Lapang dada

100 9 0
                                    

Aku terbangun oleh rasa kebas di leherku. Semalam,aku memilih tidur di atas sofa yang biasa kupakai untuk bersantai, dikarenakan Aima tidak biasa tidur bersama orang lain.

Aku menyibak selimut yang menutupi tubuhku,kemudian bangkit dan berjalan perlahan ke arah jendela. Ternyata tidak tertutup,mungkin ini kebiasaan Aima tidur,karena aku tidak pernah lupa menutup jendela. Aku duduk di antara kusennya, berpegangan pada tepi kayu yang kududuki.

Angin malam terasa dingin meniup tubuhku,meniup rambutku yang terurai. Perasaan apa ini? Perasaan yang bila terus dirasa-rasa menimbulkan ketidak nyamanan. Sedikit menakutkan,karena aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi untuk kedepannya. Mungkin hal baik akan datang padaku,dan bisa saja hal buruk yang akan menimpaku. Apapun itu, aku hanya berharap mampu melewatinya.
"Ehm..... "

Aku memejamkan mata. Untuk perempuan yang kini tertidur pulas di atas ranjangku,aku berharap kebahagiaan untuknya. Aku sedikit merasa salah karena selama 17 tahun kehidupanku,aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari ayah sedikitpun,mungkin awalnya dia pun merasakan hal yang sama,sebelum ia mengetahui,bahwa jagoannya,mengecewakan. Aku tidak ingin kehilangan ayah,Aima-pun sama. Jadi kurasa tidak ada salahnya berbagi. Kami akan sama-sama mendapatkan kasih sayang yang utuh.

"Kak,semoga kita bisa menjadi sebaik-baiknya saudara.."

"Elma mau tambah?"

Aku tersenyum,lalu menggeleng menolak tawaran tante Laras untuk menambahkan nasi dipiringku. Disampingku, kudengar Aima mendengus pelan,membuat senyumku perlahan pudar.

"Aima,di tambah nasinya sayang." Ibu berucap lembut,suara yang selalu kusukai.

"Tidak usah tante."

"Bagaimana kuliahmu,nak?" Ayah bertanya,dengan cueknya Aima hanya menjawab singkat, "Bosan."

"Lho,semangat dong!"

"Ayah,jarak kampus dari sini jauh. Aku akan kelelahan dijalan, sudah kubilang aku lebih baik di rumah lama." Aima terdengar kesal.

"Aima,kita sudah sepakat soal ini. Ayah tidak ingin mendengar apa-apa lagi."

"Ck. Aku tidak pernah menyepakati apapun. Ayah yang memaksa!"

Aku diam. Mendadak,suasana sarapan menjadi canggung.

"Aima,cukup." Tante Laras menengahi.

"Bu!"

"Kamu sudah terlambat,tidak mau berangkat?"

"Ibu mengusirku?"

"Ibu hanya tidak ingin kamu terlambat." Tante Laras terdengar tenang.

Tanpa menjawab,Aima mendorong kursinya ke belakang,meraih tasnya dengan kasar dan menghentakkan kaki sambil berlalu.

"Maafkan,Aima." Ucap tante Laras.

"Sudah,namanya juga remaja. Oh iya, aku akan pergi membeli beberapa tanaman, bagaimana kalau kita pergi bersama?" Ibu terdengar riang mengalihkan pembicaraan,yang langsung disambut dengan baik oleh tante Laras yang juga penyuka tanaman.

Setelah sarapan selesai,aku berjalan meninggalkan ibu dan tante Laras yang sedang membereskan meja makan, menuju belakang rumah,tempat dimana ayah memasang ayunan di bawah pohon cemara.

Aku naik dan menduduki ayunan itu perlahan,ayunan yang selalu kutempati ketika aku sendiri. Angin pagi terasa sejuk saat aku menghirupnya,menyalurkan ketenangan alam padaku. Aku memejamkan mata.

"Dor!"

"Astaga!!!"

Aku memegang dada bagian jantungku yang berdenyut kencang,kaget. Sialan.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang