Pemilik hati Gatra .2

92 7 0
                                    

"Gatra?"

Kami melepaskan pelukan,dan terfokus pada seseorang yang berdiri tenang di ambang pintu. Aku menghela nafas berat,

"Kenapa tidak masuk?"

Gatra beranjak meninggalkanku, menghampiri dan mencium tangan ibu.

"Baru datang,tante."

"Yasudah masuk,diluar dingin. Ayo Elma,ajak Gatra masuk."

Aku mengangguk, "Iya bu."

Ibu lebih dulu meninggalkanku dan Gatra, aku berjalan perlahan,

"Ayo."

Gatra mengikutiku,namun baru beberapa langkah,ponselnya berbunyi,kembali menghentikan langkah.

"Kakakku,sebentar." Gatra menjauhiku untuk mengangkat panggilan. Aku menunggu hampir sepuluh menit saat Gatra kembali menghampiriku,

"Aku harus pulang. Maaf,ya?"

Aku diam.

"Ibuku harus pergi ke palembang,aku diminta untuk mengantarnya karena kakakku yang semula berjanji mengantarnya,ada urusan mendadak."

Aku masih diam.

"Tidak apa-apa?"

Aku akhirnya mengangguk,tidak bisa menghalanginya.

"Hati-hati yaa."

Gatra mengacak rambutku,dan tersenyum.

"Aku akan menemuimu besok,bye!"

Aku masih mematung ditempatku saat Gatra berlalu meninggalkan aromanya. Bayangan perpisahan dengan Gatra terus menakutiku,tanpa sadar aku kembali menarik nafas berat. Ah,bagaimana ini?

"Mana Gatra?"

Aku tersadar. Aima berkacak pinggang disampingku,menatap gerbang.

"Tidak ada."

"Ibumu bilang dia ada disini."

Aku berbalik dan berjalan hendak memasuki rumah,namun Aima mencekal tanganku,aku kembali diam.

"Kau sengaja?"

"Apa?"

"Kau sengaja membuatnya pergi? Tanpa melihatku dulu? Oh,aku baru tahu kalau kau pengecut!"

Aku diam.

"Jawab! Kau tidak menjadi bisu,kan?"

"Aku tidak bisa menahannya,kak." Ucapku tenang, "Dia harus mengantar ibunya."

"Pembohong!"

Aku kembali menarik nafas,jengah.

"Terserah. Aku hidup bukan untuk membuatmu percaya." Aku melepas cekalan tangannya disikuku. Berjalan memasuki rumah,namun saat tanganku mencapai pintu,kudengar suara Aima yang memelan,

"Harusnya kau tahu,dalam permainan, akan selalu ada yang kalah,dan menang."

Aku mengeratkan pegangan tanganku pada gagang pintu,

"Aku tidak sedang bermain,Aima."

Aima tertawa hambar.

"Kau hanya duri,Elma. Duri didalam kehidupan keluargaku yang bahagia. Kau penghunus belati itu,kau yang secara sengaja atau tidak,masuk dan menghancurkan. Tidakkah kau malu?"

Aku memejamkan mata,membiarkan setitik dua titik air mata mengalir. Aku berbalik,

"Seburuk itukah aku,Aima?"

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang