Ciuman hangat

76 12 0
                                    

Aku,Delisa dan Lila menghabiskan hampir satu hari penuh di mall dihari kedua Delisa di Jogja,dimulai dari menonton bioskop hingga bermain di time zone selama berjam-jam. Kedua betis dan pahaku terasa pegal luar biasa,tapi kedua sahabatku ini,tampak masih ceria dengan tawa kerasnya.

Hari sudah mulai malam saat kutengok lewat dinding kaca disebelah kananku,hujan masih dengan awet turun membasahi kota. Mungkin akan menunda rencana kami untuk pulang. Aku beralih menatap piring kosong dihadapanku, lalu ponsel disebelahnya yang masih padam sejak dua puluh menit yang lalu. Aku meraihnya,menyalakan dan menengok kotak pesan. Tidak ada pesan satupun,Angga tidak menghubungiku.

"Aku ke toilet sebentar." Ucapku, membuat Lila dan Delisa menatap dan mengangguk.

Aku berjalan menggenggam ponsel dan tas di kedua tanganku,lalu berhenti tepat di lorong menuju toilet. Aku tidak butuh toilet,aku hanya ingin menghubungi Angga. Setelah suara deringan keempat berhenti,digantikan suara berat milik Angga disana,aku menarik napas.

"Hallo?"

"Angga?"

"Ya,El? Kenapa?"

"Kamu tidak mengubungiku."

Angga diam sejenak,kemudian tertawa samar.

"Aku kira kamu tidak akan senang kalau aku mengganggu acara kalian. Bukankah kemarin kamu bilang akan ke mall?"

"Hmm.."

"Jadi,sekarang kamu di mall?"

"Iya."

Angga menarik napas, "Baiklah. Maaf karena tidak menghubungimu. Aku hanya takut mengganggu."

Aku diam.

"Elma?"

Aku diam.

"Sayang?"

Aku memejamkan mata. Merasakan panggilannya.

"Maafkan aku,oke?"

"Iya. Aku matikan ya?" Dan aku menjawab pada akhirnya.

"Iya. Eh,tunggu-"

"Kenapa?"

Angga terdiam sejenak, kemudian berkata "Aku cinta kamu. Sungguh,dari dulu."

Dan mau tidak mau,aku menarik kedua sudut bibirku untuk tersenyum,mengimbangi perasaanku yang menghangat.

"Terimakasih,Angga." Dan aku menutup panggilannya.

Aku terdiam beberapa saat memperhatikan ponselku yang telah gelap,lalu memasukkannya kedalam tas yang kubawa ditangan kiriku. Aku berjalan meninggalkan lorong toilet menuju tempat dimana Delisa dan Lila berada. Namun saat berbelok ke arah kiri,mataku menangkap satu pergerakan dibalik tembok sebelah kanan yang membuatku otomatis berbalik untuk mengetahuinya. Kalau aku tidak salah,seorang laki-laki dengan sweater hitam dan celana jeans abu-anu pendek. Aku terdiam menatap kedua sepatuku,tak lama untuk kemudian mengangkat kembali wajah menatap tembok itu,dan tepat, dengan dia yang berusaha menyembunyikan tubuhnya. Aku berjalan mendekat,dia jelas saja memperhatikanku,karna kalau tidak,untuk apa bersembunyi saat aku menatapnya?

Hanya tersisa beberapa langkah untuk sampai ditempatnya saat kudengar suara Delisa dan tepukan tangannya dibahuku,aku berbalik menatapnya. "Lama sekali. Ayo."

Aku mengangguk,berbalik menatap dan hanya menemukan punggung laki-laki itu yang menjauh. Siapa dia?

***

Aku tidak tahu mengapa aku harus berpikir bahwa,laki-laki yang menatapku dibalik tembok dekat lorong toilet mall adalah Gatra. Namanya terlintas begitu saja saat aku menatap punggung lebarnya yang menjauh. Terlihat begitu kokoh. Tapi aku tidak tahu apakah Gatra memiliki punggung seperti itu saat ini? Bertahun-tahun sudah berlalu begitu saja,Gatra mungkin saja sudah berubah,seperti aku.

Mengapa terlintas seperti itu,mungkin karena sebelumnya Delisa mengatakan soal keberadaan Gatra. Aku memang sempat berpikir bahwa Gatra bisa saja muncul dihadapanku selama ini, ketidak tahuanku pada Gatra mungkin membuatku tidak menyadari kehadirannya.  Aku tidak mengatakan,atau bahkan tidak akan mengatakannya pada Delisa bahwa aku merasa Gatra menemuiku secara diam-diam saat di mall sore tadi. Aku mungkin akan memberitahunya jika nanti,kecurigaanku benar.

Aku menarik tubuhku untuk duduk, bersandar pada sofa dibelakangku. Kami bertiga sampai dirumah sekitar dua jam lalu,saat jam dinding menunjukkan pukul jutuh malam,kemudian memutuskan untuk tidur bertiga di depan televisi dengan beralaskan karpet tebal yang dibawa Lila dari rumahnya saat pindah bersamaku. Aku menatap Delisa,kemudian beralih pada Lila yang tertidur pulas. Memikirkan begitu banyak hal yang mereka berdua lakukan untuk membuatku melupakan Gatra. Lila,yang tidak mengetahui kisahku dengan Gatra,berusaha keras membuatku lupa dengan mendekatkanku pada Angga. Dan dia berhasil sekarang. Upaya keduanya membuatku terharu,karena aku kini telah lupa.

Tring.

Aku beralih menatap ponselku yang menyala, menunjukkan sebuah pesan telah kuterima. Aku meraihnya,membuka pola kunci dan membuka pesan tersebut. Dari Angga.

Setelah membacanya berkali-kali,aku menatap jam di ponselku. 21.36. Aku berdiri perlahan agar tidak membuat Delisa dan Lila terbangun, kemudian berjalan mengendap-ngendap ke arah pintu keluar. Saat aku berhasil membuka pintu dan menutupnya dari luar,aku menemukan mobil Angga terparkir manis diluar gerbang rumah. Aku tidak menemukan Angga,jadi aku berjalan mendekat dan mengetuk kaca mobilnya. Angga membuka pintu dari dalam, membuatku mundur beberapa langkah.

"Masuklah."

Tanpa pikir panjang aku masuk dan duduk disamping Angga setelah menutupnya kembali.

"Ada apa?"

Angga tidak menjawab,ia hanya menatapku dan tersenyum kecil. Tangan kirinya naik dan membelai pipi kananku.

"Angga,ini sudah malam. Lila mungkin akan mencariku jika terbangun."

"Aku hanya ingin melihatmu."

Jawaban Angga membuatku terdiam, menatap kedua sorot mata coklat madu itu. Angga tampak resah,bibir tersenyumnya tidak dapat menutupi.

"Kamu,kenapa?"

Angga menarik tangannya dari wajahku,lalu berbalik menatap jalanan lurus didepannya.

"Sesuatu menggangguku. Sesuatu yang besar yang sudah kulakukan. Sebuah kesalahan. Kemudian aku ingin melihatmu,ternyata benar,aku tenang."

Aku diam.

"Untuk kesalahan terbesarku itu,aku ingin meminta maaf."

"Aku- aku tidak mengerti."

Angga kembali menatapku,memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. Kemudian meraih kedua tanganku.

"Jangan pernah membenciku untuk alasan apapun. Karena aku tidak bisa berjanji tidak akan menyakitimu. Entah sengaja atau tidak, mungkin,suatu hari nanti,aku akan membuatmu terluka."

Aku diam sejenak, "Kamu tidak akan melakukan itu."

Angga tersenyum,tangan kanannya meraih tengkukku,kemudian mendekat dan melabuhkan sebuah ciuman hangat di bibirku. Aku masih terdiam,menatap mata indahnya yang kini tertutup rapat,semakin dalam,akupun ikut menutup mata. Merasakan perasaan hebat bersama Angga,perasaan yang tidak pernah kurasakan saat bersama yang lain.

.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang