"Memangnya,dimana aku harus berada? Aku ingin berada dimana kamu berada. Ucap Ari menatap kekasihnya,penuh cinta dan.."
Aku hampir saja lupa bahwa Gatra berada disampingku jika saja laki-laki itu tidak menyentuh jariku,dan membuat lamunanku buyar. Aku merasakan hangat genggaman tangannya pada tanganku, hangat yang belakangan ini selalu kurasakan.
"Kamu tidak mendengarkan."
Itu pernyataan. Dan aku memang tidak mendengarkan Gatra yang semangat membaca setiap kata dari novel yang di bawanya. Bukan ceritanya yang tidak menarik, hanya saja, fokusku berada di tempat lain.
"Ada yang ingin kamu ceritakan?"
Aku menggeleng. Tidak ada yang perlu diceritakan,aku hanya ingin diam merenung,dan perlahan melupakan. Meski sulit karena semua belum selesai, ayah dan ibu masih mengusahakan jalan keluar dari masalahnya. Aku tidak berhak memutuskan sesuatu disini,posisinya aku hanya anak. Meski ibu dan ayah selalu berkata akulah prioritasnya,tapi kali ini tidak,aku tidak bisa meminta agar keluarga kami tetap utuh sedangkan ada hati yang harus di korbankan. Jadi, biar semua berjalan sampai keputusan dibuat oleh keduanya.
"Hei!"
Aku tersentak,oleh sapaan lembut suara Gatra.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Kamu pucat. Kamu yakin baik-baik saja?"
Aku meremas tangan Gatra yang masih berada dalam genggaman tanganku. Meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
Benarkah?
"Gatra,apa cinta ada akhirnya?"
Tanpa bisa dicegah,ucapan itu terlontar. Membuatku merasa Gatra menatap untuk beberapa saat sebelum menarik nafas,mengusap jariku dan menjawab.
"Tentu saja." Jempolnya bergerak dalam genggamanku, "Semua hal yang berada di dunia ini,akan berakhir,dengan takdirnya masing-masing. Seperti pohon,ia akan tumbang,karena sudah terlalu tua. Atau bunga,ia akan gugur karna indahnya telah berlalu. Perlahan,satu per satu,hal di dunia ini akan berakhir."
"Lalu,bagaimana dengan cinta?"
Gatra tertawa pelan,
"Kalau itu,kamu bisa memilih akan mengakhirinya dengan cara dan akhir seperti apa."
Aku diam,menunggunya melanjutkan ucapannya.
"Cinta. Kamu bisa menentukan akhirnya. Tapi biasanya,itu tergantung pada rasa. Kamu tidak bisa memaksakan cinta kalau rasanya sudah tiada,dan saat itu tiba,kamu bisa mengakhirinya. Ada dua cara, pertama : cara yang paling egois,karena kamu bisa pergi dengan alasan sudah kehilangan rasa,tanpa melihat sisi dia yang ditinggalkan. Cara kedua : bertahan. Karena bagiku,rasa itu tidak pernah benar-benar pergi."
Gatra kemudian diam,
"Kamu seperti berpengalaman." Ucapku tersenyum. Gatra tertawa garing dan mengusap rambutku.
"Aku pernah membacanya di salah satu buku yang kubeli. Menakjubkan. Tapi itu tidak menjadi tolak ukurku dalam memandang cinta."
"Lalu?"
"Lebih karena... aku pernah megalaminya."
Aku diam. Genggaman tangan kami sedikit melonggar.
"Meninggalkan?"
"Tidak. Ditinggalkan."
Aku sedikit terkejut,siapa yang tega meninggalkan Gatra?
"Apa yang kamu lakukan saat itu?"
Gatra lagi-lagi tertawa pelan,
"Kamu tidak akan percaya. Aku hanya diam,tidak melakukan apa-apa."
"Mengapa demikian?"
Tangan Gatra naik dan mengusap rambutku lebih lama.
"Karena ada saat dimana kamu harus rela melepas sesuatu. Bukan karena telah kehilangan rasa,tapi karena tahu.. masanya telah habis."
Aku terdiam. Rasanya seperti pergi ke belahan dunia yang sunyi,tanpa tawa,dan hanya sepi yang mencekam. Lalu sakit. Aku seperti merasakan goresan luka Gatra saat ia bercerita. Luka karena ditinggalkan seseorang,siapapun itu,pasti rasanya tidak tertahankan.
"Apa.. kamu masih mengharapkannya kembali? Suatu hari,mungkin.."
Diam sejenak,kemudian ia menjawab dengan lirih :
"Terkadang... ya."
Dan yang kurasakan hatiku berderak. Sedikit retak karena menghantam lantai keras yang dingin. Siapa yang di harapkannya kembali?
"Tapi itu tidak penting lagi setelah ada kamu." Gatra melanjutkan ucapannya, "Aku berhenti mengharapkan sesuatu yang,sulit untuk diyakini akan kembali. Karena kini,ada yang lebih nyata dari sekedar dia yang pergi. Yaitu,kamu."
***
Setelah tangis kesakitan beberapa minggu lalu,kurasakan goresan luka menganga di dasar hatiku,yang tidak ku tahu akan mengering atau membesar. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, berada di dalam gelembung kesakitan yang sewaktu-waktu dapat pecah dan... selesai.
Setelah hari itu,tidak ada lagi hari-hari menyenangkan dalam rumahku. Yang ada hanya sepi,tangis,dan sakit. Belati yang menikam hati ibu seakan ikut menikam hatiku,karena aku benar-benar merasakan sakitnya. Ibu lebih dari sekedar wanita kuat. Aku tahu,karena sekali saja,aku tidak pernah mendengar ibu mengeluh atau menangis. Ibu hanya diam membisu,melampiaskan sakitnya lewat aktifitas yang malah melukai tubuhnya.
"Karena cinta selalu dapat memberi sakit yang amat sakit,bahkan melebihi rasa sakit yang sanggup diterima tubuhmu."
Dan aku percaya. Luka menganga tak kasat mata itu lebih menghancurkan dibanding tergores benda tajam dan berdarah.
Aku menghampiri ibu yang sedang menyiram bunganya di halaman. Aku duduk di kursi yang tidak jauh dari ibu.
"Selamat pagi. Bagaimana tidurmu,nak?" Ibu menghampiri dan mencium puncak kepalaku penuh sayang. Aku tidak melihat ayah.
"Nyenyak,aku mimpi berpetualang di pulau terpencil." Terangku.
"Waw. Pasti menegangkan." aku menangkap sedih dalam suaranya yang berusaha disembunyikan. Dan itu membuatku ingin menangis. Setelah kejadian yang melukainya,ibu tidak menangis apalagi berlari menyelamatkan sisa-sisa pecahan hatinya. Ia masih berdiri tegak,dan tersenyum untukku.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, berusaha mengusir tangis yang hendak terjatuh.
"Ya. Menegangkan,tapi aku berhasil menemukan jalan keluar dari pulau itu. Lalu bahagia."
Ibu duduk di kursi di sampingku. Ku dengar beberapa kali ia mendesah, menarik kemudian membuang nafasnya. Aku tahu ibu sedang dalam gejolak emosi yang sulit dipahami.
"Aku berharap,mimpiku seperti petunjuk, bahwa kita akan segera keluar dari pulau terpencil ini,dan mendapat kebahagiaan."
"Semoga seperti itu. Agar kamu,bisa kembali ceria dan melupakan sakit ini."
Ya. Kuharap begitu karena aku mulai kehilangan pegangan. Aku berharap,cepat atau lambat,kesakitan ini segera berakhir dan terganti oleh bahagia yang,semoga saja.. abadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...