Mendua

116 9 0
                                    

"Mengisi kekosongan,Gatra?"

Kurasakan pergerakan Gatra disampingku. Aku hanya duduk diam, kemudian mendengar suara wanita itu tertawa,pelan dan lembut,diiringi suara helaan nafas Gatra.

"Hai,Sa." Gatra menyapanya.

"Senang bertemu denganmu lagi,Gatra." Suara wanita itu terdengar menakutkan, "Hanya saja,kurasa di waktu yang tidak tepat."

"Tidak ada waktu yang tidak tepat."

Wanita itu diam. Gatra diam,begitu juga aku. Tidak ada yang berbicara hingga beberapa menit,sampai kudengar suara wanita itu kembali terdengar,

"Ternyata benar yang kudengar. Kamu dengannya,dan melupakan Aima." Kurasakan wanita itu menatapku, "Apa karena mereka mirip?"

"Tidak,Lisa." Suara Gatra pelan,

"Dia mirip dengan Aima."

"Tidak." Ada apa ini?

"Gatra,"

"Kamu tidak tahu apa-apa,Lisa. Aima dan Elma berbeda."

"Kamu bicara seolah hatimu yang menginginkannya,tapi nyatanya tidak seperti itu. Aku tahu,kamu masih mencintai Aima,karena kalau tidak,kamu tidak akan mencintai dia." Aku yakin 'dia' yang dimaksud adalah aku. Kemudian aku beranjak dari duduk,

"Emh,Gatra,aku ingin pulang." Ucapku pelan,Gatra menyentuh lenganku, "disini sudah mulai dingin."

"Kita pulang sekarang."

Aku mendahului Gatra,sedikit demi sedikit melangkahkan kaki dengan baik agar tidak membuat tubuhku limbung kehilangan keseimbangan. Aku tidak tahu siapa wanita bernama Lisa itu,dan apa urusannya dengan Gatra. Dan,siapa Aima? Mendengar dari percakapan Gatra dan wanita itu,aku bisa menangkap bahwa wanita bernama Aima pernah memiliki posisi khusus di hati Gatra,sebelum ada Aku.

Mendadak,ada sakit yang terasa di dasar hatiku. Aku tidak tahu jelas apa yang terjadi,dan untuk sakit hati,harusnya aku mengetahui semuanya secara menyeluruh. Tidak hanya menyimpulkan dari apa yang kudengar saja. Mungkin aku harus menanyakannya pada Gatra,tapi tidak sekarang. Aku ingin pulang.

"Elma.." Gatra menyentuh lenganku, menuntunku untuk sampai di mobilnya. Aku hanya diam saat mobil telah melaju meninggalkan komplek dan wanita bernama Lisa itu. Tidak butuh waktu lama,karena jarak yang hanya sedikit itu. Mobil Gatra berhenti dihalaman rumahku,tanpa menunggunya aku membuka pintu sendiri.

"Kamu baik-baik saja?"

Gatra menghampiriku yang sudah berdiri menutup pintu mobil.

"Memangnya aku kenapa?" Gatra diam sejenak.

"Elma-"

"Aku masuk dulu,Gatra." Aku berbalik mengabaikan ucapannya. Ketika Gatra akan membantuku,aku menolaknya dan menaiki anak tangga didepan rumahku dengan hati-hati.

"Elma.."

Aku berhenti berjalan,tanpa berbalik menghadap Gatra yang berdiri dibelakangku.

"Ya?"

"Kita harus bicara."

"Kita sedang bicara sekarang."

"Maksudku,tentang Lisa,dan Aima."

Aku diam.

"Mereka hanya-"

"Gatra?" Aku memotong ucapannya.

"Ya?"

Tiba-tiba aku diselimuti kesedihan, tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam hubunganku dengan Gatra.

"Aku masuk. Selamat malam."

Gatra menarik nafas pelan sebelum menjawab,

"Selamat malam,Elma."

Dan aku meninggalkannya dibawah langit malam dan tiupan angin lembab.

***

Aku tiba-tiba terbangun, membuka mataku di pagi yang cerah di awal bulan Februari. Terasa hangat di dalam balutan selimut tebal beraroma pencuci kesukaan Ibu. Aku menghela nafas, sedikit kelelahan menghadapi perasaan tidak enakku sejak pertemuan dengan wanita bernama Lisa tiga hari yang lalu. Perasaan yang sampai saat ini membuatku sedikit malas menemui Gatra, yang hampir setiap malam mampir meski hanya untuk mengantarkan makanan yang dibelinya.

