Tidak mengenal

78 8 0
                                    

Aku bangun pukul empat pagi,saat Delisa dan Lila masih tertidur pulas dengan tubuh saling menindih. Bangun terlalu pagi seperti ini sedikit membuatku sakit kepala,apalagi semalam, setelah pertemuanku dengan Angga dihalaman depan,aku tidak bisa tertidur dengan pulas. Tidak,bukan karena ciuman hangat itu,melainkan karena ucapan Angga. Aku pikir,dia hanya ketakutan menyakitiku,karena dari sifat dan sikapnya,aku yakin tidak sedikitpun yang menunjukkan bahwa Angga akan melakukan itu.

Aku meneguk sisa tehku,kemudian beranjak untuk membuat sarapan sebelum mandi. Aku tidak bisa tidak pergi ke tempat kursus hari ini, Lila pun demikian. Dengan terpaksa aku dan Lila akan membuat Delisa sendirian dirumah. Tapi aku yakin itu tidak akan menjadi masalah untuk Delisa.

Dua jam kemudian aku keluar dari kamar dan menemukan Delisa berdiri bersandar pada meja makan,dengan muka bantal mencomoti sedikit-sedikit omellete yang kubuat tadi. Aku tersenyum dan menghampirinya,membuat Delisa mengangkat wajah menatapku.

"Nggak ke kamar mandi dulu?" Tanyaku.

"Ada Lila. Aku menunggu giliran."

Aku menarik kursi dan duduk setelah meletakkan tas di samping kursi.

"Aku akan pergi sebentar ke tempat kursus, kemudian membeli beberapa peralatan melukis yang sudah mulai habis." Aku menatap jam dinding, "kira-kira aku akan kembali pukul satu. Kamu tidak apa-apa,kan,sendirian dulu?"

Delisa ikut menarik kursi dan duduk, memperhatikan tanganku yang mengambil nasi dan lauknya untuk sarapan.

"Gapapa. Tapi kita jadi pergi ke candi,kan?"

Aku menelan nasi dimulutku sebelum menjawabnya. "Hari ini?"

"Iya, besok sore aku sudah harus pulang."

"Aku kira kamu akan lama disini."

Delisa mengangkat bahu, "Inginnya begitu. Tapi realita menunggu. Oh ya,kamu akan pulang,kan?"

Aku diam.

"Ibumu pasti rindu."

Aku tidak menjawabnya,hanya fokus pada nasi dihadapanku.

"Kamu tidak perlu menghindar lagi,dia tidak akan ada disana dan bertemu denganmu."

Aku menatap Delisa, "Tentu saja aku akan pulang. Aku juga rindu ibu."

Delisa tersenyum, "Baguslah,sudah saatnya berlari kan? Kamu sudah punya seseorang untuk di gandeng."

Aku beranjak meminum air putih dan susuku secara bergantian,kemudian berdiri meraih tasku.

"Aku akan menelpon ibu nanti. Bilang pada Lila untuk tidak lupa menyimpan makanan,aku takut kamu kelaparan." Aku meraih sepatuku dan berjalan ke arah pintu keluar, "Aku pergi dulu, agar pulang lebih cepat."

Delisa menatapku dari ambang pintu saat aku mulai berjalan dan melambaikan tangan padanya.

***

Siang sudah hampir melewati puncaknya saat aku duduk diam memperhatikan Angga. Kami berada di kantin kampus Angga,dia menjemputku di tempat kursus satu jam yang lalu,kemudian membawaku ke kampus karena katanya ada urusan mendadak. Aku tersenyum saat Angga menggulung tangan sweater-nya hingga siku, lalu kedua tangannya sibuk mencomoti ayam dipiringku dan piringnya sendiri. Dia seperti tidak pernah malu melakukan apapun di hadapanku. Tidak seperti aku yang menjaga setiap tingkah ketika didekatnya.

Angga adalah anak pertama dari tiga bersaudara, kedua adiknya perempuan, mungkin itu alasan yang cukup masuk akal mengapa hidupnya begitu teratur. Angga dewasa, siapapun dapat melihatnya,entah dari penampilan ataupun perbuatan. Terlebih dari semua itu,Angga adalah sosok yang pengertian dan penyayang,dia bisa berhenti kapan saja saat melihat anak kecil menangis di pinggir jalan, atau melihat seorang wanita renta hendak menyebrang. Aku menemukan banyak cara untuk bahagia dari diri Angga. Mungkin karena dia selalu terlihat bahagia,dengan cara apapun, sederhana maupun mewah,biasa atau luar biasa, dan aku mencintainya.

Ah,mencintainya.

Itu adalah alasan,mengapa aku selalu merasa bahagia saat berada didekatnya,merasa utuh saat genggaman tangannya menghangat,dan perasaan lain yang selalu kurasa saat ada Angga.

Gerakan Angga yang tiba-tiba membuat gelembung lamunanku pecah,dia berdiri dan menggeser kursinya untuk kemudian berjalan pada salah satu stand makanan yang kami pesan. Aku memperhatikannya. Dia tampak tertawa oleh ucapan yang dikatakan si pedagang, lalu menyodorkan uang dan mengatakan untuk mengambil uang kembaliannya. Angga kembali padaku dengan satu botol minuman berasa di tangan.

"Pulang sekarang?"

Aku menatap tas kertas disampingku,yang menyembunyikan peralatan melukis baru didalamnya. Aku kembali menatap Angga,

"Pulang saja. Aku tidak perlu membelinya karena kamu sudah membeli. Terimakasih ya, biar kuganti uangnya."

Angga melambaikan tangannya didepan wajahku sembari menggeleng.

"Tidak usah,aku memang mau membelinya untukmu. Kebetulan saja bertepatan dengan kamu yang ingin membelinya."

Aku tersenyum dan mengangguk, kemudian meraih uluran tangannya setelah membawa tas dan pemberian Angga tadi. Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir kampus dengan tangan Angga yang masih menggenggam tanganku,sesekali,dibawanya tanganku pada bibirnya untuk diberikan kecupan singkat. Aku menunduk,mengabaikan senyuman mautnya.

Di sepanjang perjalanan, banyak perempuan dan laki-laki yang menyapanya, melambaikan tangan atau sekedar bertanya. Tampaknya Angga adalah sosok yang terkenal dikampusnya, entah karena prestasi atau tampang yang dimiliki,tapi menurutku alasannya adalah karena Angga memiliki keduanya.

Aku masuk setelah Angga membukakan pintu mobil,lalu menatapnya berkeliling untuk sampai disebelah kemudi.

"Kamu ada acara dengan temanmu?"

Aku menatap Angga dan mengangguk meski ia tak melihatnya.

"Delisa ingin ke candi. Kamu mau ikut? Kamu belum pernah berkenalan dengannya karena sibuk terus,padahal Delisa akan pulang besok."

Angga menatapku,mengulurkan tangannya untuk mengusap kepalaku singkat.

"Maaf,belakangan memang banyak acara. Kamu dengar sendiri tadi,aku di telpon untuk kembali ke kampus,aku lolos karena mengatakan akan mengantarmu pulang. Setelah itu,aku harus kembali ke kampus."

Aku diam.

"Jangan marah. Kita bisa pergi ke Jakarta dan menemui temanmu itu disana,dan aku bisa berkenalan dengannya."

Aku menarik napas dan mengangguk,lagi.

"Kamu harus meluangkan waktu untuk itu."

Angga tertawa ringan, "Tentu saja aku akan melakukannya. Untukmu."

Mobil berhenti lima belas menit kemudian didepan rumah,aku menatap Angga dan meraih bawaanku sebelum keluar. Aku menutup pintu kembali dan berjalan memasuki area rumah kontrakku,namun saat akan meraih handle pintu,suara Angga memanggilku,membuatku urung melakukannya dan kembali menatap Angga. Angga berjalan tergesa mendekat, dan mengulurkan jaketku.

"Ketinggalan."

Aku meraihnya. "Makasih,aku lupa."

Angga mendekat dan mengecup pipiku, kemudian berbalik berjalan menuju mobilnya lagi,bertepatan dengan terbukanya pintu dibelakangku.

"Dia pacarmu?"

Aku menatap Delisa yang menatap lurus pada punggung Angga yang menjauh.

"Iya."

"Kenapa tidak masuk dulu?"

"Dia buru-buru."

Delisa diam,hingga Angga masuk dan mulai menjalankan mobilnya menjauh.

"Aku seperti mengenalnya,El."

Aku menatap Delisa, "Kamu belum bekenalan,kan? Bagaimana bisa kenal."

Dan aku meninggalkan Delisa didepan rumah.

.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang