Pingsan

90 7 1
                                    

Aku mengangkat kepala dengan enggan,lalu mengerjap untuk menghilangkan beban berat yang seakan menindih sejak diperjalanan tadi. Aku memutar kepala,menatap sekitar,dan menemukan aku masih berada di area stasiun kereta di Jakarta. Aku ingat,aku telah sampai sekitar -menengok jam- tiga puluh menit yang lalu,kemudian duduk disini karena merasa kepalaku sangat sakit. Dan ternyata aku tertidur.

Aku memang merasa tak enak badan sejak bangun tidur tadi,mandi air dingin tak kunjung membuatku segar,dan di perjalanan,sakit kepala itu tiba-tiba menyerangku. Aku beranjak,meraih koperku dan berjalan keluar area stasiun. Delisa tidak sempat kuhubungi,jika menunggunya menjemput mungkin akan membutuhkan waktu sedikit lama,jadi aku memutuskan untuk menaiki taksi.

Jakarta masih tampak sama. Cuaca panas disekelilingku seakan meyakinkanku,bahwa aku memang berada di Jakarta. Aku memejamkan mata,memfokuskan pendengaranku. Suara klakson,pengamen,pedagang asongan,dan suara detak jantungku. Aku telah kembali,ke tempat dimana aku dilahirkan,meski bukan untuk pulang,aku tetap telah kembali.

Mendung tidak menyelimuti langit,sebaliknya, cerah tampak tak akan beranjak hingga sore nanti. Aku meraih ponselku,menulis pesan untuk Angga,mengabarkan bahwa aku telah sampai dengan selamat. Kemudian Delisa,yang langsung menelponku kurang dari lima menit kemudian. Dia berkata,akan menungguku dirumah.

Aku berdiam diri sejenak meski taksi telah berhenti tepat didepan rumah yang amat kukenal,rumah yang banyak menyimpan kenanganku bersama ibu,ayah,Delisa,dan.. dirinya. Setelah menarik napas panjang,aku mengulurkan uang dan mendorong pintu, menunggu sopir taksi menurunkan koperku.

Suara dorongan roda koperku terdengar saat aku beranjak memasuki gerbang,berhenti sejenak dan menyentuh satu dari sekian banyak bagian pagar besi itu,merasakan kenangannya.

"Elma!?"

"Ka..mu?"

"Hi hi hi.. kita bertemu lagi."

"Iya." Ucapku.

"Aku melihatmu beberapa kali,berdiri disini,berpegangan pada gerbang,di jam yang sama."

"Mengapa tidak menyapa?" Tanyaku pelan.

"Emh.. karna selalu bertepatan dengan ibumu keluar,menyuruhmu masuk."

"Namaku Gatra."

"Aku Elma."

"Aku sudah tahu."

"Kenapa keluar malam-malam?"

"Hanya menghirup angin."

"Elmaa!! Kamu sudah sampai!!"

Aku tersentak dari lamunanku,percakapan saat itu yang terulang kembali perlahan menguap meninggalkanku. Aku tersenyum menatap Delisa yang terpogoh-pogoh mendekatiku,lalu meraihku dalam pelukannya.

"Padahal aku bisa menjemputmu." Ucapnya,saat pelukan kami akhirnya terlepas.

"Tidak apa. Toh aku sudah sampai."

"Iya. Ayo masuk."

Aku mengeret koperku dengan tangan yang masih digenggam Delisa. Semangatnya sedikit berlebihan karena aku menjadi sulit mengiringi langkahnya yang lebar.

"Pelan saja,aku tidak mungkin kabur lagi setelah sampai disini,kan?"

Delisa seperti tersadar,kedua sudut bibirnya tertarik memperlihatkan gigi rapinya.

"Aku semangat sekali."

"Menyambutku?"

"Tentu saja."

Aku memasuki pintu rumah,berpapasan dengan beberapa orang yang keluar masuk memindah dan mengangkut barang. Semua orang tampak sibuk.

"Bukankah acaranya nanti malam?"

"Iya. Tante benar-benar mempersiapkan ini dengan matang. Mungkin dia bahagia,akhirnya Aima dilamar. Dan tentu saja bukan oleh Gatra."

Aku diam. Seseorang masuk dengan rangkaian bunga mawar putih ditangannya.

"Itu ibumu!"

Aku menatap telunjuk Delisa,yang menunjuk ibuku. Aku tersenyum kaku.

"Elma! Kamu sudah sampai."

Ah. Pelukan ibu. Aku kembali.

"Iya bu."

Ibu merangkum wajahku,ada airmata disudut matanya.

"Ibu rindu sekali. Seperti sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu."

"Aku juga. Tidak pernah tidak rindu ibu."

"Oh ya? Kenapa baru pulang? Ayo kita temui ayah. Dia pasti kaget!"

Dan selanjutnya,aku bertemu dengan satu persatu penghuni rumah yang kurindukan. Diselangi oleh cerita-cerita ringan yang membawa kami pada kenangan-kenangan masalalu. Aku telah bertemu semua orang,termasuk Ezra. Kecuali Aima. Ibu bilang,Aima pergi membawa baju ke butik untuk acara nanti malam.

Aku dan Delisa duduk ditepian kolam berenang, memperhatikan riak air yang tersorot sinar matahari sore. Kepalaku tersandar dibahunya.

"Mengapa Angga tidak dibawa?"

"Tidak ada ruang lagi di koperku."

"Sialan. Bukan itu maksudku."

Aku tertawa. "Angga sibuk."

"Aku belum pernah bertemu dengannya."

"Nanti pasti akan ada waktunya."

"Semoga saja. Aku benar-benar ingin tahu dia. Sosok yang bisa membuatmu lupa pada Gatra. Pasti dia tampan,kan?"

"Tentu saja."

"Pantas. Apa dia baik?"

"Huum."

"Menyayangimu?"

"Kurasa begitu."

"Elma. Aku senang kamu kembali."

Aku diam.

"Aku tidak suka jauh darimu. Aku tidak punya teman lagi. Aima tidak bisa berteman denganku, dia keras,sama sepertiku,tidak cocok."

Aku masih diam.

"Aku harap kamu mau kembali kesini. Nanti,atau kapapun kau mau. Aku akan menunggu."

****

Aku menatap Aima yang cantik dalam balutan kebaya brokat hijau tosca,dipadukan dengan rok lilit corak hitam yang elegan. Rambutnya tergerai panjang,disemati bunga mawar merah dibelakang telinganya. Dia tampak dewasa. Kemudian aku menatap diriku,riasan ringan yang disapukan Delisa malah membuatku aneh. Itu menurutku. Delisa bersikeras meyakinkan bahwa riasannya cocok untukku.

Tanganku menarik selembar tissue,berusaha membuat kering telapak tanganku yang basah. Acara sudah dimulai sejak dua jam yang lalu, dan akan berakhir setelah Ayah selesai mengucapkan beberapa kata lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Itu cukup menjelaskan mengapa aku merasa sangat mengantuk,mungkin ditambah perjalanan panjang pagi tadi saat menuju kemari. Aku belum sempat istirahat panjang.

Semua orang berbincang,memperjelas acara pernikahan yang akan dilaksanakan dua bulan lagi dirumah ini. Ibu,ayah,tante Laras,Aima dan calon suaminya terlibat dalam percakapan tersebut. Aku berbalik untuk pergi ke belakang dan duduk sejenak,karena aku merasa kepalaku berat dengan disertai seperti sengatan diantara hidungku. Aku akan flu,pikirku,saat menarik tangan untuk mengusap hidung,dan ternyata,darah. Aku mimisan.

"Elma!"

Aku berbalik ke sumber suara yang menyebut namaku,samar-samar mataku memburam, menatap Delisa yang berjalan mendekat. Suara-suara bising tadi seakan menghilang,hanya menyisakan dengungan didalam kepalaku. Aku benar-benar sakit saat ini.

Dan pada akhirnya,aku meraih alam bawah sadarku,tak ingat apa-apa selain rasa sakit ditubuh bagian kananku. Lalu hitam.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang