Maaf.

132 11 0
                                    

Baiklah. Setelah ucapan Gatra beberapa waktu lalu,hatiku tidak kunjung tenang. Bahkan kurasa semakin tidak tenang. Aku seakan menjadi diriku yang tidak percaya diri dan minder,bukan karena aku buta,tidak. Aku sudah berhenti mengeluh tentang itu. Tapi hubunganku dengan Gatra sungguh aneh.

Baiklah. Silahkan katakan aku yang aneh, saat seseorang menerimaku dan menyayangiku,aku malah merasa tidak nyaman. Maksudku begini,aku merasa tidak nyaman karena keadaanku,lalu Gatra dengan mudahnya menerima. Apa itu tidak aneh? Kecuali ada sesuatu yang diinginkan Gatra dariku. Tuhkan,aku berfikir negatif lagi.

Pikiranku tetap tidak berubah bahkan saat Gatra sudah mengatakan aku istimewa karena diriku sendiri. Aku tidak percaya. Hey! Lihatlah aku. Apa yang dapat memikat Gatra dari diriku? Aku tidak berati,mirip bunga layu diantara bunga subur. Lebih baik dibuang saja.

Meski Delisa sudah memberiku wejangan tentang banyak hal,berulang kali, terutama ucapan Gatra,aku tidak bisa menerima. Ia membenarkan, tapi tetap saja,aku tidak tenang.

Hari ini aku duduk disamping Gatra didalam mobilnya. Aku tidak tahu Gatra akan membawaku kemana,dan aku tidak mau bertanya. Eh,bagaimana kalau Gatra bermaksud buruk padaku? Aku menoleh padanya.

"Kemana kita?" Tanyaku.

"Jalan-jalan,kan?"

"Iya kemana?" Bentakku,

"Yaaa, sekitaran sini saja."

"Kamu mau jual aku ya? Gak usah! Aku tidak akan laku! Malah menyusahkan. Jangan minta tebusan pada ibu,kasian dia!" Ucapku panik,Gatra meminggirkan mobilnya.

"Apasih maksudnya?"

"Antarkan aku pulang!" Jeritku sambil menghentakkan kaki.

"Kamu kenapa sih El? Astaga!"

Aku diam. Pikiran burukku terus menguasai,aku mengeratkan peganganku pada sealtbet yang kupakai. Gatra bergeser untuk menghadapku,tangannya meraih tanganku.

"Ada apa?"

"Gatra.."

"Hum?"

"Apa yang kamu mau dariku? Aku tidak punya apa-apa. Katakan dan berhentilah bersikap seperti pacarku!"

"Aku memang pacarmu,kan?"

Aku menggeleng.

"Kamu hanya menjadikan itu alasan untuk mendapatkan yang kamu inginkan dariku!"

Gatra menarik nafas.

"Memangnya kamu tahu apa yang aku inginkan darimu?" Tanya Gatra tenang. Aku menggeleng.

"Akan kuberi tahu,"

"Aku hanya ingin kamu berhenti berfikir negatif padaku. Dan mulailah percaya pada dirimu sendiri."

Aku diam.

"Elma,apa butuh alasan untuk menjadi pacarmu?"

Aku menarik tangaku yang dipegang Gatra,lalu mengusap wajahku gusar.

"El,memilihmu,itu hatiku yang mau. Kalau soal kamu yang tidak bisa melihat,atau kamu tidak bisa diajak ke pesta seperti katamu,itu hanya sebagian hati baikku yang ingin menerimamu."

Aku diam.

"Berhentilah menyakiti hatimu dengan pikiran buruk itu."

Aku diam. Gatra diam dan bergeser memperbaiki duduknya seperti semula. Kami saling diam,diluar,hujan mulai turun menciptakan suara khas-nya.

****

Mobil Gatra berlalu dihadapanku,dijalanan didepan rumahku. Tadi,Gatra tidak bicara lagi dan langsung membawaku pulang,menurunkanku didepan rumahku,kemudian berlalu begitu saja. Hujan deras telah berlalu digantikan hujan gerimis kecil.

Aku membalikan badanku dan mendorong pelan gerbang rumahku. Kudengar seseorang memanggil namaku, aku mengurungkan niat untuk masuk kedalam rumah.

"Hei."

Aku mengerutkan dahi.

"Masih ingat aku? Yang waktu itu tidak sengaja nabrak kamu."

"Oh,hai."

"Bagaimana tongkatnya? Sudah diterima?"

Aku mengangguk.

"Sudah. Padahal tidak perlu menggantinya. Tapi terimakasih ya."

"Ah tidak apa-apa. Maaf ya tidak langsung diberikan padamu. Waktu itu aku sibuk."

Kami diam. Canggung.

"Tidak apa-apa. Mm,mau masuk?" Tawarku.

"Tidak usah. Aku mau ke kampus."

"Oh begitu hehe."

"Aku pergi dulu ya,El-Elma."

Aku senyum.

"Iya."

"Bye."

Laki-laki itu berbalik meninggalkanku menuju motornya yang diparkir disebrang jalan. Saat kudengar suara motornya dinyalakan,aku teringat sesuatu.

"Eh,hei! Siapa namamu?" Teriakku.

"Haha,Ezra!"

"Baiklah. Sampai bertemu lagi,Ezra!"

Ia tertawa pelan,kemudian motornya meninggalkanku. Aku berjalan untuk memasuki rumahku. Lagi-lagi,aku seperti mengenalnya,ada sesuatu yang tidak asing bagiku. Aku mengangkat bahu.

****

Sudah dua jam aku berguling di atas kasur tanpa tertidur. Pikiranku melayang pada Gatra yang mungkin sedang marah. Perasaanku tidak enak karena telah membuatnya merasa buruk untukku,padahal aku yang salah. Gatra tidak salah apa-apa.

Tadi,Gatra hanya menyalakan mobilnya dan membawaku pulang. Tidak jadi jalan-jalan. Sekarang,perasaan jelek dan raguku pada Gatra sudah berubah menjadi perasaan yang aneh. Tepatnya merasa bersalah.

Aku terlentang dan memejamkan mata. Berusaha untuk tidur. Namun percakapan demi percakapanku dengan Gatra selama kami berhubungan mengalir begitu saja. Setiap katanya seakan mampu membunuh rasa tidak percaya diriku. Dan apa yang kuragukan lagi?

Hingga ingatanku mengalirkan ucapan Gatra tadi,sebelum beranjak meninggalkan rumahku.

"Elma. Pikirkan baik-baik ucapanku. Kamu tidak buruk,dan aku tidak suka mencari celah untuk berbuat keburukan melalui kekurangan seseorang."

setelah mengucapkan itu,Gatra berlalu meninggalkanku dengan keadaan perasaan yang tidak nyaman. Membuatku berulang kali memikirkan ucapannya. Gatra,dia,entah sejak kapan menjadi begitu berarti untukku. Sejak tadi? Sejak kemarin?

Dia,seakan memberi kehidupan baru untukku. Lika-liku kehidupan saat disentuh cinta,ragu dan pahit-manisnya, seakan Gatra berusaha membuatku mengerti itu. Kehidupanku disentuh cinta saat kutemui Gatra. Ragu yang kurasa,itu hanya sebagian dari pikiran burukku,kan?

Aku merubah posisiku menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang. Ini sudah lewat tengah malam saat kudengar suara jam beberapa menit lalu. Gatra pasti sudah tidur. mendadak hatiku dilanda kerinduan. Rindu mendengar suaranya.

Aku meraih ponselku,menekan tombol hijau dua kali,menelpon sang penelpon terakhir. Gatra.

Selama nada sambungan telpon,mataku terpejam. Rasa ragu,gelisah,tidak diinginkan,dan rindu,seakan bertumpang tindih diatas hatiku. Aku-

Mataku terbuka perlahan saat kudengar suaranya menyebut namaku. Suara yang lembut,suara yang selalu kurindukan.

"Elma?"

"Gatra." Aku menyebut namanya pelan.

"Maaf."

Dia diam. Hanya dentang jarum jam terdengar menggema diruanganku. Disebrang sana,Gatra masih diam.

"Aku-"

"Elma,aku rindu,boleh?"

Kupejamkan mata. Berusaha meresap kata terakhir yang diucapkannya. Ternyata masih sama saja,efeknya menenangkan hati. karena lebih dari apapun,aku juga selalu merindukannya.

"Aku juga. Rindu."

Dan air mataku jatuh begitu saja.

Untuk Sebuah NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang