"Ibu.. bisakah berikan aku ponsel yang bertombol? Aku kesulitan jika memakai ini." Ucapku seraya menyodorkan ponsel keluaran terbaruku.
Aku menghampiri ibu yang sedang duduk menonton televisi bersama ayah.
"Kesulitan?" Tanya ibu. Aku mengangguk.
"Aku lebih sering mematikan panggilan ketimbang mengangkatnya." Jelasku.
Sudah satu tahun aku menggunakan ponsel itu. Tidak benar-benar menggunakan karena aku tidak tahu caranya. Delisa sudah mengajariku mengangkat panggilan,tapi aku tidak terlalu menanggapnya karena tidak akan ada yang menelponku.
Ibu lebih suka berbicara langsung padaku, atau jika saat dia sedang berada diluar,ibu akan menelpon telpon rumah.
Aku tidak menggunakannya dengan baik karena aku tidak benar-benar membutuhkannya. Tapi kali ini,aku butuh untuk mengangkat telpon Gatra.
Awalnya aku bisa dengan baik menggeser layar ponsel,karena lebih utama menenangkan jantungku yang berdebar sebelum mengangkatnya. Semakin hari,semakin besar rasa senangku,yang mengakibatkan aku ingin buru-buru mengangkat panggilannya,dan beberapa kali malah mematikan,bukan mengangkat.
"Memangnya,anak ibu ini,sibuk mengangkat telpon siapa?" Tanya ibu lembut. Aku hanya diam.
"Pasti Gatra ya?" Goda ayah.
Aku tersenyum kecil.
"Anak ayah sudah besar,ya?" Kemudian selanjutnya acakan ringan dirambutku. Seperti yang dilakukan Gatra.
Gatra lagi.
"Bisa,kan bu?"
"Okeee.."
"Makasih bu." Aku memeluk ibu singkat.
***
Sudah beberapa minggu berlalu saat Gatra berkunjung kerumahku. Beberapa minggu itu pula kami rajin bertemu dipagi hari, meski hanya sekedar menyapa.
Seperti sebuah kebiasaan untukku, berdiri didepan Gerbang rumah untuk menunggunya. Sesekali Gatra menelponku, bertukar cerita tentang apa yang aku atau Gatra lakukan.
Biasanya,Gatra menelponku pada hari Selasa dan Rabu pada jam yang sama. Jam delapan malam. Seperti malam ini,aku duduk bersedekap memeluk bantal diatas kasur. Menunggu deringan pada ponselku.
Aku menunggu dalam diam. Pikiranku melayang pada percakapan dua hari lalu bersama Delisa."Elma.. kukira tidak ada yang lebih menyenangkan sekaligus menyakitkan selain cinta." Ucap Delisa pelan.
"Mengapa begitu?"
"El, cinta datang begitu saja. Tanpa direncana,kadang ia datang hanya dalam tiga kali pertemuan. Dan kemudian,suatu hari,cinta memutuskan untuk menghilang."
"Kamu tidak pernah sesedih ini,Sa."
"El.. Menyebalkan sekali. Atas semua rasa yang hadir diantara kami,dia hanya bangun dan memutuskan untuk tidak menemuiku lagi. Tanpa alasan,penjelasan. Seperti aku tidak pernah begitu berarti untuknya." Ucap Delisa sangat pelan.
Aku menyentuh kedua tangannya.
"Sa,kurasa bukan cinta yang salah. Tapi kisahmu. Kamu berbagi cinta dengan orang yang salah. Tapi yang perlu kamu ingat adalah, terkadang beberapa orang hadir hanya untuk menjadi kenangan,kan?"
Dan selanjutnya yang kudengar adalah isak tangis Delisa. Yang selama aku mengenalnya,tak pernah diperdengarkan. Delisaku.
Aku memeluknya.
Tring.. Tring.. Tring..
Suara ponsel membangunkanku dari lamunan,aku meraba-raba ponselku di atas kasur. Kemudian menggeser layar dengan perlahan. Kudekatkan ponsel pada telingaku,
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama
RomanceDulu, kukira aku adalah rapunzel. Karena sama-sama terkurung dalam sebuah menara, ditemani seekor hewan. Yang membedakan aku dan rapunzel adalah,aku ditemani seekor kucing persia,bukan seekor bunglon. Juga,aku tidak memiliki rambut super panjang...