Pelajaran hari ini sudah selesai. Aku menenteng tas sekolahku dan membawa beberapa buku ditangan. Aku keluar dari kelas. Kulihat Octa berlari dengan tergesa-gesa kearahku. Aku menghentikan langkahku menunggu Octa sampai didepanku.
"Kay! Lu nggak papa kan?" Tanyanya dengan wajah kawathir sambil meletakkan kedua tangannya dibahuku.
"Nggak papa kok Ta," ujarku seraya menyingkirkan tangan Octa dari bahuku.
"Kok lu nggak pernah cerita ke gua sih!"
"Aku takut nanti kamu kawathir Ta, lagian aku udah banyak ngerepotin kamu,"
"Kan gua sahabat lu Kay! se-enggaknya Si Kina bisa gua pukulin sampe K.O"
"He he he, santai aja Ta, dia itu bakal pindah sekolah Ta, jadi kamu nggak perlu kawathir,"
"Yang bener?!"
"Iyash,"Wajah Octa yang semula kawathir mulai hilang. Aku dan Octa berjalan seperti biasa menuju halte di bawah naungan langit yang mulai mendung. Kali ini Octa tak banyak bicara, sepertinya pertanyaan dalam benaknya tentang Kina sudah terjawab semua. Sesekali aku memandang wajah Octa yang selalu tersenyum, berharap aku tidak akan merindukannya setelah aku pergi dari Indonesia.
Jendela, tempat sehari-hari kepalaku bersandar. Entah meratapi kesedihan, atau melampiaskan kebahagiaan. Atau mungkin karena aku mengantuk dari pelajaran disekolah yang membosankan.
"Kay, cerita lu sama Elios gimana?" Tanya Octa mengawali pembicaraan.
"Aku bakal bilang sama Elios kalo aku suka sama dia Ta,"
"Kapan?"
"Hari perpisahan,"
"Yang bener lu?"
"Ya! Beneran," belum pernah aku seyakin ini sebelumnya. Berharap semua kejadian disini happy ending. Aku menyatakan cintaku ke Elios dan Elios menyatakan cintanya ke aku. Nggak papa lah LDR Korea-Indonesia.Plak... Octa menampar dahiku untuk menyadarkanku, dia seperti mind reader yang sedang membaca lamunanku sekarang. Tamparan Octa membuatku menatapnya dengan amarah. Mataku membulat dan nafasku terengah-engah seperti banteng yang bersiap-siap akan menabrak seseorang.
"Aww! Apaan sih Ta,"
"Gua tau lo lagi mikirin apa,"
"Emang apa?!" Tanyaku mengelak perkataan Octa.Alisnya yang hanya segaris naik dan dahinya mengerut sambil menatap dengan penuh hasrat.
"Lo lagi bayangin kalo lo bakal jadian sama Elios dan bakal ldr Korea-Indo kan?" Tanya Octa penuh keyakinan, alisnya ia turunkan dan menatap ke sisi lain sambil menghembuskan nafas kebanggaan karena berhasil membaca pikiranku.
Tatapanku membeku sejenak dan pikiranku sedikit melayang di atas langit-langit bus. Kok tau sih ! Pikirku seraya mengela nafas agak panjang.
"Eng-enggak tuh," mataku menatap penuh ke Octa, bibirku bergetar karena mencoba mengelak perkataan Octa yang sebenarnya betul terjadi.
"Yang bener?"
"I-iya bener!"
"Yaudah," jawab Octa singkat seolah tidak membutuhkan jawaban lain.Aku kembali menyenderkan kepalaku di jendela bus. Senyumku sedikit mengembang melihat dunia luar. Dimana adat lokal masih sangat melekat di daerahku. Apalagi pemandangan yang masih segar dan elok dipandang. Kunaikan mataku sambil bergumul dengan bibir tipisku. Aku menghembuskan nafas mencoba meratapi apa yang akan terjadi kepadaku nantinya. Bola mataku kugerakkan sedikit ke arah Octa. Ia terlihat menikmati perjalanan. Wajahnya yang datar masih menampakan senyuman meskipun hanya sedikit.
----
Sekarang sudah hampir pukul 7 malam. Aku kembali kekamar dan duduk di kursi di depan meja belajarku. Aku meraih tas sekolahku dan mengambil beberapa buku pelajaran. Meskipun kemampuan intelektualku yang pas-pasan, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga agar aku bisa menciptakan nilai sempurna di Ulangan Kenaikan Kelas ini.
Sudah tiga jam aku membolak-balik lembar buku pelajaran, membaca kata demi kata dan menghafalkannya. Mataku sudah tidak kuat untuk membuka, rasanya seperti ada lem yang memaksaku untuk memejamkan mata. Wajahku yang lumayan putih tergeletak begitu saja di meja belajarku, diatas buku-buku pelajaran yang masih terbuka. Aku bertahan beberapa lama sampai mama memanggil namaku namun aku tidak menjawabnya. Mama masuk kekamarku lalu membangunkanku agar aku pindah ke ranjang tidurku. Mataku mencoba membuka sedikit alih-alih panggilan mamaku. Aku melihat wajah mama yang bersinar memapahku untuk tidur di ranjang tidurku.
Melihatku kedinginan, tangan mama yang halus meraih selimut yang tergeletak diujung ranjangku. Ia menyelimutiku dengan penuh kasih sayang, yang membuatku lebih nyenyak untuk tertidur.
Perlahan kakinya ia gerakkan keluar kamarku. Ia juga menutup pintu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi yang bisa mengganggu tidurku.