Siapa dia?

102 10 0
                                    

Aku duduk disamping Gatra didalam mobilnya. Pergi yang tidak ada dalam rencana,akhirnya aku dan Gatra kebingungan akan berkunjung ke mana. Selama 20 menit ini mobil Gatra hanya berjalan tidak jelas tanpa tujuan,tapi tidak apa-apa,aku senang. Sudah enam hari sejak kejadian Leo dan Delisa,dan sejak hari itu pula,dimana Delisa pulang untuk makan malam,dia tidak kembali.

Delisa tidak menghubungiku,atau memberi pesan. Dia hilang bak ditelan bumi,tapi aku hanya berfikir bahwa Delisa sedikit lebih banyak ingin tinggal dirumahnya sebelum pernikahan ibunya. Tidak apa-apa,itu baik untuk hubungan keduanya,aku mendukung.

Tapi yang membuatku selalu merasa tidak nyaman adalah,pikiran tentang semua hal-hal buruk yang mungkin saja menimpa Delisa. Karena sebelumnya dia tidak pernah pergi tanpa mengirim pesan,atau tanpa menghubungiku.

Aku tahu,seharusnya-

"Sudah deh,ngelamun terus. Gimana kalau kita duduk di taman?" Pikiranku buyar seketika saat Gatra menggetarkan pita suaranya berbicara padaku.

"Panas?" Tanyaku,Gatra mengusap puncak kepalaku.

"Tidak." Gatra melepas sealtbet-nya, membuka pintu dan turun mengelilingi mobil untuk sampai dipintu bagian penumpang. Aku menarik sealtbetku, lalu turun setelah Gatra membuka pintu. Angin dingin langsung menerpa rambutku,suasana yang selalu sama saat aku sedang bersama Gatra.

Bau aspal terguyur hujan masih tercium, padahal hujan sudah lama berhenti. Ini pukul enam sore lebih,Gatra meraih tanganku dan menariknya perlahan memasuki wilayah taman komplek. Ah,jauh-jauh mengelilingi Jakarta,ujungnya hanya di taman komplek rumah.

"Duduk."

Aku duduk. Bangku besi yang kududuki sedikit basah,menyerap menembus jeansku. Aku bersandar,Gatra duduk disampingku.

"Dingin?" Aku mengangguk.

"Coba sini,ngadep aku." Gatra meraih kedua bahuku,mengubah posisi menjadi sedikit miring menghadapnya. Gatra memegang kedua tanganku,mengusap setiap jari-jarinya. Aku diam.

"Siapa yang kepang rambutmu?" Suaranya rendah,aku diam sejenak.

"Ibu."

"Cantik."

"Siapa?"

"Ibumu." Aku diam.

"Tentu saja kamu." Gatra melepas tanganku,beralih memegang kedua ujung kepanganku yang terayun. Menarik-nariknya pelan.

"Sakit." Ucapku cemberut,Gatra tertawa pelan dan melepaskan pegangannya pada kepanganku. Aku diam. Gatra diam.

Aku menyukai suasana sesudah hujan bersama Gatra. Dengan tiupan angin dan aroma hujan,tidak ada yang lebih romantis. Meski sudah berulang kali aku melewati suasana sesudah hujan bersama Gatra,tapi itu tidak sedikitpun meredakan detakan jantungku saat kami duduk berhadapan,meski diam.

Kurasakan sesuatu mendekati wajahku, membuat tubuhku seketika meremang. Aku masih diam,Gatra juga sama. Diantara tiupan angin dingin,kurasakan kehangatan mendekatiku. Oh,dan jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya saat tangan Gatra memegang kedua lenganku,mendekatiku.

"Ehm,Gatra.."

"Hmm"

"Aku-" aku diam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan,tiba-tiba saja aku kehilangan semua kata yang kupelajari. Aku sedikit memundurkan tubuhku,tapi tangan Gatra dilenganku mengerat.

"Diam." Oke. Aku benar-benar diam sekarang,tidak mampu menggerakkan seluruh tubuhku. Kurasakan hembusan nafas mendekati wajahku,tidak,euh, bagaimana ini?

"Mengisi kekosongan,Gatra?"

Aku tersentak saat suara lembut wanita terdengar,Gatra menjauh dariku, melepaskan tangannya dilenganku.

"Siapa?"

"Bukan seseorang yang penting."

Dan aku diam.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang