Bulan Desember sudah menginjak pertengahan. Diluar,hujan begitu deras mengguyur bumi,meniupkan angin dingin melalui jendela yang kubuka, membuatku mengeratkan selimut yang menutupi tubuh.
Aku bersandar pada lengan sofa,memejamkan mata menikmati gemericik hujan yang mengenai atap rumah. Banyak yang dapat dilakukan saat hujan turun,namun aku lebih memilih duduk di atas sofa dekat jendela kamarku, ditemani Tutu-kucingku- yang sedang tertidur pulas dilipatan kakiku yang ditutupi selimut.
Posisi yang nyaman satu jam belakangan.
Kamarku sangat hening. Bahkan,suara alunan nada yang biasa kudengar dari music box pemberian Gatra,tidak terdengar. Hanya suara hujan dan detakan jarum jam yang mendominasi. Sesekali helaan nafasku ikut meramaikan.
Pukul 3 sore saat aku memutuskan untuk duduk disini,dan sudah satu jam berlalu, berarti sekarang sudah pukul 4 sore. Punggungku terasa pegal,namun aku tidak beranjak. Dikakiku,Tutu menggeliat,aku mengelusnya pelan agar ia kembali tertidur. Dan berhasil.
Kurasa hujan sedikit mereda karena suaranya perlahan memelan,hingga hilang. Aku beranjak setelah sebelumnya menyibak selimut hangatku,membiarkan Tutu terguling akibat pergerakanku.
Kakiku melangkah pelan menuju pintu, perutku meronta dan tak dapat ditahan setelah diajak melamun selama satu jam.
RUANG tamu tampak ramai,kudengar suara ibu berbicara. Aku mengabaikan dan terus berjalan hingga sampai di dapur,melewati ruang tamu tanpa membuat ibu sadar.
"Non mau makan?"
Aku mengangguk saat bi Dita bertanya,kemudian menarik kursi untuk kemudian kududuki.
"Mau sama ikan?"
Aku menggeleng,
"Kalau begitu,ayam?"
Aku mengangguk dan meraih sendok yang disodorkan bi Dita.
Dulu,saat aku diajarkan untuk melakukan aktifitas layaknya orang yang memiliki penglihatan normal,aku merasa begitu kesulitan. Seperti makan,orang lain akan mulai makan dengan rapi dan tenang saat mereka menginjak usia sekolah. Tapi aku,dengan keadaan seperti ini,di usiaku yang menginjak 9tahun,masih makan dibimbing ibu. Tak jarang karena merasa kesal tidak dapat melakukan hal remeh semacam itu sendiri,aku akan membanting piringnya hingga pecah.
Aku tahu. Tidak mudah untuk hidup bersama orang sepertiku. Orang yang membutuhkan tuntunan orang lain hanya untuk sekedar pergi ke kamar mandi. Tidak mudah mengajarkanku makan dengan rapi,tanpa tercecer dilantai. Tidak mudah mengajariku memakai pakaian tanpa terbalik. Tidak mudah melakukan apapun jika dihubungkan dengan aku. Semua akan berantakan.
Tapi yang kuhargai adalah perjuangan orang-orang yang mencintaiku. Mereka begitu sabar mengajarkanku melakukan sesuatu tanpa diiringi bentakan. Sulit untuk kuterima,disaat orang lain begitu leluasa untuk berjalan,sedangkan aku harus meraba untuk berjalan tanpa menabrak. Sulit.
Tapi dengan cintanya,orang-orang disekelilingku membuatku dapat melakukan sedikit lebih banyak hal sendirian,tanpa bantuan. Dan itu membuatku banyak mengucapkan terimakasih.
Aku selalu berkhayal,jika dunia adalah panggung sandiwara, dimana setiap orang memiliki perannya masing-masing,kuharap bukan ini peranku. Aku ingin peran yang menyenangkan,seperti Cinderella mungkin? Gadis yang meskipun tidak diperlakukan dengan baik oleh ibu tirinya, namun mampu begitu bahagia hanya dengan dibantu peri baik,kemudian pergi ke pesta,kehilangan sepatu kacanya,dan bertemu pangeran.
Atau,menjadi barbie Odet,yang walaupun dikutuk menjadi seekor angsa,ia pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan dengan mengalahkan penjahat dan bertemu pangeran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomansaDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...