Lima tahun kemudian.
◾
INI adalah senyap yang paling pekat. Setelah ribuan hari kulewati dengan hampa,setelah usaha-usahaku dalam penyangkalan perasaan yang masih tersisa,mimpi itu datang lagi.
Meruntuhkan benteng tinggi yang kubangun demi menyelamatkan sisa pecahan hati. Mimpi yang kukira akan hilang saat aku memutuskan untuk pergi dari rumah, membangun kembali harapan dan impian ditempat baru. Tapi ternyata tidak segampang itu. Meski harus aku akui,ya, belakangan ini mimpi itu tidak pernah menemuiku.
Sampai hari ini ia datang kembali,membawaku pada suasana sunyi yang tidak asing. Sudah lima tahun sejak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah,sekaligus meninggalkan sakit yang pernah tertoreh amat dalam disana. Meninggalkan semua kenangan yang,tidak ingin kubawa.
Satu tahun setelah perpisahanku dengan Gatra,akhirnya aku menyetujui keinginan ibu dan tante Laras untuk operasi mata. Meski ayah tidak memaksa,ia tetap bahagia atas keputusanku. Itu kali pertama aku dapat melihat ibu dan ayah,wajah keduanya yang perlahan tampak jelas dan membuatku menangis. Kau percaya? Ibu tampak begitu indah dengan senyumnya,dan ayah,apa yang harus kujelaskan untuk pria tampan itu? Dan orang ketiga yang kulihat adalah wanita cantik dalam riasan wajah ringan,ia adalah tante Laras. Ah.. yang paling membuat hatiku berdesir hebat adalah,saat perlahan tanganku menaikan cermin untuk melihat wajahku sendiri. Dan aku seperti ibu. Aku tidak bisa menyebut diriku cantik,karena aku memang tidak tahu cantik itu seperti apa.
Dan sejak saat itu,hatiku diselimuti hal-hal baik yang baru saja ku kecap. Satu tahun setelah perpisahanku dengan Gatra,aku hampir tidak pernah bertemu dnegannya lagi. Bukan tidak ingin,tapi mungkin begitu lebih baik. Aku sama sekali tidak mengindahkan tawaran ibu untuk melihat wajah Gatra lewat gambar di ponselku. Aku hanya meminta ibu untuk menghapus semuanya,untuk kemudian ponselnya kugunakan kembali.
Seperti teringat kembali,aku menatap ponsel yang tergeletak disisiku,disamping ponselku yang baru. Aku sudah hampir tidak pernah menggunakannya dua tahun belakangan ini,karena aku memiliki ponsel baru. Dan kenapa aku masih menyimpannya? Dengan nomor yang sama yang selalu Gatra hubungi? Jawabannya aku tidak tahu.
Awalnya mungkin karena aku berangan-angan,suatu waktu Gatra akan menghubungiku. Meminta maaf dan menjalin pertemanan. Ah tidak,aku bohong. Walaupun iya,aku tidak yakin akan mau berteman dengannya,dengan seseorang yang ketika kuingat namanya saat ini,masih menyisakan rasa sakit.
"Hai."
Mataku beralih menatap laki-laki yang berjalan dan duduk disampingku.
"Eh Hai."
Dia menyodorkan Ice Cream yang dibawanya,aku menerima dengan senyum.
"Lila bilang hari ini kamu dikeluarkan dari kelas melukis. Apa kamu ada masalah?"
Aku menarik napas,kemudian tersenyum,
"Aku hanya sedikit melamun saat bu Tuni menerangkan. Yaaa,kamu pasti tahu bu Tuni."
Dia mengangguk, "Sangat tahu. Makanya aku heran,kenapa kamu sampai berani melamun dikelasnya."
Aku tertawa. Semua gara-gara mimpi itu.
"Oh iya,kudengar pak Juned mau membawa lukisanmu ya?"
Aku mengangguk.
"Pak Juned memaksa. Padahal aku sudah bilang tidak akan mengikuti lombanya."
"Kenapa? Kamu pasti menang."
"Aku tidak percaya diri."
Dia kembali tersenyum,manis.
"Jangan paksakan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman. Kamu bisa bicara pada pak Juned. Bilang saja kalau kamu tidak mau mengikuti lombanya."
Lagi. Aku merasakan sesuatu yang tidak asing dalam diriku saat bersamanya. Entah apa.
Dia Angga. Laki-laki yang kukenal dua tahun lalu,saat aku baru pertama kali menginjakkan kaki di Jogja untuk mengikuti kelas melukis. Entah bagaimana,namun sejak saat itu kami lebih sering bersama.
Tiba-tiba Angga mendekat dan meraihku kedalam pelukannya. Aku tidak menolak, mataku kini terpejam. Aku selalu merasa Aman dan nyaman saat berada didalam pelukannya,hampir sama rasa saat Gatra yang memelukku. Ah..
"Aku tahu sesuatu sedang mengganggu pikiranmu."
Aku diam.
"Kamu tidak perlu menjelaskannya. Aku akan berusaha mengerti tanpa bertanya."
Aku melingkarkan kedua tanganku pada perut ratanya. Bergerak membuat tubuhku semakin nyaman dipelukannya.
"Bolehkah aku minta makan?"
Angga tertawa ringan. Membuat hatiku berdesir.
"Tentu saja. Kamu boleh minta apa saja."
Kami melepaskan pelukan,kemudian berdiri dengan Angga yang meraih ranselku. Kami berjalan bergandengan tangan,sesekali aku menatap wajahnya dari samping. Aku harus harus sedikit mendongak untuk dapat menatapnya.
"Kenapa menatapku?"
"Memangnya tidak boleh?"
Angga tertawa. lagi.
"Aku suka ditatap kamu."
"Oh ya?"
Angga berhenti berjalan,kemudian berbalik menghadapku. Tangan kanannya yang bebas meraih tangan kiriku,kini, kedua tangannya bergelut dengan kedua tanganku.
Aku menatapnya.
"Apa yang akan kamu lakukan,jika seseorang yang sangat ingin kamu lupakan,kembali datang?"
Aku diam.
"Elma.."
Aku mengangkat bahu.
"Seseorang yang sangat ingin aku lupakan tidak akan pernah datang lagi."
"Kenapa?"
Aku menarik napas.
"Mungkin karena dia sudah lebih dulu melupakanku? Aku tidak tahu."
Angga tersenyum.
"Kamu yakin dia sudah melupakanmu?"
Aku menarik tanganku, "Kenapa membahas ini?"
Angga kembali menarik tanganku.
"Aku hanya ingin tahu."
"Dia sudah melupakanku."
"Kenapa kamu sangat yakin?"
Tiba-tiba saja aku ingin menangis.
"Sudah lima tahun. Tidak ada lagi harapan."
Angga mendekat padaku.
"Kamu belum melupakannya?"
Aku diam.
"Jika belum,mengapa kamu begitu yakin dia sudah melupakanmu? Sedangkan kamu disini,masih mengingatnya."
Aku menunduk,kurasakan airmata mengalir.
"Dia tidak pernah berusaha menghubungiku sejak aku menolaknya."
"Dia mungkin tidak ingin kamu terluka."
Aku menatap Angga.
"Aku tahu. Itulah mengapa sampai saat ini,aku tidak bisa melupakannya."
Angga diam.
"Karena dia masih peduli." Aku menghapus airmata.
Angga meraihku kedalam pelukannya lagi. Membiarkanku menguras airmata untuk suatu hal yang tidak jelas. Kadang aku bertanya,mengapa,sosok yang bahkan tidak kukenali wajahnya,yang telah menghilang selama ini,mampu membuatku begitu terluka, dalam jangka waktu yang begitu lama?
Aku mengeratkan pelukan. Mencari kenyamanan dari Angga. Seseorang yang mengerti lelahku,seseorang yang sangat,ingin kucintai.
Bantu aku,Angga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
Roman d'amourDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...