Aku tidak bertemu Gatra maupun Aima sejak saat itu. Selain karena aku berada dirumah Delisa seminggu terakhir,ibuku mengatakan bahwa Aima pergi dari rumah untuk tinggal di apartement yang baru disewanya,dengan alasan menghemat waktu ke kampus.
Aku tahu bukan itu alasan sesungguhnya. Mungkin saja Aima pergi dari rumah agar ketika Gatra menemuinya,tidak perlu bertemu denganku. Tak apa,sudah waktunya berhenti berharap.
Ah,Gatra...
Ketika mengingat namanya,entah bagaimana mampu membuat sakit didalam hatiku menguap,menyebar ke semua titik yang di aliri darahku. Mungkin karena aku pernah menaruh harapan besar padanya. Tentang cinta yang baru saja kukecap. Mungkin juga karena aku salah,telah begitu percaya menitipkan hati padanya.Tanganku meraba meja dimana diatasnya aku menyimpan satu-satunya barang pemberian Gatra. Kotak musik,yang setelah kehadian Aima diantara kisahku dan Gatra,tidak pernah kudengarkan lagi. Karena alunan musik yang indah itu seakan berubah menjadi alunan kesakitan,dan aku merasa seperti ditertawakan.
Aku menekan tombolnya. Musik mengisi seluruh bagian ruangan kamarku yang semula senyap.
Aku kembali menyusut mata. Setelah ucapan perpisahan untuk Gatra saat itu,yang kuucapkan tulus dalam hati,aku merasa tidak tenang. Mungkin karena sebenarnya aku tidak menginginkan perpisahan. Tapi aku harus bagaimana? Melawan Aima adalah hal yang tidak mungkin,merebut Gatra aku takkan mampu. Aku tidak bisa melakukan apapun.
◾
Aku terbangun dari tidurku oleh suara deringan ponsel yang kusimpan didalam saku bajuku. Aku tidak sadar telah tertidur pulas,dengan sisa airmata dipipiku. Ketika hendak merogohnya,panggilan tersebut berhenti,membuatku urung meraih ponsel dan berniat tidur kembali. Namun baru saja aku hampir meraih tidur,ponsel kembali berdering,aku merogoh dan menekan tombol untuk mengangkat panggilan,
"Halo?"
Tidak ada jawaban disebrang sana.
"Ha-hallo?"
Masih hening.
"Dengan siapa ini?"
Aku mendengar suara helaan nafas,
"Aku tutup jika tidak ingin bicara."
Aku menutup sambungan saat tak kudengar suara siapapun disebrang sana. Saat tanganku hendak menyimpan ponsel,deringnya terdengar kembali,dengan sedikit kesal,aku menekan tombol terima lagi.
"Halo?"
Hening. Siapa orang kurang kerjaan yang mengganggu tidurku ini?
"Haloooo?"
"Mau bicara dengan siapa?"
Dengan kesal aku hendak menekan tombol untuk mengakhiri,namun,
"Elma.."
Aku tidak kenal suaranya.
"Ya-a?"
"Kau.."
"Ya? Ini aku. Dengan siapa ini?"
"Elma,aku tidak tahu harus mengatakannya bagaimana."
Aku mengerutkan kening,tidak mengerti arah pembicaraannya.
"Mengatakan apa?"
"Elma.."
"Ya-a?"
Aku mulai takut.
"Kau. Harus. Mati."
Degh.
Tuutt-tuutt-tuutt
Aku terpaku ditempatku. Setelah mengucapkan kalimat dengan intonasi yang menyeramkan itu,ia menutup sambungan telpon. Aku meremas ponselku,dengan dada yang berdebar aku menekan tombol khusus yang dapat menyambungkanku dengan-
"Halo?"
Gatra.
Sialan. Dengan gemetar aku menekan tombol untuk mengakhiri panggilan,namun entah bagaimana panggilan tersebut tidak terputus juga,hingga suara pintu dibuka mengejutkanku,dan aku berhasil memutuskan sambungan telepon.
"Kamu sedang apa?"
"Delisa,tolong lihat ponselku. Lihat panggilan terakhirnya." Ucapku panik menyerahkan ponsel,Delisa menerimanya.
"Kamu-"
"Berapa nomornya?" Desakku,
"Ini-"
"Berapa?"
"Tunggu dulu,kau menelpon Gatra?"
Aku diam sejenak,
"Hah?"
"Panggilan terakhirmu Gatra."
Aku menepuk dahi lalu menggeleng.
"Lihat yang sebelum Gatra."
"Ini.. nomor tidak dikenal."
"Hah?"
"Tidak ada nomornya."
"Tidak ada nomornya?" Aku mengulangi ucapan Delisa.
"Ya. Seseorang menyembunyikan nomornya untuk menelponmu."
"Kenapa?"
"Tidak tahu,biasanya seseorang melakukan itu untuk meneror atau- tidak,tunggu dulu,siapa dia? Apa dia menerormu?"
Aku diam. Aku merasakan pening di kepalaku. Orang itu menyembunyikan nomor ponselnya.
"El?"
"Dia menelponku,dan mengatakan-"
"Nomor tidak dikenal itu mengirim pesan."
Aku berdebar,
"Apa katanya?"
"Kau. Harus. Mati. Elma."
Dan aku merasakan ketakutan perlahan menyusup ditubuhku. Keringat membasahi punggung dan telapak tanganku.
"Dia mengatakan hal yang sama di telpon." Ucapku lirih,
"Siapa dia? Kamu mengenal suaranya?"
Aku menggeleng.
"Apa lagi yang dikatakannya?"
"Tidak ada. Hanya itu."
"Coba ingat lagi,kamu pasti ingat suaranya."
Aku diam berusaha mengingat,namun-
Tok.. Tok.. Tok..
"Non,ada tamu tuh."
Aku dan Delisa dikejutkan oleh suara bi Dita yang datang tiba-tiba.
"Siapa?"
"Dia bilang,namanya Lisa,bawa titipan."
"Kenapa tidak di ambil saja titipannya bi?" Delisa mendahuluiku,
"Dia bilang mau langsung kasih."
Aku hendak berdiri,namun Delisa kembali mendahului.
"Aku saja yang turun. Kamu diam."
Aku mengangguk dan membiarkan Delisa mengikuti langkah bi Dita. Ketika mungkin Delisa baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir dibawah,aku terkejut oleh suara lemparan benda yang memecahkan kaca jendela kamarku,
PRAAAAANNNNNKKKK
Rasanya seperti aku sedang menjalani sebuah adegan untuk kebutuhan film. Karena aku merasa waktu melambat, sedikit memberiku waktu untuk spontan menduduk menghindari lemparan tersebut,namun,beruntung sedang tidak padaku,seperkian detik itu tidak berarti,karena sebuah batu telah menghantam kepala bagian belakangku.
Ah,mungkinkah ini akhir kisah sedih ini? Aku yang kalah. Ditinggalkan,dan sekarang harus mati. Ya,aku memang sedang tidak beruntung.
Kemudian gelap menyelimutiku setelah kurasakan aliran darah membasahi punggung.Aku mulai kehilangan kesadaran saat samar-samar kudengar teriakan Delisa memanggil namaku.
Sekarangkah saatnya mengucapkan perpisahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...