Kenyataan

63 9 0
                                    

Aku berjalan menghampiri Angga yang tengah fokus pada ponselnya. Dihadapannya, di meja makan, sudah tersedia dua piring nasi goreng yang masih panas. Aku duduk dihadapan Angga, menyimpan tasku di atas meja, Angga beralih menatapku dan menyimpan ponselnya.

"Kamu tidak ganti baju?"

Aku menggeleng, tersenyum kecil, "Sepertinya aku akan pulang."

"Kenapa?"

Aku menarik kedua tanganku kebawah meja, menyembunyikan getaran yang masih belum hilang. "Ada Delisa disana. Me-meskipun aku marah,aku tidak enak meninggalkannya."

Angga tersenyum manis, lalu mengangguk dan mengangkat sendok. "Makanlah lebih dulu,akan kuantar."

Aku mengikuti gerakan Angga mengangkat sendok dan mulai menyuap. Selama makan,sesekali aku memperhatikan Angga. Dia sosok yang sangat baik yang pernah kukenal, wajahnya tidak pernah menunjukan kebohongan. Apa aku salah menilai? Tapi selama ini, yang kurasakan dari dirinya hanya ketulusan. Aku memang pernah mengatakan bahwa Gatra adalah mantan kekasihku, tapi Angga belum pernah melihat wajahnya,sama sepertiku. Ah,apakah Gatra dalam foto Angga adalah Gatra yang berbeda? Tapi-

"Kenapa menatapku? Nasimu hampir dingin,lho."

Aku menunduk menatap nasiku, kemudian menyuap kembali, berusaha menelan nasi goreng yang biasanya terasa sangat enak.

"Elma? Apa kamu memikirkan sesuatu?"

Aku menatapnya,tersenyum. "Tidak ada. Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa, lanjutkan saja makanmu."

**

Aku menatap kerlap-kerlip lampu disepanjang jalan menuju tempat tinggalku, Jogja tampak ramai setiap malam, tapi kali ini aku kesepian. Sesuatu telah mengambil isi hatiku, dan aku merasa kosong. Dorongan untuk menangis membuatku memejamkan mata dengan kuat, berharap tangis itu tak tumpah saat ini,saat Angga berada disampingku.

Aku bingung. Apa yang menantiku di ujung jalan sana? Akankah sesuatu yang menyenangkan? Atau sebaliknya? Ini menakutkan. Semua samar,aku tak dapat menebak apapun. Satu persatu sesuatu yang tersembunyi mulai menampakkan diri. Kebohongan-kebohongan yang jelas akan menyakitiku mulai terbongkar. Aku takut.

Aku membuka mata,menatap Angga yang bersenandung dengan fokus pada jalanan. Apakah semua yang dikatakan,dilakukan, dan diberikan Angga padaku adalah kepalsuan? Kebohongan? Jika iya, mengapa dia mau melakukannya dengan mengatas namakan cinta?

"Angga?"

"Hum?"

Aku menelan ludah, "Apakah kamu mencintaiku?"

Angga diam sejenak, menatapku, kemudian kembali pada jalanan. "Tentu saja."

"Lihat aku,dan katakan bahwa kamu mencintaiku."

"Elma,aku sedang menyetir."

"Katakan."

Angga berbelok, menuju sebuah ruang yang luas, dan berhenti. Ia menatapku, meraih tanganku, tersenyum dan berkata : "Aku mencintai kamu. Dan akan tetap seperti itu."

Air mataku merebak, aku masih menatapnya. Tidak ada kebohongan. Tapi hatiku ragu. Sesuatu didalam diriku patah, dan terjatuh.

"Kamu menangis?"

"Jangan membohongiku. Untuk alasan apapun."

Angga tersenyum, "Kamu bisa mempercayaiku."

Aku diam. Dan Angga kembali meneruskan perjalanan menuju tempat tinggalku. Tak terasa hanya beberapa menit,aku tak mengatakan apapun dan langsung keluar mobil. Melambaikan tangan dan sedikit berlari memasuki rumah.

Kutemukan Lila dan Delisa tengah tertawa menonton sesuatu di televisi. Aku hanya melewati keduanya dan lalu memasuki kamar. Aku berjongkok dibalik pintu yang kututup, memeluk tubuhku, mencoba melindunginya dari rasa sakit.

Aku akan mencoba mencari tahu tanpa membuat siapapun curiga. Delisa dan Ezra menyembunyikan itu dariku, dan Angga menyembunyikannya juga. Apa mungkin, Ezra,Gatra dan Angga saling mengenal? Jika iya,aku yakin mereka merencanakan ini sebelumnya. Dan jika iya mereka merencanakannya,apa tujuannya?

"Elma?"

Aku mengedip, suara Lila diluar sana membuyarkan lamunanku, "Ya,La?"

"Apa kamu sudah makan?"

"Ya. Aku sudah makan."

"Keluarlah."

Aku menarik nafas panjang, "Aku akan mandi lebih dulu. Tunggulah."

Delisa menatapku saat aku berjalan dan duduk disebelah Lila, ia memanyunkan bibirnya, "Baiklah. Aku minta maaf."

Aku menatapnya, "Tidak usah dibahas. Aku tidak mau membahasnya."

"Oke. Tapi kamu harus berhenti marah padaku."

Lila menatap Delisa,kemudian beralih padaku, "Kenapa kamu marah pada Delisa?"

"Aku tidak marah padanya."

"Benarkah?"

Aku mengangguk, "Dia hanya merasa begitu."

Aku,Lila dan Delisa tidur bersama ditengah rumah di depan televisi. Film hantu yang kami tonton telah usai setengah jam yang lalu, dan Lila sudah pergi ke alam mimpinya. Aku menatap langit-langit ruangan yang gelap karena lampu dimatikan, cahaya terang hanya dari televisi dan ponsel Delisa disebelahku. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Delisa dengan ponselnya,tapi senyumnya tidak pernah henti.

Aku berdehem, membuat Delisa menatapku, "Kenapa?"

"Kamu sedang apa?"

"Chat."

"Dengan?"

"Leo."

Aku diam sejenak.

"Delisa.. aku ingin melihat Gatra."

Kulihat jarinya berhenti mengetik, ia menatapku, dan tersenyum kaku. "Kamu- apa?"

"Perlihatkan padaku."

Delisa mengotak-ngatik ponselnya, lalu mengulurkannya padaku. Aku menarik napas kuat, berusaha menghilangkan debar ketakutan didalam diriku. Dengan tangan gemetar aku meraih ponsel Delisa dan menemukan sosok Gatra dilayarnya.

Rahang yang kuat, rambut yang hitam tebal, hidung mancung, mata indah, dan lesung pipi. Orang ini, benar-benar sama dengan seseorang yang berangkulan bersama Angga dalam foto itu. Mereka orang yang sama.

Gatra. Dialah orangnya. Yang kukenal lewat satu kejadian saat aku belum bisa melihat beberapa tahun lalu, saat usiaku masih 18 tahun. Sudah cukup lama karena kini aku telah dewasa, begitupun dia. Namun cinta tak hangus. Masih ada dia didalam hatiku. Aku mengembalikan ponsel Delisa. Dia menerimanya dan memelukku.

"Bagaimana? Apa dia tampan?"

"Aku tidak punya perbandingan."

"Dengan Angga? Kulihat dia tampan. Dan manis."

Aku mencoba mencairkan suasana ini, tersenyum, "Kamu pikir Angga gula? Manis segala." Tapi hatiku luka, masih luka yang sama yang tertoreh beberapa tahun lalu,yang kini kembali terbuka dan menganga. Aku ingin menangis.

"Elma. Bahagialah. Apapun caranya."

Aku balik memeluk Delisa. Aku tidak bisa lama marah padanya. Kurasakan airmataku kembali merebak, "Bolehkah aku menangis?"

Delisa mengangguk, "Tentu saja boleh. Aku bersedia menjadi tissue."

Dan aku menangis memeluknya.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang