Pemilik hati Gatra

100 10 2
                                    

Tanganku perlahan meraih ponsel yang disodorkan Aima,hendak melakukan apa yang disuruhnya,tapi tiba-tiba saja,tante Laras merebut ponsel itu,

"Tidak perlu melakukan itu,Elma."

"Bu!"

"Aima,sudahlah! Semua sudah berlalu hampir dua tahun!"

Aku diam. Aima menangis kembali.

"Jangan seperti ini,Aima. Jangan kembali melukai dirimu sendiri,ibu tidak sanggup!"

Aima menangis semakin kencang,aku kebingungan,apa yang sebenarnya terjadi pada Aima?

"Aku masih mencintainya.." Aima terisak, "Semua bukan inginku!"

Aima menangis terisak. Ada apa dengannya? Mengapa ia sampai sebegitu terlukanya?

"Dia tidak bisa melakukan ini padaku,tidak.."

"Aima,sudah."

"Kau!" Aima bangkit dan mendorongku lemah,aku hanya diam.

"Hubungi dia,dan aku akan membuktikannya padamu,bahwa aku yang dicintainya. Masih,dan akan selalu begitu."

Kemudian beranjak berlari berhambur menaiki tangga,membuka dan membanting pintu dengan keras.

"Elma,maafkan Aima,dia-"

Aku tidak mendengar ucapan tante Laras selanjutnya,dan berlalu meninggalkannya sendiri,menaiki tangga dan masuk kedalam kamarku,menutup pintu dan memutar kunci. Aku terduduk dibelakangnya,memeluk kedua lututku, menyalurkan rasa sakit yang mendera pada seluruh bagian kamarku. Aku merintih,kesakitan..

Aku menekan tombol yang khusus menyambungkanku dengan Gatra, menempelkannya pada telingaku dan memejamkan mata,

Satu,

Aku menghitung dalam hatiku,

Dua,

Masih belum ada jawaban,

Ti-

"Halo?"

Aku meremas dadaku,sakit.

"Elma?"

Aku menghalangi mulutku,agar isak tangis tak dapat didengarnya.

"Halo? Elma?"

Aku mengatur nafasku perlahan,

"Elma? Kamu baik-baik saja?"

Seharusnya memang aku baik-baik saja, tapi nyatanya tidak. Dan aku memutuskan untuk mencari tahu perasaan yang sesungguhnya ia rasa,

"Gatra?"

"Ya? Kamu baik-baik saja?"

"Y-ya. Aku baik."

"Syukurlah. Ada apa?"

Aku menghapus air mata,

"Gatra,bisakah kamu kerumahku?"

"Kapan,El?"

Aku diam sejenak,menghapus ingus,

"Malam ini."

"Kemarin kita bertemu. Sudah kangen,ya?"

Aku mengangguk meski tahu dia tidak akan melihat.

"Iya. Rindu sekali." Air mataku menetes kembali.

"Elma,kamu yakin baik-baik saja?"

"Heem. Aku,aku hanya rindu."

Dia diam. Aku diam.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang