Untuk Sebuah Nama

122 13 1
                                    

Untuk sebuah nama,

Yang selalu terngiang dalam ingatan, menggema tak terbantahkan.

Suatu masa,di masa silam, aku pernah mencintaimu sekuat-kuatnya. Hingga keselamatan hati kuabaikan. Aku pernah begitu memujamu,melakukan apapun asal bisa denganmu.

Saat itu, aku jatuh bangun mengejar, berlari sekencang mungkin untuk menggapaimu, membuat diriku terluka dan tersungkur parah. Apa yang membuatku buta?

Aku membuat diriku buta oleh cinta, tuli untuk segala persoalan yang sebenarnya menyakiti dada, menggores luka, dan mematikanku perlahan.

Namun apa yang kudapatkan darimu untuk balasan cintaku? Kesia-siaan, kenyataan bahwa dirimu tak memiliki kepedulian sedikitpun.

Hari-hari penuh luka dan kecewa, yang awalnya tak pernah kukira akan kurasa, akhirnya kualami juga. Sakit itu lebih dalam ternyata, karena aku butuh lebih dari seribu hari untuk menghilangkan rasanya. Juga ratusan hari untuk melupakan bekasnya.

Ketenangan diri yang kuharapkan setelah kehilanganmu tak kunjung datang hingga aku lelah,lemah dan tak berdaya. Luka darimu memang semenyakitkan itu.

Setelah ribuan hari yang kulewati dengan pilu, aku baru menyadarinya, bahwa kau tak hanya menghancurkan harapanku, kau juga seakan memberi tahu bahwa tak pernah ada cinta dihatimu untukku. Betapa kejamnya.

Kau mencampakkan, memberi luka, dan kecewa, untuk balasan atas besarnya cinta yang kutanam padamu. Dan yang lebih menyakitkan adalah, kau menanam tangis sehina-hinanya begitu saja.

Lusa kemarin, lagi-lagi,kau toreh luka. Mengabaikan rasaku yang belum sepenuhnya sembuh. Kau mengabaikan alasan atas tangisku yang tak usai ini.

Untuk sebuah Nama,

Dan hari ini,dengan tangis, kulepas engkau pada semesta. Untuk kemudian dipertemukan karma bersama sedih-sedih yang akan dideritamu sepanjang hidup.

Aku menutup buku diatas pangkuanku. Menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Merasakan angin sore meniup rambutku, mendengarkan riak air yang memenuhi gendang telingaku. Ku curahkan segala kesakitan yang ditorehnya, pada Tuhan didalam hatiku.

Hari ini, akan kuakhiri percintaan yang tak usai-usai ini. Melupakannya dan kembali melangkah. Biarlah semua kisah ini hanya menjadi cerita didalam lembaran perjalanan hidupku. Aku membuka mata dan menemukan matahari telah turun, hampir meninggalkan siang. Cahaya terangnya menyorot wajahku, memberikanku ketenangan.

"Elma.. "

Lamunanku buyar, aku berbalik dan menemukan Gatra berdiri tidak jauh dari tempatku duduk menatap langit. Aku menarik diri untuk berdiri, menggenggam buku ditanganku dengan erat.

"Kamu sudah lama?"

Aku menatap wajahnya, menemukan lelah yang tak terkira dari rautnya. Aku menghela nafas, dan tersenyum.

"Terimakasih sudah datang." Aku mengabaikan pertanyaannya, namun tetap diam di tempat ku. Gatra menarik senyum singkat dan berjalan menghampiriku. Sebelum ia sampai didepanku, aku berbalik berjalan menghadap danau. Gatra disisiku, menatap danau yang sama denganku.

"Aku tidak menyangka kamu akan meminta bertemu denganku, setelah kejadian kemarin. "

Aku tidak menjawabnya. Lalu kami hanya diam menatap air, lalu matahari yang kini semakin turun. Dan gelap. Matahari telah seluruhnya hilang. Aku memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan, kemudian membuka mulut,

"Aku tidak pernah lupa, bahwa dulu, aku pernah begitu mencintaimu." Aku mengeratkan genggaman tanganku pada buku, berusaha menyembunyikan getaran ketakutan, "Tapi kemudian aku menemukan seseorang yang dapat membuatku sedikit melupakan rasa itu. Aku tidak bilang bahwa cintaku telah hilang, aku hanya mengharapkan itu terjadi. Kenapa? Karena aku lelah. Aku menemukan senyumku kembali saat bersama Angga, aku mulai merasa kalau aku akan baik-baik saja setelah ada dia. Tapi lagi-lagi, aku tertipu ucapan manis atas nama cinta itu. Apa salahku?"

Aku mengusap pipi. Gatra memasukan kedua tangannya kedalam saku celana jeans yang dipakainya.

"Maafkan aku, Elma. Apapun alasannya, itu tidak akan membuatmu menjadi lebih baik, kan?"

Aku berbalik menghadapnya, Gatra melakukan hal yang sama. Kami bertatapan.

Tiba-tiba saja aku merasa hancur. Aku masih begitu mencintainya. Hatiku bergetar, jantungku berdebar, aku menatap wajahnya, berusaha mengingat setiap garis yang terdapat pada wajahnya. Mata indahnya, yang dihiasi alis tebal dan bulu mata lentik,hidung mancung, bibir penuhnya yang memerah, dan segala yang dapat kulihat pada dirinya. Aku akan mengingatnya.

"Mari akhiri semua ini. Lalu memulai kehidupan yang baru."

Gatra menarik nafas, menunduk, lalu kembali menatapku. "Aku masih mencintaimu. Itu alasan mengapa aku ada disini. "

Aku juga masih mencintaimu.

"Tidak akan ada lagi kesempatan untukmu. Untuk cinta kita. Semua, telah berakhir bertahun-tahun lalu." Aku merasakan dadaku sesak, "Terimakasih, telah mencintaiku."

Aku menatapnya, dalam. Lalu melangkah mendekatinya dan berhenti pada saat jarak kami hanya beberapa centi. Aku mengangkat tanganku yang gemetar,menjatuhkan buku yang kugenggam, lalu menyentuh kedua pipinya dan berjinjit, mendekatkan wajah dan menciumnya dalam. Ku rasakan tangan kanannya memeluk pinggangku, dan tangan kirinya menyentuh tengkukku. Kami berciuman.

Disela-sela ciumannya yang lembut, dan sentuhan bibirnya pada bibirku, airmataku mengalir, membasahi pipi kami berdua. Lalu aku menarik diri, menatapnya, dan berlari dengan kencang melawan angin malam.

Telah usai. Semuanya telah usai.

Biar kusampaikan salam perpisahan lewat angin malam yang meniup rambutnya. Yang memeluk dengan dingin tubuhnya. Cinta kami, telah usai.

"Selamat tinggal. Gatra."

TAMAT.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang