Hujan deras yang mengguyur kota membuat sebagian penduduk hanya diam dirumah. Termasuk aku dan Lila, yang ketika hujan turun dari sore kemarin hingga sore ini,hanya menghabiskan waktu berselimut didepan televisi. Rencananya,hari minggu ini aku dan Lila akan pergi berbelanja peralatan melukis, tapi berhujan-hujanan bukanlah ide yang bagus.
Aku menarik selimut yang menggulung diantara kedua kakiku dan Lila untuk menutupi seluruh tubuh yang mulai kedinginan tertiup angin. Sela-sela pintu dan jendela tidak bisa menghalanginya masuk.
Lila berdiri dari duduknya,kemudian berjalan ke arah dapur dan kembali beberapa detik kemudian tanpa membawa apa-apa.
"Tidak ada makanan lagi di kulkas. Kita harus membelinya."
Aku menatap jendela,kemudian menatap Lila,
"Tapi hujan masih deras."
Lila ikut memperhatikan jendela.
"Tapi ini sudah mau malam, mungkin juga hujan tidak akan berhenti sampai besok."
Lila meraih jaket tebalnya yang tergeletak di atas kursi dan memakainya.
"Aku yang akan membelinya," Lila berjalan ke arah pintu utama,aku mengikutinya. "Kamu pesan makanan panas deh,buat makan malam, kita gak usah masak."
Aku mengangguk.
"Kunci pintu,jangan buka kalau kamu tidak kenal."
Aku tertawa ringan,Lila benar-benar menuruti kemauan Angga.
"Iyaaaa."
"Aku pergi dulu."
Kemudian Lila berjalan menembus hujan, membiarkan kedua kaki jenjangnya yang tidak terbalut celana panjang, basah oleh genangan-genangan air. Aku berbalik menutup pintu setelag Lila hilang dari pandangan. Meraih ponsel untuk memesan makanan sesuai dengan perintah Lila tadi.
Lila adalah teman yang baik. Aku menyukainya saat baru pertama bertemu,dia dengan senyum lebarnya mampu membuat siapapun yang melihat akan tertarik. Entah bagaimana awalnya,tapi kami begitu dekat hingga memutuskan untuk tinggal bersama,disini,di rumah yang kami sewa dan bayar berdua. Aku bahkan pernah membawanya ke Jakarta, bertemu Delisa dan Ezra. Yang kemudian membuat kami berempat amat dekat.
Lila mudah disukai. Dia berteman dengan banyak orang,yang kemudian menjadi berteman denganku. Bertemu dengan Lila adalah hal yang patut di syukuri,berkat dirinya,aku menjadi sosok yang baru. Lila mendorongku menjadi pribadi yang percaya diri,tidak malu dan banyak lagi. Dia mirip seperti Delisa. Dan aku mencintai keduanya.
Jariku baru saja selesai memesan dua porsi sup ayam saat ketukan di pintu membuatku sedikit terkejut. Aku menatap pintu dengan enggan,tapi berdiri beberapa detik kemudian saat ketukan itu tidak kunjung berhenti.
"Siapa disana?" Ucapku tanpa membuka pintu.
"Ini aku,El."
Setelah mendengar suara yang begitu kukenal, aku memutar kunci dan membuka pintu yang menyembunyikan sosok Angga dibaliknya,dengan sebuah jinjingan di tangan kanan. Aku menatapnya,kemudian naik pada rambut pendeknya yang basah,dengan spontan tanganku bergerak menyentuh jaket yang dikenakannya. Basah.
"Kamu hujan-hujanan?"
"Dari depan." Jawabnya sambil mengacak rambut.
"Masuk."
Angga melangkah masuk lalu meletakkan bawaannya di atas meja.
"Kamu buka jaketnya," aku berjalan ke arah kamarku, "Simpan disana saja."
Aku meraih sweater milik Angga yang pernah kupakai dari balik pintu,tergantung sejak terakhir aku memakainya. Saat keluar kamar,aku sudah menemukan Angga duduk manis di atas sofa yang semula kududuki, tangannya sibuk memindahkan chanel tv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...