Namaku Kayra Deanne. Aku sekarang berada di kelas 10 SMA Pemuda Berkarya yang jaraknya kira-kira 10 kilometer dari rumahku. Aku masuk jurusan IPS. Alasannya karena jangankan bikin tugas fisika, ngitung uang sendiri saja masih kesusahan.
"Kayra bangun!" teriak mama dari depan pintu kamar.
"Yaaa," balas ku dengan mata yang masih berusaha keras untuk terbuka.
Aku kemudian bergegas ke kamar mandi dengan langkah berat. Selepas mandi aku sarapan dan langsung berangkat sekolah.
"Mah pah, aku berangkat dulu ya," ucapku kepada papa dan mama.
"Ya,hati-hati," jawab mereka beriringan.
Jam tangan ku sudah menunjukkan pukul 6 lebih 35 menit, artinya aku harus cepat jika tidak ingin terlambat. Aku mempercepat langkah. Berdiri di halte dengan mata awas mengamati kendaraan yang akan lewat. Setelah beberapa menit akhirnya bus yang biasa menghantarku ke sekolah datang.
"Hai Kay!" sapa sahabatku dari dalam bus sembari melambaikan tangannya ke arahku.
"Hai Ta," balasku.
Octa Mephiana adalah sahabatku sejak aku masih berada di taman kanak-kanak hingga saat ini kami sudah bertumbuh menjadi remaja dan masih bersekolah di tempat yang sama. Dia adalah sahabatku yang paling baik. Octa sangat menyukai hal-hal berbau Korea. Saat pertama kali aku berkunjung ke rumahnya dan aku memasuki kamarnya, aku disambut hangat oleh poster-poster idol Korea Selatan yang tertempel di hampir setiap sudut di tembok kamarnya. Meskipun kami bersekolah di tempat yang sama, kami berada di kelas yang berbeda, aku di IPS 1 sedangkan Octa di IPS 2. Bagaimanapun, saat istirahat aku selalu menghabiskan waktu dengannya.
----
Aku memasuki kelas, melewati lorong dan menaiki satu deret tangga. Di lantai dua. Hariku berjalan seperti biasa. Aku adalah siswa yang cukup pendiam. Aku hanya akan merespon atau berbicara, apabila dalam keadaan urgent saja. Selebihnya jarang sekali.
Today lesson has completed, bunyi suara mbak-mbak dari bel sekolah yang menandakan pelajaran hari ini telah selesai.
Seperti biasa aku meraih tas dan berjalan menghampiri Octa untuk pulang bersama.
"Ta, pulang yuk capek nih," ujarku kepada Octa.
"Aduh sorry Kay, gua mau ngerjain tugas di rumah temen gua, lu pulang sendiri ya," jawab Octa sembari merapikan buku yang masih berantakan di mejanya.
"Yah kok nggak bilang dari tadi sih, aku pulang sendirian dong?" balasku dengan perasaan agak kesal.
"Tadi gua mau bilang tapi gua lupa. Masa seorang Kayra Deanne yang udah segede gini ngga berani pulang sendiri sih, entar diketawain kucing loh," kata Octa sedikit menyudutkanku.
"Iya nggak gitu," jawabku kesal.
"Pulang gih, mama lu nyariin tuh dirumah," ujarnya sambil berjalan menjauh.
Ya,aku pulang sendirian. Aku berjalan menuju halte bus. Di arah berlawanan, ada seorang gadis membawa setumpuk kertas di dekapannya dengan tergesa-gesa. Nasib buruk apa hari ini Tuhan, aku yang hanya berjarak 3 meter darinya tak bisa mengelak sehingga kami bertabrakan. Dia adalah Kina, tidak tahu nama lengkapnya, dan tak ingin tahu pula. Kina adalah anak donatur sekolahku. Dia adalah ketua klik nakal. Dia tak sama dengan sifat ayahnya, dia justru terkenal sebagai siswa yang sombong dan kadang seseorang mengatakan bahwa kesukaannya adalah mengganggu siswa lain yang ia anggap lemah. Kemudian aku pun terjatuh sia-sia, dengan tatapan beberapa orang di sekitar yang berusaha menahan tawa.
"Aduh," teriakku sambil mengelus kaki yang terbentur kerasnya beton trotoar.
"Aduh dek, kalo jalan hati-hati dong, kertas gua jadi berantakan nih, beresin gih!" bentak Kina dengan nada cukup tinggi.
"Kan kakak yang nabrak, kok aku yang salah?" jawabku mencoba membela diri.
"Oh lu berani sama gua? Mau gua laporin biar dikeluarin dari sekolah, apa mau beresin kertas?" balasnya dengan wajah santai namun dengan tatapan tajam dan senyum menyeringai.
"Iya kak, aku beresin nih," jawabku pelan sambil menunduk, mulai mengambil kertas satu demi satu di lantai trotoar. Lagipula lebih baik beresin kertasnya Kina daripada keluar dari sekolah.
"Jangan turuti perintah Kina," kata Elios si Ketua OSIS di sekolahku yang entah munculnya darimana. Ia tiba-tiba berada di samping ku dan segera menarik tanganku untuk bangkit berdiri.
"Eh si ketos, mau apa? Ikut campur urusan orang lain aja," ketus Kina mendongakkan wajahnya menatap Elios, seperti ingin menelannya hidup-hidup.
"Ah, gapapa kok kak El, ini emang salahku," jawabku sambil mencoba kembali membereskan kertas Kina yang masih memenuhi sebagian trotoar.
"Baiklah," jawabnya singkat seraya membantuku memunguti kertas-kertas tersebut. Aku sedikit terkejut dan berpikir mengapa dia melakukan hal ini, apa dia ingin aku keluar dari sekolah ini.
"Eh nggak usah kak, biar aku aja," ujarku mencoba membujuk Elios untuk berhenti membantuku. Namun dia hanya terdiam dan tetap memunguti kertas-kertas itu satu persatu.
"Apaan sih lu? Sok banget deh. Lu mau jabatan lu ilang biar nggak bisa berlagak kek gini lagi?" ucap Kina, menggunakan jabatan Elios sebagai taruhannya.
Elios segera berdiri dan merebut beberapa kertas yang berada di tanganku.
"Nih," balas Elios sembari memberi kertas tersebut ke Kina.
"Jadi ketos bukan sekedar jabatan, kalo masalah bantuin kaya gini mah semua orang juga bisa," lanjutnya.
Aku hanya terdiam menatap Elios dan Kina yang sedang beradu. Ini memang situasi urgent, namun entah mengapa aku kehabisan kata untuk setidaknya menjadi penengah mereka.
"Ish, buang waktu gua aja,"
Kina dengan kesal segera berjalan menjauhi aku dan Elios. Elios menatapku dengan cukup kawatir, sementara aku hanya terdiam menunggu Elios mengatakan sesuatu.
"Kamu gapapa?" tanyanya dengan tatapan lekat.
"Gapapa kok kak, aku malah yang jadi gak enak sama kak Elios,"
"Santai aja Kaii-erra, lagian bukan kamu kan yang salah," ujar Elios sambil melirik tag namaku diatas saku baju.
"Iya juga sih, makasih kak,"
"Iya, btw rumah kamu dimana Kay?"
"Di Jalan 41,"
"Kita searah dong, pulang bareng mau?" ajak Elios sambil sedikit menaikkan alis kanan.
"Ah-eh i-iya kak," jawabku terbata-bata dengan jantung sedikit berdegup. Aku merasa gugup dan canggung saat berbicara dengan Elios. Apalagi saat aku menyadari bahwa wajahnya nampak tak biasa. Ia terlihat tampan.
Karena kejadian itu, aku mulai merasa tertarik dengan Elios. Entah karena sifatnya, atau senyumnya, atau mungkin keduanya. Aku tak tau. Aku selalu mencoba setidaknya satu kali sehari untuk menatap wajahnya. Imajinasi liarku berkata bahwa dia adalah pahlawan dari negeri halu yang diutus untuk menyelamatkan manusia lemah sepertiku. Ya tidak mungkin sih, namun apa salahnya menjadikan dia motivasi untuk aku lebih rajin ke sekolah.
