Aku mengembalikan ponsel kedalam tas dipangkuanku setelah memeriksa tiket kereta secara online. Aku akan pulang. Tidak untuk kembali,hanya memenuhi janjiku pada Aima tadi siang. Aku tidak tahu mengapa merasa senang saat mendengar Aima dilamar,dan bukan Gatra lah sosok laki-laki itu. Mungkin karena pada akhirnya kami,aku dan Aima,tidak memilikinya.
Benar. Dan mungkin saja,jika akhirnya Aima bersama Gatra,dia tidak akan menghubungiku seperti siang tadi,mengobrol dan mengabarkan bahagianya. Dia mungkin akan diam,hingga aku tahu dengan sendirinya. Aku tidak tahu mengapa Aima tidak berakhir dengan Gatra, padahal saat Gatra bersamaku,Aima sangat berusaha keras untuk mendapatkannya,seolah melukaiku,saudaranya,bukanlah apa-apa.
Hujan turun dengan deras,membasahi kaca mobil taksi online yang kupesan untuk pulang kerumah. Membuatku menyandarkan kepala dan menatap ke arah langit yang menghitam. Memejamkan mata,aku membayangkan betapa banyak kenangan bersama Gatra. Meski aku tidak mengenal wajahnya,meski yang kudapat selama bersamanya hanya kepura-puraan,tetap saja,aku mengingatnya. Karena aku menggunakan hatiku.
Gatra. Entah dibelahan dunia mana dia berada, namanya tetap diingatanku,suaranya mengiang digendang telingaku,sentuhannya terasa dikulitku. Aku,entah mengapa,merasa merindukannya. Sangat rindu hingga sesak, sangat ingin bertemu dengannya hingga sakit rasanya.
Gatra. Apa dia masih mengingatku?
Ah,mungkin benar yang dikatakan Delisa, sesuatu mungkin akan jadi lebih berarti setelah kehilangan. Apanya yang lebih berarti? Tidak ada. Semua hanya menjadi kenangan,yang perlahan,cepat atau lambat akan terlupakan. Semua hanya menunggu waktunya,kan?
Aku membuka mata saat mobil berhenti bergerak,dan menemukan kami telah sampai didepan rumah. Aku mengulurkan uang dan keluar dengan tergesa,menyembunyikan tangis dari bapak mengendara mobil yang menatapku heran.
Didepan pintu,kutemukan Angga berdiri kaku,menungguku. Senyumnya selalu mengembang,seperti biasanya,membuatku menghentikan langkah tepat saat jarak kami hanya tersisa satu meter. Angga tidak bergerak,ia menungguku.
"Kamu sudah lama?"
"Tidak. Kamu langsung dari tempat kursus?"
"Heem."
Aku merogoh tas,mengeluarkan kunci rumah dan berjalan melewatinya, memasukan dan memutar kunci. Mendorongnya hingga terbuka lebar.
"Masuklah."
Angga yang kutatap,hanya diam menatapku. Senyumnya telah hilang,hanya dihiasi ringisan tidak jelas yang tak pernah kulihat dari wajahnya.
"Tidak usah,sepertinya kamu lelah."
Aku diam. Angga mengangkat tangan kanannya yang menggenggam kresek bertuliskan nama salah satu restorant ternama. Aku menerimanya.
"Ini, kamu makan saja,lalu istirahat. Aku akan pulang."
Aku tidak menjawab. Hanya menatap Angga yang kemudian berjalan mundur dan melambaikan tangan,berbelok hingga hilang dari pandanganku. Aku memasuki rumah, menghempaskan tubuh ke atas sofa dan bersandar. Menatap kresek pemberian Angga,aku merasa bersalah telah bersikap dingin padanya. Itu mungkin semua gara-gara ingatanku pada Gatra. Padahal Angga tidak bersalah apapun,aku melampiaskan sedihku karena Gatra pada Angga.
Aku meraih kresek tersebut,membukanya dan menemukan dua porsi sop buntut hangat lengkap bersama nasinya. Angga tidak pernah sekalipun lupa,kalau aku selalu melewatkan makan malamku karena terlanjur lelah,setiap hari,ia mengirim apapun yang bisa kumakan. Dan sikapku tadi,sungguh tidak baik untuk membalasnya.
Aku merogoh tas meraih ponselku,mengetikkan permintaan maaf telah bersikap dingin padanya,dan menjelaskan bahwa aku hanya kelelahan,yang tidak dibalasnya meski aku telah beranjak untuk tidur dua jam kemudian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...