Kotak.

213 15 0
                                    

Aku duduk diam dihadapan dokter Mika, yang sedang berbicara tanpa henti. Aku kurang mendengarkan dan memahami apa yang disampaikannya,dikarenakan pikiranku berada di Gatra.

Sudah tiga hari sejak Gatra bertingkah aneh,dan bertambah aneh saat Gatra tiba-tiba menghilang. Sudah tiga hari ini pula aku menunggunya didepan rumah,tapi Gatra tidak ada.
Kukira ini jawaban dari rasa tidak nyaman dihatiku sejak saat itu. Gatra menghilang.

Bahkan tadi pagi,sebelum aku berangkat untuk bertemu dokter Mika,yang mengabarkan adanya donor mata untukku, aku menunggunya. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya hingga aku harus pergi.

Aku mencoba menelponnya dengan bantuan Delisa,tapi beberapa kali hanya jawaban operator yang mengabarkan bahwa nomor Gatra tidak aktif. Dimana dia?

"Bagaimana,Elma?"

Aku diam.

"Elma?"

"Ya?"

"Kapan kamu siap menjalani oprasi?"

Aku diam.

"Kesiapan mental yang paling utama." Lanjut dokter Mika.

"Bagaimana sayang?" Tanya ibu mengusap rambutku.

"Akan kupikirkan dulu." Ucapku akhirnya.

Kesiapan mental? Aku sudah siap sejak bertahun-tahun lalu. Tapi,aku tidak senang saat ini. Entah,mungkin efek dari hilangnya Gatra.

Aku dan ibu berdiri dari duduk. Bersalaman dengan dokter Mika, kemudian beranjak meninggalkan rumah sakit.

Delisa sudah menungguku dan ibu diluar rumah sakit,tadi,Delisa datang bertepatan dengan aku yang akan berangkat,jadilah ia berbaik hati untuk mengantarku dan ibu.

Aku menyandarkan kepalaku. Kemudian memejamkan mata. Gemericik hujan dibulan Desember seakan mengerti berbagai permasalah di bumi. Hujan turun saat aku merasa sepi.

Saat aku memejamkan mata, seseorang melintas dibalik bola mataku. Meski tidak jelas,aku bisa sedikit mengetahui bentuk wajahnya. seperti sebuah rekaman lama yang diputar kembali. Kualitasnya belum sebaik saat ini.

Sedikit buram,dan hitam putih. Siapa dia? Tawanya yang lepas,suaranya yang menggema, gerakannya yang diperlambat,mungkinkah... dia Gatra?

Degh.

"Hei? Kenapa?"

Aku tersentak. Jantungku berdetak dengan cepat saat tangan Delisa menyentuh bahuku. aku diam berusaha menenangkan debarannya.
Tadi itu,apa? Mimpikah?

Aku diam.

"Elma? Hei. Aku mulai khawatir."

"Sa?"

"Hum?"

"Aku melihat seseorang saat aku memejamkan mata." Jelasku.

"Melihat?"

"Ya. Bayangannya hitam putih,dan sedikit buram. Dia tertawa,lepas dan bahagia. Tapi aku tidak tahu dia siapa!" Ucapku menggebu-gebu.

"Hei,El. Tenang,oke?"

Aku diam.

"Kita sudah sampai."

Aku diam.

"Ayo turun."

"Mana ibu?" Tanyaku saat tak kudengar suara ibu.

"Tante Lani berhenti diperempatan jalan, dia ada urusan sebentar. Tadi kamu tertidur." Jelas Delisa.

Aku bergerak untuk turun dari dalam mobil. Delisa menggenggam tanganku, menutup pintu mobil lalu berjalan menuntunku kedalam rumah.

***

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang