."
"Yang itu?"
"Jadi kamar kak Aima. Nanti aku kenalkan ya?"
"Jadi kalian tidak tidur bersama?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...