Bahkan,sedikit lebih banyak,aku mulai perlahan memikirkan kisahku dengan Gatra. Rapunzel yang bertemu pangerannya. Atau apapun itu sebutannya. Aku mulai pada kesadaranku, tentang bagaimana anehnya "hubungan" kami. Sebelumnya,aku memang tidak pernah merasakan,bahkan dekat dengan seseorang yang menjurus pada masalah hati. Maka,baik,boleh sebut aku murahan karena langsung melemparkan diri pada Gatra,ketika laki-laki itu menawarkan bahagianya menjadi sepasang kekasih. Karena ini,bagiku,adalah yang pertama.

Selama ini aku tidak menanggapi,bisikan buruk orang lain,seruan jahat sisi gelap dalam diriku,apapun yang menyangkut hubunganku dengan Gatra karena mungkin aku sedang teramat dalam jatuh pada kata cinta yang di sodorkan Gatra padaku. Tapi kali ini,saat aku telah terbiasa dengan keadaan ini,aku mulai memikirkan keuntungan apa yang Gatra dapat dari berhubungan denganku.

Tapi,nyatanya aku tidak memberi keuntungan apapun untuknya. Yang ada aku hanya semakin membuatnya sulit, merepotkan. Atau mungkin,wanita bernama Lisa itu benar akan satu hal : Aku mirip seseorang di masalalu Gatra. Kebersamaanku dengan Gatra hanya upaya laki-laki itu mengisi kekosongan yang... Aima ciptakan. Entah sejak kapan. Kalau benar,jahat sekali rasanya. Ah,tapi, kalaupun begitu,aku tidak akan pernah bisa benar-benar marah dan benci padanya. Karena mungkin saja,aku mencintainya dengan melebihi kata sangat.

Samar-samar,kudengar seruan keras dari lantai bawah rumahku. Entah apa yang terjadi,namun itu membuat perasaanku menjadi tidak enak. Perlahan,aku menginjakkan kedua kaki pada lantai dingin disamping ranjangku. Beranjak perlahan dan membuka pintu. Tidak berniat melanjutkan langkah,karena tiba-tiba,suara ibu terdengar memilukan, membuat kedua kakiku terasa tertahan di tempatnya berpijak,

"Pergilah. Setelah apa yang kamu katakan, aku tahu,bahwa sekarang,bahagiamu bukanlah aku dan Elma lagi."

Aku meremas jariku. Menajamkan telinga untuk mendengar kelanjutan percakapan ibu dan ayah dibawah sana.

"Kamu tidak bisa menyakiti kami secara bersamaan. Melukai mereka,dan melukai pernikahan kita." Siapa mereka yang ibu maksud? "Kalau kamu tidak bisa memilih,biar aku yang memilih. Dan aku memilih-"

"Tidak. Sudah aku jelaskan semuanya. Aku tidak bisa kehilangan kamu dan Elma-" Ayah memotong ucapan ibu yang lantas dipotongnya kembali,

"Tapi tidak bisa kehilangan mereka?" Ibu nyaris berteriak namun aku tahu,ayah pasti memeluk ibu untuk menenangkannya.

"Kamu tahu kamu jahat?" Suara ibu bergetar,menandakan bahwa ia sedang menangis.

"Aku tahu. Maaf."

Ada apa ini?
Tanpa sadar,kedua telapak tanganku berkeringat. Basah dan dingin. Tubuhku perlahan duduk bersandar pada kusen pintu kamar,masih berusaha mendengar percakapan ayah dan ibu dibawah sana.

"Kamu tidak bisa menduakan. Apalagi sampai-"

Menduakan? Ayah? Aku tidak mendengar ucapan lanjutan ibu. Karena yang kutahu, telingaku mendengung,dan panas dikedua mata mulai menyebar pada seluruh permukaan wajah,memberi sinyal pasti untuk kemudian membuat jantungku berdebar keras. Dan yang kutahu selanjutnya adalah,ada sakit yang tergores di dalam hati,diiringi jatuhnya air mata di kedua pipiku..

Sakit itu..

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang