Cerita Aima

66 8 0
                                    

Aku mengerjap. Mencoba melawan cahaya lampu yang seakan menyorot langsung pada wajahku. Kepalaku tidak seberat tadi,seperti seseorang telah mengangkat bebannya sebagian.
"Hei,kamu sudah bangun?"

Aku berbalik,dan menemukan Aima berjalan mendekat,lalu duduk disampingku. Tangannya terulur menyentuh dahi,kemudian tersenyum. Balutan di tubuhnya sekarang telah berganti, menjadi selembar daster bercorak bunga pink kecil. Menandakan bahwa waktu telah berjalan cukup lama. Wajahnya tampak segar,dan bersih dari make up yang semula dikenakannya.

"Kamu sudah tidak panas. Tapi apakah rasanya masih pusing? Aku bisa katakan pada ibu kalau kamu perlu dokter."

Aima hendak berdiri,namun aku menahan tangannya.

"Emh, ti-tidak perlu Aima. Aku- baik-baik saja."

"Kamu yakin?"

Aku tersenyum menjawab tanyanya.

"Tapi wajahmu pucat sekali." Aima meraih gelas diatas meja, "Minum dulu."

Aku menarik tubuh untuk bersandar pada tumpukan bantal yang disusun Aima, kemudian menerima uluran air minum darinya. Aku haus,karena hampir menghabiskan seluruh air yang ada dalam gelas.

"Terimakasih."

Aima mengangguk,menyimpan gelas diatas meja,kemudian menarik kedua kakinya untuk bersila di atas ranjang. Kami diam beberapa menit,seperti entah harus berbicara apa. Namun tidak lama karena Aima tiba-tiba membuka suara.

"Hubunganku dengan Gatra bukanlah hal yang akan menyenangkan jika dibahas. Terutama kamu yang mendengar. Jadi,aku tidak akan menceritakannya."

Aku diam. Masih menunggu Aima melanjutkan kata-katanya.

"Hubungan itu telah berakhir. Jauh sekali, bahkan sebelum kamu bertemu dengannya. Sebuah cerita yang telah usang. Kita sudah dewasa sekarang,masalah cinta tak tuntas itu seharusnya sudah bukan menjadi masalah,kan?" Aima menatapku, "Kamu sudah melupakannya?"

Aku diam.

"Dia orang pertama bagimu."

Aku menatapnya,menarik senyum dan mengangguk. "Sedikit sulit awalnya. Tapi kurasa aku memang sudah melupakannya sekarang." Aku mengangkat bahu, "Atau tidak sama sekali? Aku tidak tahu. Perasaanku ragu."

"Dia bukan orang yang mudah dilupakan. Aku tahu karena pernah begitu kesulitan melupakannya."

Aku diam kembali. Aima menarik napas.

"Aku telah bersama orang lain. Ceritaku tak akan selalu Gatra lagi. Ada seseorang yang benar-benar ingin bersamaku saat ini,seseorang yang tak akan memikirkan orang lain selama bersamaku." Aima mengangkat tangan, menunjukkan cincin indah yang melingkar di jari manisnya. "Dia memberikan buktinya. Dan aku percaya,aku tak akan terluka."

"Aku senang untukmu,Aima."

Aima tersenyum. "Daaan,Delisa bilang kamu sudah punya pacar? Itu bagus."

"Aku harap begitu."

"Elma, kamu saudaraku. Jangan membenciku hanya karena pernah berusaha merebut Gatra darimu,ya? Sungguh,aku merasa bodoh pernah melakukannya. Tapi aku tidak bisa merubah. Jadi,aku hanya ingin dimaafkan."

Aku menggeleng,meraih jemari Aima kedalam genggamanku. "Aimaaa,aku tidak pernah marah. Atau membencimu. Semua berjalan seperti seharusnya. Kita hanya perlu waktu untuk memperbaiki itu,kan?"

Aima tersenyum, "Jika Gatra ingin kembali, bagaimana?"

Bagaimana? Memangnya aku harus bagaimana? Dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah ringisan.

***

Aku menekan,menggeser layar ponselku, mencari nama Angga diantara deretan nama dalam kontakku. Setelah menyambung,aku menarik tangan menempelkan ponsel pada telinga. Memejamkan mata sejenak mendengar suara penyanyi wanita disebrang sana, kemudian membuka saat mendengar Angga memanggil namaku. Dia mengangkat telponnya.

"Sedang di kelas?"

"Tidak. Aku akan pergi membawa barangku dirumah teman. Ada apa? Apa kamu sudah mau pulang?"

Aku menarik sudut bibir, beranjak dari dudukku lalu berjalan menyusuri tepi kolam berenang.

"Aku baru sampai tiga hari yang lalu disini. Rencanya memang akan pulang hari ini, tapi ibu melarangku."

"Jangan lama-lama disana."

"Kenapa?"

"Tidak bagus untuk rinduku."

Dia tertawa dengan ucapannya, membuatku ikut mengeluarkan suara. Hatiku ringan.

"Aku juga rindu."

"Oh ya?"

"Heem."

Angga diam sejenak,kudengar suara kendaraan disana.

"Kamu sedang menyetir?"

"Ya. Dan lampu merah."

"Akan kumatikan. Hubungi aku kalau kamu sudah santai."

"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik disana. Aku akan pergi cukup lama hari ini,jangan menungguku,oke?"

"Tentu saja."

Dan aku diam menatap layar ponselku yang telah padam, menampakkan gambarku dan Angga yang tertawa berangkulan. Lila yang mengambil gambarnya,beberapa bulan lalu.

Aku tidak bercanda soal perkataanku pada Aima soal melupakan Gatra. Karena jujur hingga sampai saat ini, perasaanku belum mau menjawab apakah aku  telah melupakannya, atau tidak. Dan perasaanku pada Angga juga tidak main-main, aku menyayanginya, merasakan perasaan bahagia saat berada didekatnya. Mungkin saja suatu hari nanti, aku akan benar-benar melupakan Gatra saat hubunganku dan Angga semakin lama.

Aku berbalik dan teringat sesuatu, kemudian dengan sedikit berlari dengan sandal rumahku meninggalkan area kolam renang untuk menuju suatu tempat. Tempat yang mungkin masih ku ingat meski bertahun-tahun telah kutinggalkan.

Dengan jantung yang berdebar-debar aku berjalan perlahan dengan hitungan didalam hatiku. Mencoba mengingat satu demi satu belokan-belokan yang dulu sering kulewati untuk menemuinya. Aku berbelok di perempatan jalan sepuluh meter dari gerbang rumahku, dan menemukan taman luas berumput dengan beberapa kursi yang diisi pasangan-pasangan muda yang menghabiskan waktu sore mereka. Aku dan Gatra sering kesini dulu, saat mataku belum bisa menatap. Dan sekarang,untuk pertama kalinya,aku dapat melihat taman ini,karena meski telah lama aku mendapatkan penglihatanku,aku tidak cukup berani untuk berkeliling dengan hitungan dalam hatiku mengunjungi tempat yang sering kami kunjungi dulu.

Dengan mata yang mulai mengeluarkan air,aku kembali berjalan,menghitung langkahku berjalan lurus sebanyak lima meter, kemudian berbelok ke sebelah kiri. Aku diam, berjalan sepuluh langkah, kemudian diam lagi. Kutatap rumah disebelah kiriku. Lalu berjalan lagi, sepuluh langkah, dua puluh langkah, hingga sampai ditempat yang ingin ku kunjungi.

Aku berbalik,menatap rumah bercat abu-abu dan putih yang cukup besar ini. Ternyata beginilah bentuk rumahnya. Rumah yang sering kukunjungi dalam gelapku,kini aku dapat melihatnya. Detail demi detail disetiap sudutnya. Aku berjongkok, menahan gemuruh dalam dadaku, sesak yang tiba-tiba datang disertai airmata yang menderas. Aku masih mengingatnya sampai saat ini. Mengingat setiap langkahku dulu menyusuri jalan dalam kegelapan untuk sampai disini. Dirumah Gatra. Orang yang setiap harinya ingin kutemui,orang yang mungkin sampai saat ini, masih ingin kutemui.

Aku menenggelamkan wajahku dalam pangkuan, memeluk kedua lututku dengan erat. mengapa aku melakukan ini? Mencoba mengorek luka yang hampir sembuh ini? Mengapa?

Dalam tangis derasku, aku mendengar suara gerbang besi dihadapanku terbuka, disusul langkah kaki perlahan yang kemudian berhenti tepat dihadapanku. Aku menghapus air mata, kemudian mendongak,dan menemukan seseorang menatapku..

"Elma!?.."

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang